BISNIS - Industri minyak sawit Indonesia terus menghadapi tantangan global yang berat. Salah satu tantangan tersebut adalah ketidakpastian dalam dinamika pasar minyak nabati dunia di mana permintaan dari pasar ekspor tidak meningkat signifikan sehingga harga minyak sawit mentah (CPO) tetap bergerak pada kisaran harga yang rendah.
Sementara itu, pertumbuhan daya serap pasar minyak sawit di dalam negeri juga tidak terlalu besar. Demikian dikemukakan Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Mukti Sardjono dalam keterangan tertulis di Jakarta dirilis investor.id, Rabu (7/8). Kinerja ekspor minyak sawit Indonesia tidak tumbuh secara maksimal karena ada beberapa dinamika di pasar global khususnya di negara tujuan utama ekspor Indonesia seperti India, Uni Eropa, Tiongkok dan Amerika Serikat, katanya.
Di India, lanjut dia, Indonesia kalah bersaing dengan Malaysia khususnya untuk refined products di mana bea masuk refined products dari Indonesia lebih tinggi daripada Malaysia dengan selisih 9% (tarif bea refined products dari Malaysia adalah 45% dari tarif berlaku 54%).
Di sisi lain, Uni Eropa menggaungkan RED II ILUC dan tuduhan subsidi biodiesel ke Indonesia sedikit banyak juga telah mempengaruhi ekspor Indonesia ke Uni Eropa. Perang dagang Tiongkok dan Amerika Serikat juga telah mempengaruhi pasar minyak nabati dunia. Menurut data Gapki, semester pertama 2019 kinerja ekspor minyak sawit Indonesia (CPO dan turunannya, biodiesel dan oleochemical) membukukan kenaikan hanya 10% dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun lalu atau dari 15,30 juta ton pada Januari Juni 2018 naik menjadi 16,84 juta ton pada periode yang sama tahun 2019.
Kenaikan volume ekspor ini seharusnya masih bisa digenjot lebih tinggi lagi, akan tetapi karena beberapa hambatan dagang membuat kinerja ekspor tidak maksimal, ujarnya.
Sementara itu volume ekspor khusus CPO dan turunannya saja (tidak termasuk biodiesel dan oleochemical) semester I 2019 hanya mampu terkerek 7,6% atau dari 14,16 juta ton pada Januari Juni 2018 naik menjadi 15,24 juta ton periode yang sama 2019.
Volume ekspor Indonesia khusus CPO dan turunannya pada semester pertama 2019 mengalami penurunan hampir di semua negara tujuan utama ekspor Indonesia kecuali China. Semester I 2019, China membukukan impor CPO dan turunannya (tidak termasuk biodiesel dan oleochemical) sebesar 39% atau dari 1,82 juta ton periode Januari Juni 2018 melambung menjadi 2,54 juta ton pada periode yang sama 2019.
Meningkatnya permintaan dari Tiongkok merupakan salah satu dampak dari perang dagangnya dengan AS dimana Negeri Tirai Bambu ini mengurangi pembelian kedelai secara signifikan dan menggantikan beberapa kebutuhan dengan minyak sawit, papar Mukti Sardjono.
Sementara volume ekspor Indonesia khusus CPO dan turunannya pada semester pertama 2019 ke Uni Eropa mengalami stagnasi dengan kenaikan yang hanya mampu mencapai 0,7% saja atau dari 2,39 juta periode Januari Juni 2018 naik tipis menjadi 2,41 juta ton periode yang sama 2019. Di lain sisi, lanjut Mukti Sardjono, volume ekspor Indonesia khusus CPO dan turunannya pada semester pertama 2019 ke India tersungkur 17% atau dari 2,5 juta ton semester I 2018 turun menjadi 2,1 juta ton periode yang sama 2019. Penurunan juga diikuti oleh Amerika Serikat 12%, Pakistan 10% dan Bangladesh 19%.
Biodiesel sangat impresif Beralih kepada penyerapan biodiesel di dalam negeri. Kinerja serapan biodiesel semester I 2019, sangat impresif. Sepanjang Januari Juni 2019 penyerapan biodiesel telah mencapai 3,29 juta ton atau naik 144% dibandingkan periode yang sama 2018 yang hanya mampu menyerap sebesar 1,35 juta ton. Angka ini menunjukkan program mandatori B20 telah berjalan dengan baik di PSO dan non PSO. Pemerintah tetap diharapkan untuk mengakselerasi mandatori B30 yang saat ini uji coba jalan sedang berlangsung.
Pemerintah, tandas Mukti Sardjono, juga didorong untuk memperluas penggunaan minyak sawit langsung untuk pembangkit PLN. Jika semua program penyerapan dalam negeri dapat berjalan dengan baik maka, ketergantungan Indonesia pada pasar global akan dapat dikurangi.
Dari sisi harga, sepanjang semester pertama 2019 harga CPO global bergerak di kisaran US$ 492,5 - US$ 567,5 per metrik ton dengan harga rata-rata di kisaran US$ 501,5 US$ 556,5 per metrik ton. Produksi minyak sawit pada Juni menunjukkan trend pernurunan sebesar 16% dibandingkan pada Mei lalu atau dari 4,73 juta ton di Mei menurun menjadi 3,98 juta ton di Juni. Sementara itu stock minyak sawit Indonesia di Juni ini masih bertahan di level sedang yaitu 3,55 juta ton. (*)
Tags : -,