RAMADHAN menjadi momentum spesial bagi warga Indonesia di berbagai daerah. Bahkan, untuk mengekspresikannya, ada banyak tradisi yang timbul dalam menyambut bulan suci umat Islam itu.
Mengutip buku Ramadhan dan Pembangkit Esensi Insan karangan Shabri Shaleh Anwar, ada banyak khas tradisi Ramadhan di berbagai daerah di Indonesia. Semarang salah satunya, tradisi Dugderan kerap kali dilakukan tatkala Ramadhan tiba.
Menurut penjelasannya, tradisi tersebut berawal dari suara yang dihasilkan, di mana Dug diambil dari suara bedug masjid yang ditabuh berkali-kali. Sedangkan Der berasal dari suara dentuman Meriam yang disulutkan Bersama dengan tabuhan bedug.
Menurut Shabri, tradisi yang berlangsung 1-2 pekan sebelum Ramadhan itu, telah berusia ratusan tahun. Dan terus bertahan hingga kini di tengah perkembangan zaman. Lebih jauh, di Klaten, Boyolali, Salatiga dan Yogyakarta, tradisi Padusan juga telah dilakukan sejak lama. Dalam pelaksaanya, para warga melakukan kegiatan itu dengan berendam atau mandi di sumur dan sumber mata air lainnya di tempat kramat.
Tradisi tersebut dilakukan karena memiliki makna, agar jiwa dan raga yang akan melakukan puasa, bersih secara lahir batin. Terkait Padusan, berdasarkan buku Memantaskan Diri menyambut Ramadhan karya Abu Mayam Kautsar memang digololongkan sebagai mandi besar untuk mensucikan diri.
Mandi besar bukanlah syarat sah puasa. Sebaliknya, mandi junub itu masuk ke dalam pembahasan bersuci dan masuk ke dalam masalah ibadah. Lain halnya dengan mandi umum biasa tanpa niat, Padusan disebut mengkhususkan mandi yang diniatkan untuk menyambut Ramadhan.
Padahal, dikutip dari buku yang sama, ritual atau kegiatan tersebut tidak pernah dicontohkan Rasulullah SAW dan para sahabatnya. Namun tetap saja, hal tersebut sudah menjadi tradisi tersendiri di berbagai daerah di Indonesia untuk waktu yang lama.
Tradisi lainnya yang kerap dilakukan mayoritas masyarakat Indonesia adalah ziarah kubur. Tradisi itu Utamanya dilakukan dalam menyambut bulan suci Ramadhan, atau biasa disebut nyadran pada bulan Ruwah oleh orang Jawa khususnya.
Dalam hal tersebut Abu Maryam menyatakan, tradisi tersebut memang ritual ibadah yang dilakukan orang jawa dalam akulturasinya dengan ritual Hindu. Bahkan, tradisi serupa juga bisa ditilik lebih jauh dari khas Kerajaan Majapahit bercorak Hindu, yang tradisinya masih kerap kali ditemukan.
Hingga kemudian, ketika para Sunan mengislamkan Jawa, tradisi nyadran diubah kemasannya dengan nuansa Islami. Pasalnya, tradisi tersebut masih sulit untuk dihilangkan.
Warga berziarah di makam
Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengimbau ke seluruh masyarakat muslim tidak melakukan tradisi ziarah kubur jelang Ramadhan 1441 H, guna memutus rantai penyebaran virus Corona atau (COVID-19).
Namun kenyataannya dalam menyambut Ramadhan dengan ritual, acara penyambutan Ramadhan dengan makan-makan juga masih kerap ditemui di berbagai wilayah di Indonesia. Di Banyumas, makan besar yang disebut dengan Perlon Unggahan juga dilakukan untuk menyambut bulan suci.
Lebih jauh, di Aceh, tradisi Meugang juga menjadi tradisi makan tersendiri, khususnya untuk menyambut bulan puasa. Di mana, masyarakat akan patungan biaya untuk membeli Kerbau agar disembelih dan dagingnya dimakan menjelang masa puasa. Sedangkan di Riau tradisi mandi balimau di Sungai Siak.
Indonesia memang sangat beragam dari tradisi dan suku yang memiliki berbagai kebudayaan yang melekat. Tradisi menyambut bulan Ramadhan contohnya, hal tersebut bisa dikatakan menjadi sebuah pesta rakyat, utamanya karena dilakukan terus menerus. Terlebih, karena kerap kali diiringi berbagai kegiatan seperti tarian, arak-arakan hingga tabuh bedug, petasan dan mercon yang mengiringinya. (rp.sul/*)
Editor: Syamsul Bahri
Tags : -,