Karier   2022/05/14 12:27 WIB

Kenapa Manajer Ingin Karyawan Selalu Sibuk Disaat Jam Kerja?

 Kenapa Manajer Ingin Karyawan Selalu Sibuk Disaat Jam Kerja?

SAAT jam kerja, sebagian besar manajer berharap karyawan mereka tetap sibuk sepanjang hari.

Ini bisa berarti menyelesaikan tugas-tugas sesuai kewenangan mereka, atau memusatkan perhatian pada proyek-proyek yang berhubungan dengan pekerjaan. Bahkan ketika alur kerja memungkinkan sedikit waktu luang, pesan dari manajemen biasanya jelas: cari cara untuk terus bekerja.

Jika karyawan kelihatan menganggur, beberapa manajer memberikan 'busywork' supaya karyawan mereka tetap sibuk.

"Busywork adalah pekerjaan yang tidak punya tujuan," kata pelatih kepemimpinan dan pengembangan Randy Clarke, yang berbasis di Indiana, AS. "Pekerjaan seperti itu tidak mengarah pada pencapaian tujuan apapun; tidak berguna bagi pribadi karyawan, operasi, atau budaya perusahaan."

Contoh 'busywork' antara lain menyusun laporan yang tidak ada gunanya, memberi kode warna pada spreadsheet, atau mengoreksi presentasi yang sudah diperiksa.

Sebuah studi pada tahun 2016 terhadap 600 pekerja intelektual alias knowledge workers menemukan bahwa mereka menghabiskan hanya 39% dari hari kerja mereka untuk melakukan pekerjaan mereka yang sebenarnya; sisanya diisi dengan rapat, email, dan kesibukan-kesibukan lainnya seperti menulis laporan status untuk manajer.

Di kantor, manajer dapat memberikan 'busywork' hanya berdasarkan pantauan sekilas tentang apa yang dilakukan karyawan. Namun peralihan ke pekerjaan jarak jauh selama pandemi telah mengubah itu, karena banyak manajer tidak bisa lagi memantau karyawan mereka dengan mudah.

Meskipun penelitian menunjukkan banyak karyawan jarak jauh bekerja lebih produktif, mereka juga bekerja lebih lama. Apakah ini berarti para manajer menugaskan lebih banyak 'busywork'? Dan apakah memang buruk bila karyawan sedikit bersantai ketika tidak ada lagi yang bisa dilakukan?

Mempertahankan kontrol

Salah satu bagian dari masalah seputar kesibukan ialah beberapa manajer menyamakan bisnis dengan produktivitas.

Pekerja yang sibuk dianggap terlibat dan mau berusaha; dan lebih dari itu, ketekunan mereka dipersepsikan lebih bermoral daripada rekan-rekan mereka yang kurang sibuk.

Ini membentuk dinamika di mana dua karyawan kantor yang menyelesaikan tugas yang sama dinilai berdasarkan kesibukan mereka, alih-alih kualitas pekerjaan mereka. Siapa yang kerjanya lebih bagus: karyawan yang melewatkan makan siang demi menyelesaikan tugas, atau pekerja efisien yang selesai lebih cepat dan menggunakan waktu yang ia hemat untuk berbelanja bahan makanan di toko online?

Dari sudut pandang bos, pekerja yang sibuk seringkali kelihatan meyakinkan. "Orang-orang merasa uang mereka keluarkan untuk membayar Anda sepadan jika mereka melihat Anda sibuk bekerja," kata Susan Vroman, dosen manajemen di Bentley University, Massachusetts.

Hal ini lebih kuat dalam budaya kerja di mana manajer beroperasi dengan gaya yang lebih tradisional dan otoritatif, sementara karyawan tidak punya banyak otonomi.

Dalam organisasi-organisasi dengan budaya kerja seperti ini, manajer mungkin juga merasa di bawah tekanan dari atasan mereka sendiri untuk membuktikan bahwa tim mereka sibuk dan produktif.

"Para manajer berkata, 'Saya butuh karyawan saya terus menghasilkan pekerjaan sehingga saya tahu mereka berhak mendapatkan gaji mereka, karena seseorang mengawasi saya untuk memastikan saya mengelola mereka dengan baik'," kata Vroman.

Pekerjaan jarak jauh, dalam beberapa kasus, memperburuk tekanan ini. Ketika karyawan pertama kali beralih ke pekerjaan jarak jauh, banyak manajer merasa resah karena tidak mampu memantau karyawan mereka secara visual.

"Dalam situasi Covid, para bos merasa jika mereka tidak bisa melihat karyawan bekerja, maka mereka tidak bekerja," tambah Vroman. "Mereka tidak berpikir karyawan bekerja dengan produktif, bahkan jika mereka masih menunjukkan hasil."

Pada saat yang sama, banyak manajer melaporkan hilangnya kepercayaan pada karyawan mereka. Penelitian Juli 2020 di Harvard Business Review menunjukkan 41% manajer mempertanyakan motivasi karyawan mereka, dan hampir sepertiga meragukan bahwa karyawan mereka memiliki pengetahuan yang tepat atau keterampilan esensial untuk menyukseskan pekerjaan jarak jauh.

Ketika para petinggi meragukan etos kerja karyawan, salah satu solusinya ialah mengatur waktu mereka dengan daftar tugas yang tak ada habisnya untuk membuat mereka tidak beranjak dari meja - bahkan jika beberapa tugas itu tidak ada gunanya.

"Manajer bahkan mungkin tidak tahu apakah seorang karyawan telah menyelesaikan tugas inti mereka, tapi mereka memberi kesibukan tambahan untuk memastikan mereka belum selesai bekerja [untuk hari itu]," kata Barbara Larson, seorang profesor eksekutif manajemen di D'Amore-McKim School of Business di Northeastern University, Massachusetts.

"Ini adalah pekerjaan yang secara harfiah hanya diberikan untuk memastikan bahwa karyawan bekerja, sehingga manajer tetap merasa bahwa mereka masih memegang kendali."

'Kami benar-benar membuat diri kami terlihat sibuk'

Namun, bukan hanya manajer yang menyamakan kesibukan dengan kinerja baik. Sebuah studi menemukan bahwa pekerja intelektual menghabiskan rata-rata 41% waktu mereka di tempat kerja dengan 'busywork' yang sebenarnya dapat didelegasikan kepada orang lain, hanya supaya mereka kelihatan lebih sibuk dan lebih berguna di tempat kerja.

"Jelas kita membuat diri kita terlihat sibuk, karena kita tahu orang-orang mengawasi," kata Vroman.

Saat bekerja online, tekanan untuk terlihat sibuk tetap ada, bahkan jika itu berarti menambah kerjaan-kerjaan printilan, seperti mengirim pesan hanya untuk membuktikan bahwa kita masuk. Dan meskipun banyak pekerja dapat menyelesaikan pekerjaan mereka dalam waktu yang lebih singkat saat bekerja dari jarak jauh, banyak juga yang masih merasakan tekanan untuk membuat diri mereka sibuk.

"Kita merasa tidak enak karena kita tahu kita dibayar untuk bekerja sepanjang hari," kata Vroman. Memang, sebuah studi tahun 2021 menunjukkan bahwa rasa bersalah di sekitar mengambil istirahat sangat tinggi sehingga 60% pekerja jarak jauh AS tidak meluangkan waktu untuk diri mereka sendiri selama hari kerja.

Beberapa karyawan bahkan takut bila mereka tidak menyibukkan diri sendiri, bos mereka yang akan membuat mereka sibuk. Vroman berkata orang-orang akan mulai melakukan hal-hal untuk membuat diri mereka terlihat sibuk, "sehingga bos mereka tidak ikut campur".

Beberapa manajer melaporkan jeda dalam pekerjaan selama pengaturan jarak jauh telah membuat karyawan gelisah. "Ketika beberapa staf kami bekerja dari rumah, saya perhatikan bahwa mereka merasa sedikit bersalah ketika ada masa tenang," kata Niall John Lynchehaun, direktur pelaksana perusahaan perlengkapan bangunan Midland Stone, yang berbasis di Irlandia.

Dia mulai menugaskan 'busywork' supaya karyawannya masih merasa berguna di masa tenang. "Ini hanya cara termudah untuk menghadapi situasi ini."

Tetapi menugaskan terlalu banyak 'busywork' untuk mengurangi rasa bersalah mungkin berarti menukar satu set perasaan negatif dengan yang lain. Sebuah studi tahun 2018 menunjukkan 42% pekerja menghabiskan setengah dari waktu mereka untuk kesibukan, dan 71% mengatakan bahwa melakukan terlalu banyak 'busywork' "membuat mereka merasa seolah-olah hidup mereka terbuang sia-sia".

Efek riak dari tugas yang tidak ada gunanya

Dalam jangka panjang, sering menetapkan tugas yang dirancang hanya untuk bikin sibuk dapat merusak hubungan antara manajer dan pekerja mereka.

"Ini bisa sangat mendemotivasi karyawan yang bekerja jarak jauh," kata Larson. "Ini tanda kurangnya kepercayaan dan kurangnya perhatian. Tragedi kesibukan yang sebenarnya adalah dalam kesempatan yang hilang. Ada begitu banyak yang bisa dilakukan dalam waktu itu yang akan bermanfaat bagi karyawan dan perusahaan."

Kesempatan itu dapat berarti menugaskan karyawan pekerjaan yang benar-benar berguna atau kesempatan untuk berkembang yang seringkali tidak diprioritaskan, misalnya pelatihan keterampilan. Itu juga bisa berarti membiarkan karyawan untuk beristirahat.

Banyak studi telah membuktikan manfaat istirahat teratur selama hari kerja. Di antara manfaat tersebut ialah mengurangi stres dan meningkatkan fokus, kreativitas, dan produktivitas — semuanya positif bagi karyawan dan organisasi mereka.

Tapi terutama ketika para pekerja jarak jauh bekerja semakin lama, menumpuk 'busywork' yang tak ada habisnya akan menciptakan dampak sebaliknya.

"Bahaya terbesarnya ialah karyawan mengalami burn out dan kesehatan mental mereka terdampak," kata Vroman.

Memutus siklus

Tentu saja, tidak semua manajer suka memberikan 'busywork'. Larson percaya pada tugas "berbasis hasil" bukan tugas berbasis waktu. Jika karyawannya selesai lebih awal atau punya waktu untuk beristirahat, katanya, "maka, terus terang, fleksibilitas itu adalah bagian dari hadiah untuk kinerja mereka".

Pendekatan ini hanya mungkin bila karyawan diberi otonomi, hal yang menurut Larson "sangat memotivasi".

"Biasanya, itu menciptakan siklus yang baik, di mana karyawan ingin melakukan pekerjaan mereka dengan baik."

Randy Clarke menyarankan bahwa manajer perlu lebih sadar akan jenis tugas yang mereka berikan. Ketika dia melatih manajer dan pemimpin, dia menyarankan agar mereka membuat karyawan tetap sibuk selama jam kerja, tanpa memberikan 'busywork'. Sebaliknya, mereka harus punya rencana untuk masa tenang, dan "mencari tugas yang akan menambah nilai pada perusahaan".

Pekerjaan jarak jauh mungkin belum menghapus gagasan bahwa karyawan harus selalu sibuk selama jam kerja, namun perubahan sikap terhadap manajemen memberi secercah harapan. Jika bekerja dengan jadwal yang fleksibel berarti kualitas kerja lebih penting daripada jam kerja, maka 'busywork' tidak perlu ada lagi, dan akibatnya pekerja akan menjadi lebih sehat dan lebih bahagia. (*)

Tags : Virus Corona, Pekerjaan, Karir,