PEKANBARU, RIAUPAGI.com - Sejumlah perusahaan sawit berskala besar mendapat subsidi dari pemerintah triliunan rupiah sebagai timbal balik atas penjualan minyak kelapa sawit untuk campuran solar alias biodiesel.
Berdasarkan catatan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terdapat beberapa perusahaan yang memperoleh dana subsidi program biofuel periode Agustus 2015-April 2016. Perusahaan itu adalah PT Wilmar Bionergi Indonesia, PT Wilmar Nabati Indonesia, Musim Mas Grup, PT Eterindo Wahanatama, PT Anugerahinti Gemanusa, PT Darmex Biofuels, PT Pelita Agung Agrindustri, PT Primanusa Palma Energi, PT Ciliandra Perkasa, PT Cemerlang Energi Perkasa, dan PT Energi Baharu Lestari.
Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) diketahui menyalurkan dana miliaran hingga triliunan rupiah untuk puluhan perusahaan yang terafiliasi konglomerasi sawit sepanjang 20152016 itu, kata Ir Ganda Mora MSi dari Barisan Relawan Jalan Perubahan (BARAJP), Rabu (5/3/2020).
Menurutnya, badan itu (BPDPKS) mengelola setoran dana oleh pelbagai perusahaan eksportir sawit untuk dialokasikan untuk kepentingan industri perkebunan tersebut. Selama 20152017, dana yang juga dikenal dengan nama 'CPO Fund' itu lebih banyak dipakai untuk pembayaran selisih harga biodiesel, dibandingkan dengan penggunaan lainnya macam riset atau dana peremajaan sawit. Berdasarkan data pembayaran selisih harga biodiesel pada 2015 mencapai 467,21 miliar kemudian melonjak menjadi Rp10,68 triliun pada 2016. Lonjakan subsidi pada periode itu mencapai sekitar 2.000 persen.
Dia mengaku, subsidi yang diterima produsen biodiesel dari Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) Kelapa Sawit bukan berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Lima perusahaan sawit berskala besar mendapatkan subsidi dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) dengan total mencapai Rp7,5 triliun sepanjang JanuariSeptember 2017. Kelima perusahaan sawit itu terdiri dari Wilmar Group, Darmex Agro Group, Musim Mas, First Resources, dan Louis Dreyfus Company (LDC).
Pendanaan subsidi tersebut berasal dari pungutan ekspor atas produk kelapa sawit mentah (CPO) dan turunannya yang nilainya berkisar US$20 hingga US$50 per ton dan dibayarkan oleh pelaku usaha. Sekitar 81,8 persen biaya subsidi mandatori biodiesel diserap oleh empat (grup) perusahaan, sejauh ini bagaimana penyerapan dana dan hasilnya yang dimotori pemerintah sudah sejauh mana, kemudian manfaat bagi negara juga belum jelas. Sementara dana ini bersumber dari kutipan dana abadi ekspor impor CPO, artinya dana itu bersumber dari seluruh perkebunan sawit yang ada diseluruh Indonesia (baik petani kecil, perusahaan menengah dan besar), demikian sebut Ganda.
Dalam kajian itu, kata Ganda yang juga dari Indenpenden Pembawa Suara Pemberantas Korupsi, Kolusi, Kriminal, Ekonomi (IPSPK3) RI ini juga mengkritik penggunaan dana perkebunan kelapa sawit yang habis untuk program biodiesel semata. Pendapatan pungutan dana sawit sendiri mencapai Rp6,90 triliun pada 2015 dan meningkat menjadi Rp11,69 triliun pada 2016. Pendapatan lainnya berasal dari pengelolaan dana yakni Rp78,80 miliar pada 2015 menjadi Rp630,38 miliar.
Dia mengungkapkan, pada tahun 2009 hingga 2014, program bahan bakar nabati (BBN)-biodiesel memang mendapatkan dukungan subsidi dari APBN sejalan dengan dukungan subsidi pemerintah untuk BBM kewajiban pelayanan publik (PSO) guna memenuhi kebutuhan domestik.
Ganda juga menyanyangkan, subsidi terhadap konglemerat lebih besar dibanding porsi penggunaan dana Badan Pengelolaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS) atau CPO fund untuk membantu kegiatan penanaman kembali (replanting) perkebunan dan petani sawit, mereka juga masih sulit untuk mendapatkan pinjaman modal.
Untuk bisa mendapatkan subsidi dan kredit perbankan, petani harus memiliki sertifikat kebun. Untuk itu, selama ini yang diberikan sertifikat lahan itu bukan untuk petani sawit tetapi untuk rumah tangga, katanya.
IPSPK3 RI ini pun lantas akan melaporkan dugaan penyelewengan alokasi penggunan dana yang bersumber dari Penghimpunan Dana Perkebunan Kelapa Sawit oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) Kelapa Sawit itu ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam waktu dekat.
Ganda Mora, mengatakan bahwa menurut Pasal 39 ayat 4 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 Tentang Perkebunan menyatakan: Penghimpunan dana dari Pelaku Usaha Perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) digunakan untuk pengembangan sumber daya manusia, penelitian dan pengembangan, promosi perkebunan, peremajaan tanaman perkebunan, dan/atau sarana dan prasarana Perkebunan.
Jika merujuk pada ketentuan tersebut tidak terdapat ketentuan baik berupa kata, frase atau kalimat yang menyebutkan jika dana perkebunan yang dihimpun dari Pelaku Usaha Perkebunan dapat digunakan untuk penyediaan dan pemanfaatan bahan bakar nabati jenis biodisel (biofuel), kata Ganda.
Untuk menghimpun dana dari Pelaku Usaha Perkebunan tersebut, pemerintah melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 113/PMK.01/2015 telah membentuk BPDP Kelapa Sawit. Ganda balik menjelaskan bahwa penggunaan alokasi dana perkebunan ditenggarain telah terjadi penyelewengan dengan menyalurkannya kepada tiga (3) Grup Perkebunan Kelapa Sawit Besar dengan nilai sekitar 81,7 persen dari Rp. 3,25 Triliun yang dipungut dari Pelaku Usaha Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia (50 Dolar Amerika Serikat per ton untuk ekspor CPO).
Ketiga Grup Perusahaan tersebut telah menikmati alokasi dana perkebunan melalui program biofuel periode Agustus 2015-April 2016. Berdasarkan data Kementerian ESDM, terdapat tiga perusahaan terbesar yang memasok FAME ke Pertamina, yakni PT. Wilmar Nabati Indonesia (547.507KL); PT. Wilmar Bionergi Indonesia (388.304KL), dan PT. Musim Mas (338.982KL).
Adapun secara keseluruhan perusahaan perkebunan yang dominan menikmati dana Perkebunan Kelapa Sawit dari pungutan Ekspor CPO itu, antara lain: PT. Wilmar Bionergi Indonesia; PT. Wilmar Nabati Indonesia; PT. Musim Mas; PT. Eterindo Wahanatama; PT. Anugerahinti Gemanusa; PT. Darmex Biofuels; PT. Pelita Agung Agrindustri; PT. Primanusa Palma Energi; PT. Cilandra Perkasa; PT. Cemerlang Energi Perkasa; dan PT. Energi Baharu Lestari.
Ganda menjelaskan bahwa selain patut diduga proses pengalokasi dana subsidi biofuel dari dana Perkebunan Kelapa Sawit kepada perusahaan-perusahaan tersebut sarat dengan KKN, perluasan penggunaan dana tersebut untuk mensubsidi produksi/penggunaan bahan bakar nabati (biofuel juga dilakukan dengan cara menyelundupkan' ketentuan yang melanggar UU Perkebunan.
Dengan prosentase yang besar untuk penyediaan/produksi biodisel (biofuel) tersebut telah menegasikan kepentingan petani sebagai stakeholder perkebunan kelapa sawit untuk dapat menikmati dana perkebunan itu, baik dalam bentuk subsidi bibit dan pupuk maupun biaya peremajaan tanaman, peningkatan sumber daya petani, dan sarana-prasarana perkebunan, jelasnya.
Ganda mensinyalir aroma dugaan KKN sangat jelas dan kuat dalam pengalokasian dana perkebunan kelapa sawit kepada perusahaan-perusahaan tersebut. Karena selama ini ada ketidakwajaran dalam alokasinya yang sangat besar bahkan hingga menegasikan kepentingan petani kelapa sawit. Selain daripada itu bahwa penggunaan dana perkebunan kelapa sawit tersebut hingga saat ini tidak dilakukan audit oleh BPK, terangnya. (rp.sdp/*)
Tags : -,