TEMBILAHAN, Kota berpenduduk 78.140 jiwa ini selain banyak ditumbuhi kedai kopi, toko swalayan non-jaringan tetap buka.
Melihat kondisi jalannya yang sempit, kita bakal kecele karena tak menyangka bahwa ia bakal mengantar kita ke sebuah kota yang semarak dan hidup.
Tembilahan, inilah kota kecil yang ramai di kuala Sungai Indragiri atau disebut juga batang Kuantan. Geliat ekonomi dan pusat pemerintahan Kabupaten Indragiri Hilir (Inhil), Provinsi Riau, berada di sini.
Jalan negara sepanjang 95 kilometer itu membentang dari Rengat, dekat jalan Lintas Timur Sumatera, kita bisa melihatnya dalam perkembangan terakhir di tahun 2025 ini.
Daerah yang berdampingan dengannya adalah Kabupaten Indragiri Hulu (Inhu), Rengat merupakan ibu kotanya, kembaran dari Kota Tembilahan Kabupaten Indragiri Hilir (Inhil).
Badan jalan menyempit karena harus melewati rawa gambut di sepanjang aliran Sungai Indragiri. Banyaknya anak sungai (di sini disebut parit) mengakibatkan di hampir setiap satu kilometer terdapat satu atau lebih jembatan.
“Raja” dari semua jembatan itu adalah Jembatan Rumbai Jaya di Desa Mumpa, Kecamatan Tempuling.
Panjangnya 750 meter, lebar 7 meter, dan jarak lantainya ke permukaan sungai setinggi 17 meter. Konstruksinya berupa besi baja melengkung tinggi di tengah.
Tak tanggung-tanggung, “parit” yang dilintasi adalah Sungai Indragiri sendiri.
Jembatan yang diresmikan Presiden Megawati Soekarnoputri pada 2004 itu tampak kuat dan indah.
Puluhan jembatan lain yang dilewati pun kondisinya juga bagus-bagus.
Sayangnya, jalannya kurang mulus. Lubang menganga di mana-mana. Penyebabnya, truk pengangkut batu bara dari Peranap ke pelabuhan.
“Untunglah sekarang ada jalan alternatif. Jika tak, Abang bisa bayangkan betapa sengsaranya badan berpapasan dengan truk-truk besar,” kata Izam, penduduk setempat, dalam logat Melayu.
Ia penduduk kota Tembilahan yang cukup disegani oleh masyarakat.
Jalan yang membentang di tengah rawa dan di kiri-kanan tampak rumah-rumah kayu bertiang tinggi berderet menempel ke tepi jalan.
Penduduk Indragiri Hilir banyak berasal dari suku Banjar. Mereka berdiaspora puluhan tahun lalu. Alamnya punya kesamaan: tanah gambut dan sungai-sungai.
Kendaraan tak terlalu banyak melintas. Namun Tembilahan, yang bergelar “Kota Beriman”, ternyata tak hanya mengandalkan jalan darat.
Daerah itu juga hidup dari jalur air: sungai dan lautan.
Tembilahan juga mengandalkan moda transportasi air. Pelabuhan bukanlah pintu belakang, melainkan pintu depan.
Jalur air menghubungkan kota-kota kecamatan dan kota kabupaten, baik di Provinsi Riau sendiri maupun antarprovinsi, seperti ke Kuala Tungkal (Jambi) serta Batam, Tanjungpinang, dan Tanjung Balai (Kepulauan Riau).
Termasuk ke negeri jiran, Malaysia atau Singapura.
Walhasil, meski seolah-olah terpencil, Tembilahan sangatlah ramai dan berkembang.
Pelabuhannya punya jadwal lengkap kapal cepat, kapal ro-ro Pelni, beserta kapal boat. Termasuk kapal barang dari dalam dan luar negeri.
Belum lagi kapal-kapal kayu kecil, seperti klotok, pompong, atau ketinting, menyibak sungai-sungai kecil membawa nanas atau kelapa.
Kota seluas 197,37 km persegi dan berpenduduk 78.140 jiwa (sensus 2022) ini hidup sampai tengah malam.
Selain kedai kopi yang berderet sepanjang jalan, toko swalayan non-jaringan tetap buka.
Tembilahan memang sejak dulu dikenal hidup hampir 24 jam.
Izam menceritakan bahwa, semasa remaja, ia dan kawan-kawannya sering bermalam minggu di kota Tembilahan.
“Dulu, ada bioskop, ada Pasar Jongkok (pasar barang-barang bekas dari negeri tetangga), pelabuhannya ramai, dan makanannya enak-enak,” ujarnya.
Melalui jalur air, hubungan Tembilahan dengan dunia luar sangat terbuka. Begitu juga dengan daerah hulu. Waktu itu masih ada kapal ke Rengat.
Tetapi akhir 1990-an, pelabuhan Rengat akhirnya tutup. Deforestasi hutan menyebabkan Sungai Indragiri mendangkal.
Pelabuhan dipindahkan ke Kuala Cenaku, tapi lebih untuk kapal barang—kini untuk batu bara.
Namun di kuala, kapal-kapal barang dan penumpang masih eksis, membuat Tembilahan punya andalan jalan di luar jalan darat.
Melalui jalur air ini pula, Tembilahan berkembang menjadi kota multietnis berkat kedatangan orang-orang Banjar dan Bugis.
"Orang Banjar mewarnai kehidupan kota ini. Tak berlebihan jika dikatakan Tembilahan bagai sepotong Banjarmasin di pantai timur Sumatera."
Ketika Kerajaan Banjar dihapuskan oleh Gubernemen Hindia Belanda pada 1860, muncullah gejolak sosial dan krisis ekonomi.
Orang Banjar beramai-ramai memutuskan pergi dari kampung halaman.
Bukan sekadar madam (merantau), tapi juga mencari tempat baru buat menetap.
Pada sekitar 1885, Tembilahan menjadi tujuan utama mereka. Waktu itu, seorang ulama besar asal Martapura, Syekh Abdurrahman Shiddiq Al-Banjari—atau dikenal sebagai Tuan Guru Sapat—diangkat menjadi mufti Kerajaan Indragiri.
Selain di Tembilahan, komunitas Banjar terdapat di Sapat, sebuah delta di tengah kuala Indragiri.
Selebihnya, mereka menyebar di Kecamatan Tempuling, Enok, dan Batang Tuaka. Sebagian besar mereka hidup dari berkebun kelapa.
Indragiri Hilir termasuk daerah penghasil kelapa terbesar di Indonesia (pemerintah daerahnya bahkan mengklaim “terbesar di dunia”).
Kelapa utuh ataupun dalam bentuk olahan kopra memenuhi pasar dalam negeri dan untuk ekspor.
"Sebuah pabrik pengolahan kelapa terdapat di sini, menghasilkan berbagai produk olahan."
“Dari kelapa, orang sini kaya-kaya karena harganya stabil. Tak seperti sawit,” tutur Izam.
“Sayang, pemerintahnya tetap saja tergoda sawit,” Izam kembali mengeluh.
Sementara itu, diaspora Bugis menyebar di sepanjang pantai Tanjung Jabung, Jambi, dari Nipah Panjang, Muara Sabak, hingga Kuala Tungkal.
Mereka pun masuk ke kawasan pesisir Indragiri, seperti Enok, Pulau Kijang, dan Tembilahan. Maka, jangan heran, kita akan sering mendengar orang bercakap dalam bahasa Bugis di pelabuhan atau di atas perahu.
“Orang Bugis juga suka berkebun, tapi lebih banyak jadi pedagang dan pengusaha kapal,” tutur Izam.
Tentu saja para diaspora itu hidup berbaur dengan orang Riau sendiri serta orang-orang Minangkabau dan Batak yang merantau sejak puluhan tahun lalu.
Termasuk orang Jawa dan Sunda yang sebagian datang melalui program transmigrasi.
Lengkaplah Tembilahan sebagai kota multietnis. Meski begitu, nuansa Banjar sangat terasa, dari konstruksi bangunan di atas rawa, bahasa sehari-hari, bahkan relegiositas khas Banjar.
Poster atau foto Tuan Guru, misalnya, terpasang di dinding rumah atau tempat usaha mereka.
Tradisi ziarah ke makam ulama, seperti makam Tuan Guru Sapat, juga terjaga dengan baik. Bahkan terdapat pasar terapung seperti di Banjarmasin.
Boleh dikata Tembilahan ini dipenuhi sepeda motor. Sore-sore warga suka raun-raun keliling kota. Dan tiap bulan Ramadhan, jumlah warga yang keluar menjadi lebih banyak, ucap Betal, teman kerabat di kota itu.
Jika menelusuri jalanan kota, tak berarti sepi sekali. Kendaraan dan becak masih acap melintas.
Toko masih banyak yang buka. Sisanya tentu saja kedai kopi di mana-mana. Benarlah kata Betal, kota ini hidup hampir 24 jam!
Jalan Jenderal Sudirman yang merupakan pusat kota tua Tembilahan. Jalan itu memanjang di tepi kuala, tempat pelabuhan dan sebuah pasar terletak.
Di ruas jalan ini pula terdapat Masjid Agung Al Huda, masjid raya kota. Dari atas sepasang menaranya, selarut itu, ayat-ayat suci masih terus terdengar didaras orang.
“Ini lokasi Pasar Jongkok,” kata Betal.
Ia kemudian menjelaskan bahwa itu sebutan untuk pasar barang bekas, terutama aneka busana, yang diimpor dari luar negeri.
Meski bekas, barang-barangnya terbilang branded dan berkualitas. Harganya terjangkau.
Belakangan, asal barang bukan hanya dari negara terdekat, seperti Singapura atau Malaysia, tapi juga dari Korea, bahkan Australia.
“Pasarnya di sepanjang trotoar ini. Orang harus berjongkok memilih dan menawar barang, makanya disebut Pasar Jongkok,” kata Betal.
“Pasar buka petang hari sampai malam. Tapi entah kenapa sekarang sudah pada tutup. Apakah terlalu larut atau karena bulan puasa, awak tak paham.”
“Barangkali efek ekonomi yang lesu?” saya menduga. “Atau kebijakan pemerintah atas impor barang bekas?”
“Entahlah, Bang. Macam-macam bisa terjadi,” kata Betal lagi.
Lokasi Pasar Jongkok dekat pelabuhan. Ini menguntungkan karena barang-barang yang dibongkar di kapal langsung diangkut naik becak.
Menurut cerita seorang kawan yang cukup mengenal Tembilahan, daerah sekitar pelabuhan ini merupakan tempat paling awal perantau Minang mengadu untung.
Mereka membuka warung makan dan toko emas. Salah satu yang legendaris adalah Toko Emas Singgalang.
Sekarang berkembang jadi usaha keluarga.
Papan nama Singgalang berderet-deret, hanya ada tambahan Singgalang Baru, Singgalang Faisal, Singgalang 2, atau Singgalang Jaya.
Kota-kota di pantai timur Sumatera terkenal oleh kedai kopinya yang ramai dan enak, terutama kopi susu. Tapi juga tak ketinggalan teh tarik seperti di Tembilahan ini.
Pada pagi hari disekitar pelabuhan, sekilas akan mengira pelabuhan tersebut terletak di tepi laut. Padahal itu kuala atau muara sungai Indragiri yang luas seperti lautan.
Pagi itu pelabuhan sedikit sibuk. Tapi tak ada kesan buru-buru sebagaimana destinasi keberangkatan, seperti bandar udara atau stasiun.
Di dermaga utama terlihat kapal cepat (speedboat) tujuan Batam menunggu para penumpang.
Petugas pelabuhan memeriksa karcis mereka di depan dermaga. Hanya para porter yang tampak bergerak cepat menyunggi barang-barang.
Sesekali terdengar deru mesin menderu. Itulah kapal boat yang berangkat lebih dulu atau datang lebih awal dari kota-kota kecamatan sekitar.
Jumlah kapal boat memang lebih banyak dan punya dermaga tersendiri.
Selain kapal penumpang, terlihat kapal barang sedang membongkar muatan. Tak ada suara hiruk-pikuk yang berlebihan.
Pelabuhan Tembilahan terkesan tenang.
Dari pelabuhan, kita bisa memutari kota sekali lagi menuju kompleks kantor pemerintahan Indragiri Hilir di Jalan Akasia.
Dikomplek itu akan melewati rumah dinas bupati serta Tugu Upakarti di perempatan Jalan Swarna Bumi dan Jalan Veteran.
Di tengah minimnya ikon kota, Tugu Upakarti dianggap sebagai ikon Kota Tembilahan.
Tugu ini dibuat untuk mengenang Penghargaan Upakarti (dalam bidang industri kecil dan menengah) yang pernah diterima daerah ini pada 2007.
Penghargaan itu rasanya pantas. Sebab, sejauh ini Indragiri Hilir cukup konsisten mengelola industri rakyat, seperti pengolahan kelapa, sagu, dan ikan.
Daerah ini juga memiliki produk batik yang sudah terdaftar di Hak Kekayaan Intelektual, seperti motif Kelapa Puan dan Penjaga Pantai.
Cara Sampai ke Tembilahan
Sesampai di Tembilhan kita juga bisa mampirlah ke Pantai Solop dan agrowisata kelapa. Dan lanjut berziarah ke makam Syekh Abdurrahman di Sapat. Itu tempat-tempat yang dekat dari kota, bisa naik perahu saja.
Tak bisa hanya semalam di Tembilahan tentu sangat tak cukup untuk merasakan denyut kota yang unik ini.
Apalagi mengeksplorasi destinasi wisatanya, dari pantai, hutan bakau, hingga air terjun. Termasuk tradisi dan ritualnya.
Ada ritual Menongkah di kalangan suku Duano; pengumpulan kerang di hamparan lumpur. Begitu pula lomba sampan Leper; berpacu sampan, juga di atas lumpur.
Keberadaan berbagai macam oleh-oleh dari sagu, seperti sagon, roti bangkit, bangket, mutiara, dan kerupuk juga bisa didapat. Begitu pula produk olahan ikan, seperti kemplang dan ikan tepung.
Jika kita beranjak ke luar kota, akan melewati jembatan-jembatan dengan jalan menanjak karena konstruksinya sengaja dibuat tinggi. Itu supaya kapal-kapal kayu dapat lewat di bawahnya.
Sungai-sungai kecil yang bercabang itu menjadi semacam kanal yang membantu transportasi warga mengangkut hasil kebun, mencari ikan, atau aktivitas lain.
Tetapi di Tembilhan juga terlihat banyak parit ditimbun atau ditutup untuk jalan dan bangunan. Musim hujan datang, jadi tergenang. (zul)
Tags : tembilahan, indragiri hilir, tembilhan-inhil, melihat tembilahan, kota seribu parit, riau, tembilahan berpenduduk 78.140 jiwa,