PEKANBARU, RIAUPAGI.com - Ditengah penyebaran Virus Corona (Covid-19) ada warga di Kota Pekanbaru yang mengenakan masker ada yang tidak. Ada warga ketika bepergian keluar rumah tanpa mengenakan masker mendapat tatapan heran.
Sejak awal mula wabah virus Corona, warga di kota itu telah sepenuhnya mengenakan masker, dan bagi warga yang terlihat tidak menganakan masker berisiko menjadi paria sosial. Malah di Kota Pekanbaru, bepergian dengan wajah telanjang masih bisa ditolerir.
Mengapa warga di kota ini mengenakan masker sementara yang lain menghindarinya? Hal ini bukan hanya berkaitan dengan arahan pemerintah dan saran medis - namun juga tentang budaya dan sejarah. Yang menjadi pertanyaannya adalah, saat pandemi ini memburuk apakah hal itu akan berubah?
Sejak wabah virus corona muncul, arahan resmi dari pemerintah sudah sangat jelas. Hanya ada dua jenis orang yang harus mengenakan masker; mereka yang sakit dan menunjukkan gejala Covid-19, dan mereka yang merawat orang yang terduga terinfeksi virus Corona. Lainnya tidak perlu mengenakan masker, dan ada beberapa alasan mengenai hal itu, kata H Darmawi Aris SE, dari Lembaga Melayu Riau (LMR) dalam bincang-bincangnya, Senin (30/3/2020).
Menurutnya, masker itu dipandang bukan sebagai perlindungan yang bisa diandalkan, mengingat penelitian saat ini menunjukkan virus menyebar melalui tetesan ludah dan kontak dengan permukaan yang terkontaminasi. Jadi, masker bisa melindungi seseorang, namun hanya dalam situasi tertentu seperti ketika berada dalam jarak dekat dengan orang lain di lokasi di mana seseorang yang terinfeksi kemungkinan bersin atau batuk, ungkapnya.
Itu sebabnya anjuran yang dikemukakan mengatakan sering mencuci tangan dengan sabun dan air jauh lebih efektif. Tanpa masker, membutuhkan perhatian khusus untuk menghindari kontaminasi tangan dan itu bisa menimbulkan rasa aman yang keliru. Namun di kota ini menunjukkan setiap orang sekarang memakai masker dalam kehidupan sehar-hari-ini dipandang lebih aman. Bahkan terkesan sekarang ini perkembangan asumsi luas yang diterima masyarakat bahwa siapa saja bisa menjadi pembawa virus, bahkan orang yang sehat, sebutnya.
Pemerintah, kata dia belum mendesak semua warganya untuk mengenakan masker, dan belum ada sanksi berupa penahanan atau hukumam karena tidak mengenakan masker, pada hal sering kehidupan kita, azas curiga yang berkembang di kota ini kemungkinan juga memiliki banyak kasus yang tidak dilaporkan, sebagian besar orang-orang di kota besar mulai mengenakan masker untuk melindungi diri dari orang lain, beber Darmawi.
Sebagian daerah di Riau, mengenakan masker adalah norma budaya bahkan sebelum virus corona. Masker telah menjadi bagian dari fesyen - pada suatu masa masker bergambar tokoh kartun Hello Kitty banyak ditemui di pasar jalanan di Kota Pekabaru.
Lalu bagaimana soal kota berpenduduk padat ini yang masih tercemar polusi. Darmawi lantas mengaminkan itu dan menilai, satu perbedaan utama antara masyarakat yang tinggal di perkotaan dan di desa adalah di Kota warga terpapar polusi udara berbagai jenis kenderaan, kalau di desa bisa tercemar polusi udara asap industri pabrik. Penularan virus memang dengan mudah mewabah dan masih segar diingatan masyarakat dan ini menyakitkan.
Menurutnya, akibat warga beramai-ramai mengenakan masker, nyaris kebiasaan itu membuat pasokan masker untuk petugas kesehatan dan orang-orang yang memang sangat membutuhkannya jadi terbatas. Memang sejauh ini pemerintah belum mendesak masyarakat untuk tidak mengenakan masker, ungkapnya.
Masker sebagai dorongan sosial
Beberapa orang berpendapat bahwa mengenakan masker di mana-mana, sebagai pengingat akan bahaya virus ini, bisa bertindak sebagai dorongan perilaku bagi orang lain untuk menjaga kebersihan pribadi lebih baik.
Menurut DR (HC) H Mansur dari Laskar Melayu Bersatu Riau (LMBR) mengenakan masker setiap hari sebelum seseorang pergi adalah seperti ritual, seperti mengenakan seragam dan dalam ritual seseorang akan merasakan harus hidup sesuai dengan apa yang diseragamkan oleh norma sosial yang dianggap perilaku yang higienis, seperti tidak menyentuh wajah atau menghindari keramaian dan menjaga jarak sosial, ujarnya.
Sepertinya ada gagasan bahwa setiap hal kecil diperlukan dalam pertempuran melawan virus. Saya belum bisa memastkan apakah masker tidak efektif, akan tetapi saya menganggap masker memiliki efek karena perlindungan yang diberikan kepada petugas kesehatan, sebutnya.
Jika masker wajah digunakan pada banyak orang di daerah ramai, saya pikir itu akan memiliki efek pada transmisi publik saja.
Tapi tentu saja ada kelemahannya, kata H Mansur. Beberapa pengakuan di perusahaan perkebunan mengaku menghadapi kekurangan pasokan saat ini, ketika mereka ingin membagikan masker pada warga dilingkungan perusahaan. Sepertinya ada rasa ketakutan bahwa orang akhirnya akan menggunakan kembali masker - yang tidak higienis - menggunakan masker yang dijual di pasar gelap, atau memakai masker buatan sendiri, yang bisa memiliki kualitas lebih rendah dan pada dasarnya tidak berguna, ungkapnya.
Bahkan orang-orang yang tidak mengenakan masker di tempat-tempat ini juga mengalami stigma, sampai-sampai mereka dijauhi dan dihalangi ketika masuk ke toko-toko dan gedung-gedung.
Tapi ada pula stigma lain yang berkembang di mana mengenakan masker bukan bagian dari norma, dan mereka yang menggunakan masker akan dihindari, atau bahkan dicurigai. Tetapi masyarakat yang melakukan advokasi setiap orang yang memakai masker mungkin ada benarnya, para ahli kini mempertanyakan saran resmi WHO.
Tetapi beberapa orang mempertanyakan ini sekarang. Mungkin jika semua orang memakai masker maka orang yang diam-diam membawa virus itu tidak akan berubah menjadi penyebar?
Masker wajah mungkin merupakan produk dari sejarah baru-baru ini, pengalaman dengan penularan dan norma budaya. Tetapi ketika skala pandemi ini meningkat, bersama dengan bukti dan penelitian, perilaku kita mungkin akan berubah. (rp.sul/*)
Editor: Sayamsul Bahri
Tags : -,