Kolom Opini   2024/05/28 14:39 WIB
Polemik UKT Mahal Jadi Topik Hangat Kalangan Mahasiswa dan Institusi PT
Wawan Sudarwanto Lembaga Penelitian PengembanganPendidikan [LP3] Anak Negeri
Kolom Opini

Polemik UKT Mahal Jadi Topik Hangat Kalangan Mahasiswa dan Institusi PT

UANG KULIAH TUNGGAL [UKT] yang mahal telah menjadi topik hangat di kalangan mahasiswa dan institusi pendidikan tinggi di Indonesia.

Polemik mengenai kenaikan UKT juga telah menyulut demonstrasi di beberapa universitas negeri. Sejumlah mahasiswa baik di PTN yang berada di wilayah Pulau Jawa dan luar Pulau Jawa menggelar demo menolak kenaikan UKT.

Gelombang protes terjadi di Universitas Jenderal Soedirman, Universitas Sumatera Utara, Universitas Riau, juga Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Sejatinya, bagaimana asal muasal UKT, aturan yang menaunginya, hingga respons pemerintah tentang polemik ini?

UKT diperkenalkan pertama kali pada tahun 2013 melalui Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan [Permendikbud] Nomor 55 Tahun 2013.

Menurut peraturan ini, UKT merupakan sebagian dari Biaya Kuliah Tunggal [BKT] yang harus dibayar oleh mahasiswa berdasarkan kemampuan ekonomi mereka.

Sementara BKT merupakan total biaya operasional per mahasiswa per semester di universitas negeri.

UKT dihitung dengan mengurangkan bagian biaya yang ditanggung oleh masyarakat dan pemerintah dari BKT.

Ini berarti, UKT ditetapkan sebagai sistem pembayaran kuliah yang bertujuan untuk menyederhanakan biaya pendidikan tinggi dan memberikan keadilan finansial bagi mahasiswa.

Mahasiswa yang berasal dari keluarga dengan penghasilan lebih rendah akan membayar biaya kuliah yang lebih rendah dibandingkan dengan mereka yang berasal dari keluarga dengan penghasilan lebih tinggi.

Peraturan tersebut juga menegaskan bahwa universitas negeri tidak diperkenankan memungut uang pangkal atau pungutan lain dari mahasiswa reguler Sarjana dan Diploma. Namun, lahirnya UKT ini menimbulkan protes dari mahasiswa, seperti yang terjadi di UIN Sunan Kalijaga, di mana mahasiswa menyatakan bahwa UKT membebani mahasiswa tidak mampu dan merupakan bentuk komersialisasi pendidikan.

Pada tahun 2015, Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan tinggi [Kemenristekdikti] mengeluarkan Permenristekdikti Nomor 22 yang mengatur tentang UKT, terutama untuk mahasiswa yang menerima bantuan biaya pendidikan bidikmisi, dengan bantuan sebesar Rp 2,4 juta yang dibayarkan kepada universitas terkait.

Perubahan kebijakan UKT terus berlanjut dengan terbitnya Permenristekdikti Nomor 39 Tahun 2016, Nomor 39 Tahun 2017, dan Permendikbud Nomor 25 Tahun 2020.

Meskipun aturan yang ditetapkan cenderung serupa, pemerintah mulai menetapkan tarif minimum untuk UKT Kelompok I sebesar Rp 500 ribu dan UKT Kelompok II antara Rp 501 ribu hingga Rp 1 juta, tergantung pada kemampuan ekonomi mahasiswa dan kemungkinan keringanan yang dapat mereka minta.

Perubahan kebijakan UKT terus berlanjut dengan terbitnya Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi [Permendikbudristek] Nomor 2 Tahun 2024, yang membawa beberapa perubahan penting dari regulasi sebelumnya.

Beleid itu juga menegaskan bahwa UKT terdiri atas beberapa kelompok yang ditentukan berdasarkan kemampuan ekonomi mahasiswa, orangtua mahasiswa, atau pihak lain yang membiayainya.

Berikut adalah beberapa poin utama dari perubahan tersebut:

  • Penetapan UKT berdasarkan BKT: UKT ditetapkan berdasarkan BKT yang dikurangi dengan biaya yang ditanggung oleh masyarakat dan pemerintah.
  • Kelompok UKT: Terdapat minimal dua kelompok UKT yang wajib ditetapkan, yaitu UKT kelompok 1 dengan biaya Rp 500 ribu dan UKT kelompok 2 sebesar Rp 1 juta.
  • Bantuan untuk mahasiswa kurang mampu: Mahasiswa penerima UKT 1, UKT 2, dan beasiswa dari keluarga kurang mampu minimal 20 persen per universitas per tahun.
  • Penyesuaian UKT: Besar UKT selain kelompok 1 dan 2 maksimal sama dengan besar BKT di tiap program studi. Namun, UKT bisa lebih besar dari BKT jika mahasiswa memenuhi kriteria tertentu.
  • Keringanan UKT: Universitas dapat mengurangi UKT maksimal 50 persen dengan pengajuan oleh mahasiswa, tergantung pada keadaan tertentu.

Adapun biaya yang tidak termasuk dalam UKT meliputi biaya pribadi mahasiswa, biaya pendukung KKN, magang, PKL, biaya asrama, dan kegiatan pembelajaran serta penelitian yang dilakukan secara mandiri oleh mahasiswa.

Aturan penetapan dan peninjauan UKT juga telah diatur dalam Permendikbudristek Nomor 2 Tahun 2024, memungkinkan mahasiswa untuk mengajukan peninjauan ulang tarif UKT jika terjadi perubahan kemampuan ekonomi atau ketidaksesuaian data ekonomi.

Beleid itu juga mengatur bahwa pemimpin universitas melakukan verifikasi dan validasi permohonan peninjauan kembali tarif UKT, yang dapat menghasilkan penyesuaian tarif UKT sesuai dengan hasil verifikasi.

Mahasiswa pun menuding bahwa peraturan ini yang memicu kenaikan UKT di beberapa PTN, dengan alasan peningkatan mutu pendidikan dan penyesuaian biaya operasional.

“Melalui Permendikbudristek Nomor 2 Tahun 2024 itu juga diterbitkan bahwa IPI [Iuran Pengembangan Institusi] maksimal empat kali BKT. Hal tersebut yang kemudian menjadikan pengelola kampus atau pimpinan kampus ketika meningkatkan IPI atau UKT,” kata Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa [BEM] Universitas Diponegoro Farid Darmawan, dalam rapat dengar pendapat umum [RDPU] BEM Seluruh Indonesia bersama Komisi X DPR RI, Senin (20/5).

Farid berpendapat bahwa universitas negeri seharusnya tidak perlu menaikkan biaya kuliah secara signifikan karena seharusnya mereka sudah mandiri dan tidak bergantung pada uang kuliah dari mahasiswa.

Presiden Mahasiswa Universitas Riau [Unri] Muhammad Ravi juga mengungkapkan keprihatinannya dalam rapat yang sama.

Ravi menyoroti bahwa aturan baru tersebut telah menyebabkan kenaikan biaya kuliah yang signifikan di Unri, bahkan jumlah kelompoknya bertambah dari 6 menjadi 12 kelompok. Sehingga, banyak calon mahasiswa baru yang tidak mampu membayar dan terpaksa membatalkan rencana studi mereka.

Ia juga menekankan bahwa ketidakpastian terkait aturan ini telah membatasi universitas dalam menetapkan biaya kuliah yang wajar.

Untuk itu, pihaknya meminta bahwa Permendikbudristek itu perlu ditinjau ulang karena menjadi salah satu penyebab naiknya biaya UKT di beberapa PTN termasuk Unri.

“Kalau peraturan ini tidak ditinjau kembali mungkin ke depan calon mahasiswa baru atau anak-anak bangsa yang akan kuliah di Unri akan menutup rapat-rapat harapannya untuk berkuliah,” tegas Ravi.

Pelaksana Tugas [Plt] Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Prof. Tjitjik Sri Tjahjandarie menjelaskan bahwa UKT yang wajib ditetapkan oleh universitas negeri adalah UKT 1 dan UKT 2. UKT 1 diperuntukkan bagi keluarga dengan penghasilan antara Rp 0 hingga Rp 500 ribu, sedangkan UKT 2 untuk keluarga dengan penghasilan antara Rp 500 ribu hingga Rp 1 juta. Namun, hanya 20 persen mahasiswa baru yang mendapatkan kategori ini, sementara UKT 3 sampai UKT 9 ditentukan oleh masing-masing kampus.

“Ini tujuannya untuk apa? Untuk memberikan kesempatan kepada seluruh masyarakat bergotong-royong dalam pembiayaan pendidikan tinggi secara berkeadilan. Jangan sampai anaknya tukang becak dikenakan UKT Rp 5 juta,” kata Tjitjik di acara Taklimat Media tentang Penetapan Tarif UKT di Lingkungan Perguruan Tinggi Negeri di kantor Kemendikbudristek, Jakarta Pusat, dikutip Pajak.com, Senin (20/05).

Untuk menentukan besaran UKT, Tjitjik menuturkan bahwa universitas akan mempertimbangkan data pribadi mahasiswa baru, termasuk penghasilan orangtua, aset keluarga, dan tanggungan keluarga. Informasi ini digunakan untuk memastikan bahwa UKT yang ditetapkan sesuai dengan kemampuan ekonomi keluarga mahasiswa, sehingga penentuan UKT menjadi tepat sasaran dan adil.

Ia menambahkan, meskipun ada beberapa universitas yang menetapkan UKT tertinggi sama dengan BKT, kebanyakan universitas masih menetapkan UKT di bawah BKT.

Dalam konteks pembiayaan pendidikan ini, Tjitjik menjelaskan pentingnya program UKT Berkeadilan, yang dirancang untuk membantu mahasiswa dari keluarga berpenghasilan rendah.

Ia juga menekankan bahwa bantuan pemerintah dalam kategori-kategori UKT dikhususkan bagi mereka yang membutuhkan, sementara mahasiswa dari keluarga yang mampu tidak perlu meminta bantuan.

“Maka itu, mahasiswa dengan keluarga yang mampu membayar UKT hingga setara harganya dengan BKT tidak perlu menggunakan atau meminta bantuan kepada pemerintah,” tambahnya.

Tjitjik juga menyoroti bahwa kenaikan UKT adalah karena peningkatan biaya operasional yang harus ditanggung oleh perguruan tinggi. Biaya operasional ini mencakup kebutuhan dasar seperti alat tulis kantor [ATK], peralatan seperti layar LCD, pemeliharaan, dan juga upah untuk dosen non-PNS.

“Biaya perkuliahan itu, kan, pasti butuh ATK, butuh kemudian LCD, ada pemeliharaan, kemudian dosennya, kan, mesti harus dikasih minum, harus kemudian dibayar. Memangnya dosen gratis?” ucap Tjitjik.

Ia juga menekankan bahwa biaya praktikum, yang merupakan bagian penting dari banyak program studi, juga berkontribusi terhadap biaya operasional.

“Seperti saya [mengajar] di Kimia. Praktikum itu satu kelas maksimal 25 orang. Dan per kelompok praktikum itu hanya 2 sampai 3 orang. Bahan habis setiap kelompok praktikum, kan, berbeda-beda. Topik praktikumnya itu, kan, berbeda. Kan, banyak. Ini, kan, yang kita masuk dengan biaya operasional,” lanjutnya.

Selain itu, biaya lain yang termasuk dalam biaya kuliah adalah biaya ujian, tugas akhir, dan skripsi, yang semuanya menambah beban biaya operasional perguruan tinggi.

Lebih lanjut Tjitjik menyebut bahwa pendidikan tinggi merupakan pendidikan tersier dan bukan bagian dari program wajib belajar 12 tahun. Artinya, pendidikan tinggi, atau yang disebutnya sebagai tertiary education, dianggap sebagai pilihan individu setelah menyelesaikan pendidikan menengah atas dan bukan bagian dari program wajib belajar.

Ia bilang, pemerintah fokus pada pembiayaan pendidikan wajib, sementara perguruan tinggi diberikan otonomi untuk menetapkan UKT sesuai kebutuhan operasional mereka.

Oleh karena itu, tidak semua lulusan SMA atau sederajat diharuskan untuk melanjutkan ke perguruan tinggi.

Di samping itu, pemerintah juga memberikan Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri [BOPTN] untuk membantu universitas yang kekurangan biaya operasional.

“Sebenarnya ini tanggungan biaya yang harus dipenuhi agar penyelenggaraan pendidikan itu memenuhi standar mutu, tetapi dari sisi yang lain kita bisa melihat bahwa pendidikan tinggi ini adalah tertiary education. Jadi bukan wajib belajar,” imbuhnya.

Dewan Perwakilan Rakyat [DPR RI] telah membentuk Panitia Kerja [Panja] Pembiayaan Pendidikan untuk menyelidiki penyebab kenaikan UKT.

Panja ini juga telah mengusulkan beberapa solusi untuk mengatasi polemik UKT mahal.

Salah satu solusi yang diusulkan adalah meninjau ulang Permendikbudristek Nomor 2 Tahun 2024 sebagai salah satu penyebab mahalnya UKT.

Revisi Permendikbudristek merupakan langkah tercepat untuk memberikan solusi atas mahalnya UKT.

Panja juga mendesak pemerintah untuk memperbaiki tata kelola pembiayaan pendidikan di perguruan tinggi agar tidak membebani mahasiswa sampai tidak mampu kuliah lagi.

Wakil Ketua Komisi X DPR RI Dede Yusuf menyebut bahwa pihaknya akan memulai sidang-sidang pada Senin (20/05), tidak hanya soal UKT, tapi juga biaya pendidikan lainnya.

Sidang ini akan melibatkan berbagai pihak, termasuk penyelenggara pendidikan, pengamat, pelaksana pendidikan, mahasiswa, guru, orangtua siswa, dan pemerintah daerah.

Dede menambahkan bahwa Panja juga rencananya akan memanggil berbagai menteri terkait seperti Mendikbudristek, Menteri Keuangan, dan Menteri Dalam Negeri untuk menentukan standar biaya pendidikan yang seharusnya disiapkan oleh negara dan masyarakat.

“Targetnya untuk mengetahui sebenarnya berapa standar biaya pendidikan yang harus disiapkan, baik oleh negara maupun masyarakat karena pendidikan adalah investasi sumber daya manusia, bukan industri,” kata Dede di Kompleks DPR RI, Jakarta.

Andreas Hugo Pareira dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan [PDIP] juga menyatakan bahwa Panja akan mengklarifikasi kebutuhan pembiayaan pendidikan nasional dan sumber pembiayaannya dari APBN yang dialokasikan sebesar 20 persen.

“Panja ini menargetkan klarifikasi kebutuhan pembiayaan pendidikan nasional, mengklarifikasi sumber pembiayaan pendidikan nasional dari APBN sebesar 20 persen dan peruntukkannya,” ujar Andreas.

Sementara itu, Presiden Joko Widodo juga dikabarkan akan mengadakan pertemuan dengan para menterinya untuk membahas isu kenaikan Uang Kuliah Tunggal [UKT].

Ali Mochtar Ngabalin, Tenaga Ahli Utama Kedeputian IV Kantor Staf Presiden, mengonfirmasi bahwa meskipun dalam pertemuan terakhir dengan presiden tidak dibahas mengenai UKT, tetapi telah direncanakan pembahasan lebih lanjut pada hari Selasa (21/05) di pekan berikutnya.

“Itu nanti hari Selasa [pekan depan],” kata Ngabalin. “Selasa itu ada beberapa agenda, nanti kita coba, pertemuan akan bahas banyak hal,” tambahnya.

Ngabalin tidak merinci kementerian mana saja yang akan terlibat dalam pembahasan tersebut, tetapi menegaskan bahwa kenaikan UKT telah menjadi perhatian khusus presiden.

“Tunggu saja pekan depan dibahas oleh Pak Presiden untuk solusinya seperti apa,” tandasnya. (*)

Tags : uang kuliah tunggal, ukt, polemik ukt, ukt mahal, ukt jadi topik hangat kalangan mahasiswa dan institusi perguran tinggi,