INTERNASIONAL - Diperkirakan seluruh umat manusia harus menghadapi Virus Corona (Covid-19)tahun ini (2020) seiring perubahan perubahan iklim.
Tentang perubahan iklim juga terjadi kenaikan suhu global berimbas pada gunung es di kutub utara dan selatan, yang mencair dan mendorong kenaikan permukaan air laut. Pemerintah mengambil tema kesimpulan bahwa virus corona sudah termasuk dalam bencana nonalam sesuai dengan Undang-Undang No 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.
Virus corona masuk dalam kategori nonalam karena berupa wabah. Ini bencana. Bencana ada 3 sumbernya: Alam, non alam, sosial. Yang non alam disebutkan wabah. Ini wabah, ucap Juru bicara pemerintah khusus penanggulangan virus corona (Covid-19) Achmad Yurianto saat konferensi pers di Jakarta, Rabu (11/3).
Malah Amerika Serikat dan China sempat saling tuding soal asal usul pandemi Corona COVID-19. Presiden Donald Trump menyebutnya sebagai 'Chinese Virus' alias virus dari Tiongkok.
Sebelumnya, juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Zhao Lijian bikin geger saat mengatakan, bisa jadi US Army atau tentara AS yang membawa epidemi itu ke Wuhan.
Tapi vidio beredar bahwa Vovid-19 adalah senjata biolgis yang disengaja ditebar di muka bumi ini. Hasil penelitian yang dipublikasikan di jurnal ilmiah, Nature Medicine mematahkan anggapan China maupun kubu Donald Trump, sekaligus membantah teori konspirasi yang menyebut virus pemicu COVID-19 atau SARS-CoV-2 adalah buatan manusia atau senjata biologis yang sengaja diciptakan.
Hasil analisis data publik terkait sekuens atau urutan genom (genome sequence) dari SARS-CoV-2 dan virus terkait tidak ditemukan bukti bahwa virus tersebut diciptakan di laboratorium. Dengan membandingkan data sekuens genom yang tersedia untuk strain coronavirus yang telah diketahui, kami meyakini bahwa SARS-CoV-2 berasal dari proses yang alami, kata Kristian Andersen PhD, associate professor imunologi dan mikrobiologi di Scripps Research, yang menjadi salah satu penulis laporan studi tersebut dirilis situs www.sciencedaily.com, Rabu (18/3/2020).
Selain Andersen, sejumlah ilmuwan lain juga ikut andil dalam studi dan penulisan makalah berjudul, 'The proximal origin of SARS-CoV-2' itu. Termasuk, Robert F. Garry dari Tulane University, Edward Holmes dari University of Sydney, Andrew Rambaut dari University of Edinburgh, dan W. Ian Lipkin dari Columbia University.
Virus Corona (coronavirus) adalah keluarga besar (famili) virus yang dapat menyebabkan penyakit dengan tingkat keparahan yang luas. Meski telah dikategorisasi pada 1960-an, penyakit parah pertama yang diketahui disebabkan oleh Virus Corona adalah Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS) yang mulai menjadi epidemi di China pada 2003.
Sementara, penyakit kedua yang mewabah adalah Middle East Respiratory Syndrome (MERS) yang bermula di Arab Saudi pada 2012. Dan, pada 31 Desember 2019, pihak berwenang China memberitahukan pada Badan Kesehatan Dunia (WHO) mengenai wabah virus corona baru yang menyebabkan penyakit parah, yang kemudian dinamai SARS-CoV-2.
Hingga kini, virus tersebut memicu pandemi COVID-19 yang menyebar ke seluruh benua, kecuali Antartika. Hingga Rabu 18 Maret 2020 pukul 18.33, tercatat ada 201.530 kasus positif Virus Corona, 8.007 pasien meninggal dunia, dan 82.034 lainnya pulih. Kasus meluas karena penularan bisa terjadi antar-manusia.
Tak lama setelah epidemi terjadi, para ilmuwan China mengurutkan genom SARS-CoV-2 dan menyediakan data bagi para peneliti di seluruh dunia. Andersen dan para koleganya menggunakan data sekuens tersebut untuk mengeksplorasi asal mula dan evolusi SARS-CoV-2 dengan fokus ke sejumlah fitur khas virus tersebut.
Para ilmuwan menganalisis pola genetik (genetic template) protein lonjakan (spike proteins), armature atau pelindung di bagian luar virus yang digunakannya untuk menangkap dan menembus dinding luar sel manusia dan hewan.
Lebih khusus, mereka berfokus pada dua fitur penting dari protein lonjakan: domain pengikat reseptor atau receptor-binding domain (RBD), sejenis pengait yang menempel pada sel inang, dan cleavage site yang memungkinkan virus untuk membuka celah dan memasukkan sel inang.
Para ilmuwan menemukan bahwa bagian RBD dari protein lonjakan SARS-CoV-2 telah berevolusi sehingga bisa efektif menargetkan fitur molekuler di bagian luar sel manusia yang disebut ACE2 -- reseptor yang terlibat dalam pengaturan tekanan darah.
Protein lonjakan SARS-CoV-2 nyatanya sangat efektif untuk mengikat sel-sel manusia. Dari situ, para ilmuwan menyimpulkan, itu adalah hasil seleksi alam dan bukan produk rekayasa genetika. Bukti evolusi alami ini didukung oleh data tulang punggung (backbone) SARS-CoV-2, yakni struktur molekul keseluruhannya.
Jika seseorang berusaha merekayasa virus corona baru sebagai patogen, misalnya, mereka harus membuatnya dari backbone virus yang diketahui bisa menyebabkan penyakit. Namun, para ilmuwan menemukan bahwa backbone milik SARS-CoV-2 berbeda secara substansial dengan yang ada pada virus corona lain, yang telah dikenal sebelumnya, dan kebanyakan menyerupai virus terkait yang ditemukan pada kelelawar dan trenggiling.
Kedua fitur virus, mutasi pada bagian RBD dari protein lonjakan dan backbone yang berbeda mengesampingkan dugaan manipulasi laboratorium sebagai potensi asal SARS-CoV-2, kata Andersen.
Temuan Andersen dan koleganya disambut baik Josie Golding, PhD, pemimpin bagian epidemi Wellcome Trust, yang berpusat di Inggris. Ia menyebut, temuan tersebut sangat krisial dengan menghadirkan pendapat berbasis bukti untuk menepis rumor yang beredar tentang asal-usul virus SARS-CoV-2 yang memicu pandemi COVID-19.
Dari mana virus pemicu COVID-19 berasal?
Menurut ilmuwan, berdasarkan analisis urutan genom, ada dua kemungkinan, Pertama, virus berevolusi ke kondisi patogen saat ini melalui seleksi alam di inang non-manusia dan kemudian melompat ke manusia.
Proses itu mirip dengan wabah Virus Corona yang terjadi sebelumnya, manusia terinfeksi virus setelah terpapar langsung dengan musang (SARS) dan unta (MERS).
Para peneliti menduga kelelawar sebagai reservoir yang paling mungkin untuk SARS-CoV-2. Namun, sejauh ini belum tercatat ada kasus transmisi langsung dari kelelawar ke manusia.
Corona Di Dunia Sudah Tembus 800 Ribu Kasus
Infeksi virus corona baru atau Covid-19 terus meningkat setiap harinya, bahkan setiap menitnya di hampir seluruh penjuru dunia. Data dari Johns Hopkins pada Selasa (31/3) menunjukkan, infeksi virus yang pertama kali ditemukan di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, China, ini sudah mencapai 800.049 kasus. Kasus-kasus tersebut tersebar di 178 negara dan wilayah di seluruh dunia.
Negara dengan jumlah infeksi tertinggi masih ditempati oleh Amerika Serikat dengan 164.610 kasus. Selanjutnya, Italia yang dengan 101.739 kasus. Spanyol pun sudah melampaui angka infeksi China dengan 94.417 kasus. Sementara China sendiri menekan angka infeksi di 82.272 kasus. Sedangkan untuk angka kematian, saat ini total angka kematian akibat virus corona di seluruh dunia sudah mencapai 38.714 orang. Angka kematian tertinggi ditempati oleh Italia dengan 11.591 orang meninggal dunia. Lalu ada Spanyol dengan 8.189 orang meninggal dunia.
Meski jumlah infeksi terus meningkat, sayangnya, sampai saat ini, jumlah pasien yang telah pulih masih relatif rendah, yaitu 170.325 orang di seluruh dunia. Sebanyak 76.203 pasien corona di China sendiri saat ini sudah dinyatakan pulih.
Kapan pandemi Covid-19 berakhir
Sejumlah negara mulai menutup perbatasannya. Tempat-tempat yang biasanya ramai, kini menjelma menjadi kota hantu karena berbagai kebijakan karantina wilayah hingga penutupan sekolah dan pembatasan kegiatan yang mengumpulkan banyak orang.
Situasi ini merupakan respons terhadap wabah yang belum pernah terjadi sebelumnya. Tapi, kapankah semua ini berakhir dan kapankah kita bisa kembali ke kehidupan normal?
Perdana Menteri Boris Johnson menyatakan bahwa ia yakin Inggris akan menangani virus corona dalam 12 minggu ke depan dan negara tersebut dapat mengakhiri wabah ini segera.
Tapi kalau pun angka kasus mulai menurun dalam tiga bulan ke depan, kita masih jauh dari akhir masalah. Butuh waktu lama hingga badai benar-benar berlalu - mungkin butuh tahunan.
Strategi karantina wilayah dan berbagai pembatasan sudah jelas tidak dapat diterapkan terus-menerus karena konsekuensi ekonomi dan sosialnya akan terlalu besar dan mengganggu.
Apa yang dibutuhkan semua negara yang kini tengah bertarung menghadapi wabah adalah strategi keluar - sebuah cara untuk menghentikan berbagai kebijakan pembatasan dan mengembalikan kehidupan normal.
Tapi virus corona tidak akan menghilang dalam waktu dekat. Jika pembuat kebijakan membatalkan berbagai karantina wilayah, jumlah kasus bisa melonjak tajam.
Kita punya masalah besar dengan apa strategi keluar yang baik dan bagaimana mengakhiri semua ini, kata Mark Woolhouse, profesor epidemiologi penyakit menular di University of Edinburgh.
Tidak hanya Inggris, tidak ada satupun negara yang punya strategi keluar.
Pandemi ini merupakan tantangan ilmiah dan sosial yang sangat serius.
Masing-masing pendekatan ini dapat mengurangi kemampuan virus untuk menyebar. Vaksin - setidaknya 12 - 18 bulan lagi. Vaksin dapat memberikan ketahanan tubuh terhadap seseorang sehingga mereka tidak akan sakit jika terpapar.
Berikan vaksin ke banyak orang, atau setidaknya 60% dari populasi, dan virus tidak akan menimbulkan wabah - konsep yang dikenal sebagai herd immunity atau imunitas kelompok. Orang pertama telah diberikan vaksin yang tengah diuji coba di Amerika Serikat minggu ini setelah peneliti mendapatkan izin untuk melewatkan tahapan uji pada binatang.
Penelitian untuk menemukan vaksin dilakukan secara cepat, tapi tidak ada garansi jika upaya ini berhasil dan akan dibutuhkan imunisasi secara global. Perkiraan terbaik memprediksi vaksin akan tersedia dalam 12 sampai 18 bulan jika semua berjalan lancar. Ini merupakan waktu yang lama jika membayangkan harus ada karantina wilayah sepanjang waktu tersebut.Menunggu vaksin tidak seharusnya dianggap bagian dari strategi, itu bukan strategi, kata Prof Woolhouse seperti dirilis BBC.
Imunitas alami setidaknya dua tahun lagi
Salah satu strategi jangka pendek Inggris adalah untuk menekan angka kasus untuk menghindari lonjakan pasien yang membebani rumah sakit - saat sebuah negara kekurangan kasur perawatan intensif, angka kematian akan melonjak.
Setelah kasus berhasil ditekan, sebuah negara akan punya sedikit keleluasaan untuk mengurangi pembatasan untuk sementara waktu - hingga ada kenaikan kasus dan pembatasan kembali dibutuhkan.
Kapan ini dapat terjadi, masih menjadi pertanyaan. Kepala penasihat sains, Sir Patrick Vallance, mengatakan menentukan tenggat waktu adalah hal yang tidak mungkin dilakukan.
Melakukan hal ini dapat, secara tidak sengaja, menciptakan imunitas kelompok karena semakin banyak orang terinfeksi.
Tapi pendekatan ini butuh waktu tahunan, menurut Prof Neil Ferguson dari Imperial College London: Kita berbicara tentang menekan penularan pada level di mana, jika memungkinkan, hanya sedikit dari populasi yang terinfeksi.
Jadi, pada akhirnya kita akan melanjutkan ini untuk dua tahun atau lebih mendatang, mungkin pada saat itu sudah cukup orang terinfeksi untuk menciptakan perlindungan kelompok.
Tapi ada pertanyaan seputar sampai kapan imunitas ini akan bekerja. Varian virus corona lainnya, yang menimbulkan gejala demam biasa, menciptakan respons imun yang lemah dan manusia dapat terkena virus yang sama berkali-kali sepanjang hidupnya.
Alternatif - tidak ada akhir
Opsi ketiga adalah perubahan secara permanen perilaku masyarakat yang membantu kita untuk menekan penularan, kata Prof Woolhouse.
Opsi ini menuntut pemerintah untuk tetap memberlakukan beberapa kebijakan yang sudah diterapkan. Atau meningkatkan tes cepat dan isolasi pasien untuk berusaha menekan wabah.
Kita sudah melakukan deteksi dini dan pelacakan kontak tapi metode itu tidak efektif, Prof Woolhouse menambahkan.
Mengembangkan obat-obatan yang dapat menangkal infeksi Covid-19 dapat membantu strategi lain juga.
Obat-obatan ini dapat digunakan sesegera mungkin setelah seseorang menunjukkan gejala dalam proses yang disebut pengendalian penularan.
Atau merawat pasien di rumah sakit untuk membuat penyakitnya tidak terlalu mematikan dan mengurangi tekanan terhadap ruang gawat darurat. Ini dapat memungkinkan banyak negara untuk menangani kasus sebelum kembali memberlakukan karantina wilayah.
Meningkatkan jumlah ranjang di unit gawat darurat akan menimbulkan efek yang sama dengan peningkatan kapasitas penanganan wabah yang lebih besar.
Saya bertanya pada kepala penasihat medis Inggris, Prof Chris Whitty, apakah jalan keluar yang ia miliki.
Ia berkata: Untuk jangka panjang, yang jelas vaksin adalah salah satu jalan keluar dari semua ini dan kita semua berharap ini akan terjadi secepatnya.
Dan jika di tingkat global, sains dapat menawarkan solusi.
Tags : -,