Redaksi   2022/12/22 16:7 WIB
Korban Cianjur Terkatung-katung, ’jadi Kesulitan untuk Hidup Normal'
| Satu bulan peristiwa gempa bumi di Cinajur alami penderitaan, sebagian korban masih terkatung-katung jadi kesulitan untuk memulai hidup normal.
Kolom Opini

Korban Cianjur Terkatung-katung, ’jadi Kesulitan untuk Hidup Normal'

SATU BULAN setelah gempa bumi berkekuatan 5,6 mengguncang Cianjur, Jawa Barat, sejumlah warga masih bertahan di tenda-tenda pengungsian, menanti kepastian untuk memulai kehidupan normal seperti dulu.

Di Desa Cibeureum, Kecamatan Cugenang, masih ada warga yang belum menerima dana stimulan perbaikan rumah karena proses pendataan yang tidak akurat dan harus diulang.

Selain itu, sebagai salah satu desa yang disebut dilalui patahan sesar aktif Cugenang, warga juga masih menanti kepastian apakah mereka akan terdampak relokasi atau tidak.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengatakan "lebih 8.300 warga telah menerima dana stimulan tahap pertama untuk membenahi rumah mereka".

Sejak Rabu 21 Desember 2022, BNPB menyatakan proses penanganan korban gempa Cianjur memasuki tahap rehabilitasi dan rekonstruksi, setelah masa tanggap darurat berakhir pada Selasa 20 Desember 2022.

Pada tahap ini pemerintah akan fokus membangun kembali hunian warga serta infrastruktur yang rusak, dengan target akan rampung pada Juni 2023.

Sebanyak 635 orang tewas dan lima orang masih hilang akibat gempa dangkal yang disebut bersumber dari sesar Cugenang itu.

Sudah satu bulan, Yana Setiawan, 46 tahun, tidur beralas tikar dan beratap terpal di tenda pengungsian di Desa Cibeureum, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat.

Desa Cibeureum adalah salah satu desa yang terdampak parah oleh guncangan gempa pada 21 November lalu.

Mayoritas rumah warga rusak, termasuk rumah Yana yang atapnya rubuh dan banyak dindingnya retak. Itu membuat Yana belum berani kembali ke rumahnya.

Apalagi, gempa masih berulang kali mengguncang wilayah Cugenang pada Rabu. Meski kekuatannya berkisar magnitudo 2, namun warga bisa merasakan guncangan itu karena pusat gempanya cukup dangkal.

“Tidur di rumah masih ngeri-ngeri gitu. Karena kemarin masih terjadi gempa sekitar pukul 1 siang lah. Masih ngeri gitu lah, tidur kita masih di pengungsian,” kata Yana Setiawan.

Yana juga mengatakan belum bisa membenahi rumahnya yang rusak. Sebab, dana stimulan dari pemerintah belum turun mengingat proses verifikasi kondisi rumah warga masih berlangsung.

Sebelumnya, pemerintah menjanjikan dana bantuan sebesar Rp60 juta untuk rumah rusak berat, Rp30 juta untuk rumah rusak sedang, dan Rp15 juta untuk rumah rusak ringan.

Namun pada proses verifikasi sebelumnya, ditemukan data yang tidak sesuai dengan kondisi riil rumah yang rusak. Oleh sebab itu, masyarakat pun meminta dilakukan verifikasi ulang.

“Kemarin karena kesalahan data waktu pendataan pertama banyak yang tidak sesuai, misalkan yang kondisinya rusak ringan jadi berat. Mungkin datanya yang salah atau apa, ada beberapa yang seperti itu,” kata Yana.

Akibatnya, mayoritas warga Desa Cibeureum masih bertahan di tenda-tenda pengungsian, termasuk balita dan anak-anak. Beberapa pengungsi juga mengalami demam, batuk, serta gatal-gatal.

Meski demikian, Yana mengatakan kebutuhan dasar mereka seperti makanan dan obat-obatan sejauh ini masih terpenuhi.

Namun selama satu bulan berada di pengungsian dengan fasilitas alakadarnya lama-lama membuat Yana jenuh.

“Saya sendiri sudah mulai jenuh, kadang bingung mau memulai kegiatan seperti apa, bingung, mau kerja juga belum bisa,” tutur Yana yang merupakan seorang guru SD di Desa Cibeureum, dan SD itu juga rubuh akibat gempa.

Situasi itu membuat Yana ingin segera membangun kembali rumahnya dan memulai kehidupan baru pasca-gempa.

“Kami ingin segera diselesaikan, baik dari segi infrastrukturnya, seperti rumah-rumah warga segera ada kepastian gitu agar kita tidak terkatung-katung seperti ini. Belum berani bangun rumah, belum berani berkegiatan secara normal lagi. Jadi perlu ada kepastian saja,” ungkap Yana.

Terkait dana stimulan itu, Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB Abdul Muhari menyebut bahwa proses verifikasi akan rampung pada 24 Desember. Sejauh ini, ada sekitar 67.000 rumah yang telah disurvei.

Menurut catatan BNPB, lebih dari 8.300 warga telah menerima dana stimulan tahap pertama untuk membenahi rumah mereka.

Dia mengatakan warga yang sudah menerima dana stimulan, dengan kerusakan rumah kategori ringan hingga sedang semestinya sudah bisa memperbaiki rumah-rumah mereka.

“Kalau rumah ini rusaknya medium, sudah bisa perbaiki rumah dan silakan keluar dari tenda itu, mulai hidup yang baru,” kata Abdul Muhari seperti dirilis BBC News Indonesia.

Sementara itu, BNPB dan pemerintah mengatakan juga sudah mulai membangun hunian tahan gempa. Ada 16 rumah yang sudah selesai sepenuhnya dan 68 unit yang sudah terbangun sampai atapnya.

Pemerintah menargetkan seluruh proses pembangunan ulang rumah warga maupun relokasi akan rampung pada Juni 2023.

“Ini sudah termasuk cepat loh. Masih tahap tanggap darurat saja kita sudah bangun rumah,” kata Muhari.

Satu hal lainnya yang membuat Yana merasa gamang memulai kehidupan barunya adalah kepastian mengenai rencana relokasi.

Desa Cibeureum adalah satu dari sembilan desa yang menurut Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) yang dilalui oleh patahan aktif sesar Cugenang, sumber gempa merusak pada 21 November lalu.

Namun belum diketahui secara pasti di titik-titik mana di desa-desa itu yang harus dikosongkan dan tidak boleh dihuni.

“Saya harap awal tahun nanti setidaknya bisa ada keputusan apakah harus direlokasi atau dibangun di tempat,” kata Yana.

Yana sendiri menyatakan bersedia jika harus direlokasi, meski dia meminta pemerintah memastikan kompensasi yang diterima warga sesuai.

Sebaliknya, korban gempa di Kampung Gintung, Desa Mangunkerta, Kecamatan Cugenang, Imas Masfatihah mengatakan banyak warga yang sudah mendengar kabar soal potensi relokasi dan was-was soal rencana itu.

Meski sejauh ini, mereka belum mendapat pemberitahuan resmi soal siapa saja yang akan terdampak direlokasi.

“Misalnya kalau ada yang punya tempat 100 meter, di tempat baru kan cuma 50 meter. Belum lagi yang punya sawah dan kebun, bagaimana mencari nafkahnya,” kata Imas.

Abdul Muhari dari BNPB mengatakan bahwa pemerintah daerah akan terus mensosialisasikan pentingnya relokasi demi keselamatan warga akan potensi bencana.

Sejauh ini, pemerintah sudah menyiapkan sejumlah lokasi relokasi. Namun, sejauh ini belum ada kepastian soal warga di titik mana saja yang harus direlokasi di sembilan desa yang dilalui jalur patahan itu.

Para ahli disebut masih harus menganalisis lebih lanjut jalur patahan di sesar aktif Cugenang, yang ditenggarai sebagai sesar baru.

“Itu masih menunggu dari BMKG karena masukan dari Badan Geologi, BRIN dan ITB itu masih harus dipertajam analisisnya, sehingga benar-benar harus dilihat di mana jalur patahannya, sehingga kita bisa mengambil putusan tepat,” jelas Muhari.

Bagi korban gempa seperti Yana dan Imas, bagaimana mereka akan memulai kehidupan yang baru bukan satu-satunya persoalan.

Keduanya masih berkutat dengan rasa trauma yang menghantui sejak gempa mengguncang.

Yana mengaku masih terus terbayang dan kerap merasa sedih setiap kali mengingat kejadian pasca-gempa. Namun dia merasa cukup beruntung, ibu dan istrinya selamat dari kejadian itu.

“Masih melekat gitu, sedih, kemudian traumanya masih berat gitu. Masih banyak hal-hal yang membuat kita seperti..dampak psikologinya itu besar sekali buat kami akibat bencana itu,” kata Yana.

Sedangkan Imas mengaku belum mau kembali ke rumahnya yang rubuh di Kampung Gintung. Sebab di rumah itu, anak perempuannya yang berusia 6 tahun, Ashika Nur Fauziah, tewas tertimpa reruntuhan bangunan.

Dua pekan belakangan, Imas pun harus menghadapi kenyataan lainnya bahwa anak bungsunya menderita sakit akibat trauma.

“Mulutnya itu enggak bisa buka giginya, sudah hampir dua minggu. Jadi kepikiran, makannya itu susah. Kemarin dirujuk ke rehabilitasi medik, katanya trauma,” kata Imas yang belakangan kerap bolak-balik ke rumah sakit untuk mengecek kondisi anak bungsunya.

Sejak gempa terjadi, Imas mengungsi di rumah saudaranya. Kebutuhan sehari-harinya terpenuhi berkat bantuan dari saudara atau tetangga-tetangganya.

“Walaupun makan itu itu aja, mie lagi mie lagi, mie, telur nggak apa-apa, yang penting bisa makan,” ujarnya.

Dia belum bisa kembali berjualan agar-agar seperti sebelum gempa terjadi. Saat ini, Imas mengatakan prioritas utamanya adalah kesembuhan anak bungsunya.

“Saya harap semuanya bisa pulih seperti biasa, beraktivitas seperti biasa, anak saya juga bisa sehat-sehat lagi. Itu aja,” tutur Imas. (*)

Tags : Gempa bumi, Korban Gempa Cianjur, Korban Hidupnya Terkatung-katung, Korban Gempa CianjurSulit Hidup Normal,