Kolom Opini   2025/12/08 12:19 WIB
Kolom Opini

Bencana Sumatera dan Suara Alam yang Kita Abaikan

HUJAN yang turun di Sumatera beberapa hari terakhir bukan hanya hujan, ia seperti lembaran kitab yang terbuka satu per satu, memperlihatkan tulisan-tulisan lama yang selama ini kita abaikan.

Sungai-sungai yang biasanya berbisik pelan kini mengaum, membawa lumpur dan batang-batang pohon yang tumbang seperti kenangan yang tercerabut paksa.

Di desa-desa yang berdiri tenang di antara perbukitan hijau itu, hidup berubah dalam sekejap—rumah hanyut, tanah retak, dan jeritan manusia tenggelam oleh raungan arus yang tak lagi mengenal batas.

Lebih dari delapan ratus jiwa hilang dalam hitungan jam, ratusan ribu orang kini berdesakan di tenda-tenda pengungsian, berusaha menemukan tidur yang tak kunjung datang. 

Tragedi sebesar ini, tentu saja, tak boleh hanya kita baca sebagai rangkaian angka. Ada cara pandang lain yang harus kita hadirkan: sebuah seruan. Tragedi ini adalah seruan yang datang dari alam yang telah terlalu lama dipaksa bertahan, dari tanah yang lelah memikul beban ambisi manusia.

Air yang selama ini kita anggap berkah datang kali ini sebagai pengingat. Ia menyusuri lembah dan pemukiman dengan cara yang tak pernah kita bayangkan, seolah hendak berkata bahwa keseimbangan yang kita abaikan sedang menagih haknya.

Banyak suara moral pada hari ini mengingatkan bahwa merusak hutan, merusak sungai, dan merusak alam bukan hanya kecerobohan ekologis—melainkan bentuk pengkhianatan terhadap amanah yang dititipkan Tuhan kepada manusia.

Alam tidak sedang marah, ia hanya bertindak sesuai hukum yang sejak awal ditetapkan atasnya, yaitu, ketika keseimbangan diganggu, ia mencari keseimbangannya kembali. Dan kita, yang selama ini menganggap diri “pemilik” bumi, tiba-tiba menyadari betapa rapuhnya tempat kita berdiri.

Di tenda-tenda pengungsian, malam terasa lebih panjang daripada biasanya. Anak-anak terbangun bahkan oleh desau angin. Para ibu memeluk pakaian seadanya sambil memikirkan bagaimana esok akan dijalani.

Bencana ini meruntuhkan bukan hanya bangunan dan jembatan, tetapi juga rasa aman yang membentuk kehidupan sehari-hari manusia.

Namun setiap kali bencana melanda, kita kerap terpaku pada laporan yang sama: korban bertambah, jembatan putus, warga terisolasi. Berulang kali kita membicarakan akibat, tetapi terlalu jarang kita bertanya dengan jujur tentang sebab.

Benar bahwa Indonesia adalah negeri dengan risiko bencana cukup tinggi. Banyaknya gunung berapi, patahan tektonik, dan hujan yang mengguyur sepanjang tahun, memang merupakan ancaman bencana.

Hanya saja, sebagian besar dari bencana besar tidak lahir dari geografi, melainkan dari pilihan-pilihan manusia sendiri: hutan yang direnggut habis, bukit yang ditelanjangi, serta sungai yang dipersempit demi pembangunan tanpa memikirkan napas jangka panjang bumi.

Dalam tradisi hikmah, ketika dunia luar mengirimkan “guncangan”, itu adalah undangan bagi manusia untuk melihat ke dalam. Bukan untuk mencari kambing hitam, tetapi untuk menemukan titik terang yang bisa memandu langkah berikutnya. 

Pertanyaan-pertanyaan itu kini mengemuka: apakah kita telah menjaga amanah Tuhan bernama bumi ini? Apakah kita membangun dengan mempertimbangkan keselamatan orang-orang yang tinggal di bawah kaki bukit atau di tepi sungai?

Ataukah kita terlalu sibuk mengejar kenyamanan dan keuntungan sesaat hingga kita lupa bahwa bumi memiliki batas kesabarannya sendiri?

Jawaban atas pertanyaan itu harus berupa kesadaran baru, yaitu kesadaran ekologis yang memandang alam bukan sebagai objek, melainkan sebagai mitra kehidupan, kesadaran tata kelola yang tidak hanya sibuk membangun setelah bencana, melainkan bekerja sungguh-sungguh untuk mencegah keterulangannya; kesadaran sosial yang membuat kita merasa bahwa saat satu daerah terluka, seluruh Indonesia sesungguhnya turut merasa sakit.

Ketika air akhirnya surut dan lumpur yang menutup jalan mulai mengering, kita akan berdiri di antara sisa-sisa kehidupan yang patah.

Kita akan melihat rumah dan masjid yang tinggal puing, jalanan yang patah, sawah yang hilang bentuknya, dan wajah-wajah yang kehilangan harapan. 

Namun bencana ini tidak boleh berhenti sebagai kesedihan belaka. Ia mengharuskan kita memilih: apakah kita akan kembali pada kelalaian lama, atau berani memulai babak baru dengan kesadaran yang lebih jernih?

Sumatera hari ini bukan sekadar wilayah yang dilanda banjir. Ia adalah cermin yang memantulkan masa depan Indonesia. Jika kita tetap menutup mata, tragedi ini akan menjadi prolog dari bencana-bencana berikutnya.

Tetapi jika kita berani membaca pesan alam yang tersirat, maka dari tanah yang basah dan langit yang kelabu ini kita dapat memulai sesuatu yang lebih bermartabat: hubungan baru antara manusia dan bumi, hubungan yang dibangun bukan atas kerakusan, tetapi atas kesadaran bahwa hidup hanya mungkin berlangsung bila keseimbangannya dijaga bersama.

Barangkali alam tidak sedang menghukum. Ia hanya sedang berbicara dengan bahasa paling jujur yang ia miliki. Kita harus mendengarkan dan menjawabnya, sebelum segalanya akan menjadi serba terlambat  

Sumber: Republika.co.id

Tags : tapanuli, tapanuli tengah, bencana banjir, sumatera, banjir aceh dan sumatera, banjir bandang sumatera, sumatera banjir, sumatera,