Artikel   2023/02/26 17:22 WIB

Dari 'Lontang Lantung' Supir Mobil Line Medan-Jakarta, Yanto Effendi Akhirnya jadi Petani Sawit Panutan

Dari 'Lontang Lantung' Supir Mobil Line Medan-Jakarta, Yanto Effendi Akhirnya jadi Petani Sawit Panutan
Yanto Efendi

PANAS TERIK matahari tak menghalangi Yanto Efendi, bapak 9 anak itu melakukan aktivitas yang dilakoninya setiap hari sebagai petani sawit di Desa Tani Makmur Kecamatan, Rengat Barat Kabupaten Indragiri Hulu, Riau.

Kedua tangannya yang menunjukkan kekar dan berurat yang memetik dan mengangkut buah sawit dari pohonnya yang sudah layak panen, satu per satu tandan buah sawit (TBS) diangkut yang siap dijual ke pabrik, tak jauh dari lokasi kebun yang dikelolanya seluas lima hektaran.

Ini adalah tahun ke sepuluh Yanto Efendi, yang sebelumnya itu, Ia bekerja sebagai supir truk line Medan-Jakarta lontang lantung dan hilir mudik dijalanan. Lantas Ia mengubah nasib menjadi petani di ladang, yang menghasilkan buah sawit yang dijual di sejumlah pasar dan pabrik di seputar Inhu.

Lahan seluas 5 hektar diolah, pemuda asal Kisaran (Asahan), dalam lebih 10 tahun terakhir ini, langkah yang membawanya ini Iapun digelar sebagai petani panutan oleh warga setempat. 

"Awal mulanya lontang lantung berprofesi supir truk, terus merubah nasib ke sini (Inhu), terus saya buka lahan dan mengerjakan sebidang lahan yang hingga kini dikelola di sini. Pengen jadi petani aja saya, karena sekolah saya kan nggak tinggi, ya udah saya memutuskan menjadi petani," kata Yanto. 

"Ternyata jadi petani asyik juga sebenarnya, tapi tetap saja memerlukan kesabaran, ketekunan, ulet dan siap menghadapi rintangan apapun," cetusnya.

"Tapi ini bener-bener untuk masa depan anak-anak, pengganti pensiun, sebab kita bukan pegawai negeri," sebutnya.

"Bila dibanding lontang lantung seperti dulu-dulu, wah jauh lah .. paling tidak sekarang bisa menghidupi keluarga," paparnya.

Dengan logat jawa kental, petani ini menuturkan awal mula dirinya mulai bertani setelah lama menganggur juga.

Apalagi, dia tak memiliki keahlian apa pun. Setiap hari hanya dia habiskan dengan nongkrong bersama teman-teman dan jikapun sempat jadi supir truk jarak jauh hasilnya tidak begitu memungkinkan hidupnya untuk keluarga maupun orang tua.

Namun, dia akhirnya memutuskan hijrah ke Inhu  dan bekerja sebagai petani, meskipun dia buta sama sekali tentang dunia pertanian. Dia mengungkapkan alasannya.

"Saya ingin membahagiakan orang tua, anak dan istri. Itu sih maunya saya sendiri," kata Yanto.

Kini, sepuluh tahun kemudian, Yanto sudah paham cara bercocok tanam. Uang yang dihasilkan dari bercocok tanam, dia kumpulkan untuk keperluan hidup keluarga, untuk membantu orang tua dan menyekolahkan anak-anak.

"Waktu masih memulai sebagai petani sawit, saya pengen beli rumah, yang lebih layak, sekarang sudah terkabulkan, terus nyekolahin anak-anak," ujar dia. 

Yanto Efendi adalah salah satu dari belasan petani muda yang ada di Inhu mengerjakan lahan orang lain maupun milik sendiri.

"Saya berpikir pengalaman pribadi, lontang-lantung, bekerja serabutan, itu kan yang saya alami dan saya merasa, bagaimana ya cara untuk bisa hidup sejahtera, jangan sampai hidup lebih parah lagi," ujarnya.

"Pahit, pokoknya, kalau sekarang sudah bisa mempekerjakan orang dan mengaturnya," ujarnya sambil tertawa, mengingat masa lalunya.

Melihat potensi keuntungan yang lebih besar, pada sepeuluh tahun terakhir Yanto akhirnya memutuskan untuk berkebun dan menanam sawit dengan pengetahuan berkebun dia pelajari secara otodidak.

Yanto kemudian mengajak anak-anaknya untuk mengolah kebunnya.

Uang yang dihasilkan tiap panen menurutnya, lumayan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari.

Petani sawit kecil masih terlilit banyak masalah

Pemerintah banyak menelurkan aturan soal perkebunan sawit tetapi petani kecil sawit masih alami berbagai masalah.

Seperti diungkapkan Mansuetus Darto, Ketua Umum Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) mengatakan, meskipun berbagai peraturan mengenai perkebunan sawit sudah keluar pada kenyataan tak banyak berpengaruh pada kesejahteraan petani sawit.

"Meskipun banyak aturan, tetapi petani sawit masih alami berbagai masalah. Mulai penyelesaian kebun petani dalam kawasan hutan, legalitas lahan, konflik antara petani plasma dan perusahaan, harga sawit anjlok, sampai Badan Pengelola Dana Perkebunan Sawit (BPDP-KS) malah banyak subsidi biodiesel," kata Darto menyikapi yang umumnya terjadi.

Berbagai aturan itu, katanya, antara lain, Perpres Nomor 66 /2015 tentang pengumpulan dana sawit, PP Nomor 24/2015 tentang BPDP-KS, Permentan Nomor 1/2018 tentang penetapan harga sawit, Permentan Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO).

Baru-baru ini Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengeluarkan inpres moratorium sawit , Perpres Mandatori B20 . Juga RUU Perkelapasawitan sedang dibahas di DPR.

“Dari semua aturan-aturan itu, belum menyentuh problem-problem yang dihadapi masyarakat terutama petani sawit. Lain gatal, lain digaruk. Berbagai regulasi tak bisa menjawab problem sektor sawit,” katanya dalam diskusi pada Hari Tani Nasional, di Jakarta.

“Dana untuk replanting, peningkatan sumber daya manusia, promosi sawiit lebih kecil daripada dana subsidi biodiesel. Ini penyelundupan hukum.”

Selain itu, katanya, untuk mengakses dana replanting, petani harus menempuh jalur birokrasi rumit dan panjang. Seharusnya, buat petani bisa lebih mudah dan sederhana. Belum lagi, persyaratan harus ada bukti legalitas lahan petani.

Ada lagi, soal pengurusan berada di Kementerian Pertanian dan Kemenko Perekonomian serta BPDP-KS hingga membingungkan. “Ini bagaimana? Jangan sampai problem antarkementerian, politik, tata kuasa anggaran, memperlambat replanting,” katanya seraya meminta presiden turun tangan mengatasi masalah ini.

Dia bilang, lahan petani kecil yang mesti penanaman kembali terbilang banyak. Data SPKS, sekitar 32% dari 14,3 juta hektar kebun sawit milik petani swadaya. Selama ini, perhatian pemerintah masih kurang.

Dia juga menyoroti pungutan US$50 per ton oleh BPDP-KS sesuai PP Nomor 24/2015 yang berdampak pada harga tandan buah segar dari petani. Perusahaan, katanya, akan membebani pungutan pada biaya produksi hingga harga TBS petani turun sekitar Rp120-RP150 per kilogram.

“Petani sawit dikebiri untuk kepentingan industri biodiesel dan pemanfaatan selama ini hanya untuk industri biodiesel. Alasan industri untuk pasar baru dan stabilitas harga hanya akal-akalan..”

Tak hanya soal penanaman kembali, kata Darto, petani perlu bantuan agar bisa menjual TBS langsung ke pabrik tanpa melewati tengkulak hingga harga lebih laik.

Menyinggung soal penanaman sawit agar lebih menunjukkan hasil, kembali seperti disebutkan Yanto, dirinya hanya bisa melakukan cara dan langkah-langkah pengetahuan otodidak.

"Paling tidak, yang saya tau pohon sawit memerlukan penyinaran dari sinar matahari langsung selama 5 – 7 jam per hari, serta di lingkungan curah hujan yang baik untuk pertumbuhan pohon sawit yaitu 1.500 – 4.000 mm per tahun," kata dia.

Begitupun tentang suhu lingkungan yang ideal pada perkebunan sawit yaitu 24 – 28 derajat celcius.

Tetapi tanaman sawit, sebutnya, akan tumbuh dengan baik pada daerah dengan ketinggian sekitar 1.500 mdpl, yang membutuhkan kecepatan angin sekitar 5 – 6 km per jam untuk membantu proses penyerbukannya dan juga perlu memperhatikan jenis tanah yang cocok untuk menanam sawit yaitu tanah yang mengandung lempung, tidak berbatu dengan pH 4 – 6. (rp.sdp/*)

Tags : petani sawit, petani sawit kecil, petani sawit panutan, petani sawit di inhu, riau, menjadi petani sawit sukses,