Opsi Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dipilih ketimbang 'lockdown', mampukah menekan penyebaran dalam merespons wabah Covid-19?
emilih opsi Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) ketimbang 'lockdown' dalam merespons wabah Covid-19 akhirnya diberlakukan oleh Walikota Pekanbaru DR H Firdaus ST MT. Bagaimana prediksi jumlah kasus di kota ini sejak dilakukannya pembatasan sosial?
Beberapa pembeli tengah mengerubungi Isa, seorang penjual sayur keliling yang setiap hari menawarkan dagangannya di sekitar jalan Adisucipto, Pekanbaru. Saya beli bahan dagangan di Pasar pagi Simpang Empat Arengka. Kalau pasar masih buka, saya tetap berjualan di jalanan dan dirumah gang Iklas, ujar Isa sambil mengkemas dagangannya pesanan pembeli di gerobaknya.
Isa merupakan bagian dari masyarakat di Pekanbaru dari kaum kelas bawah yang mesti berkeliling saban hari untuk menghidupi keluarganya. Istrinya tidak bekerja, jadi dia lah satu-satunya tulang punggung keluarga. Baginya, dia masih akan tetap berjualan, sekalipun Walikota telah menginstruksikan PSBB.
Dalam beleid tersebut, pembatasan sosial atau yang kerap disebut social distancing meliputi penutupan sementara sekolah atau tempat kerja, pembatasan kegiatan keagamaan, dan pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum. Pembatasan sosial yang dimaksud menurut beberapa pakar, berbeda dengan karantina wilayah PSBB adalah pembatasan kegiatan bepergian atau kerumunan di suatu daerah.
Hingga 25 April 2020, Dinas Kesehatan Riau mencatat 38 pasien corona dengan 13 pasien sembuh dan 2 penambahan kasus baru. Kasus terkonsentrasi di Pekanbaru. Jumlah kasus diprediksi akan terus memuncak. Ada dua skenario. Pertama, jika pembatasan sosial dilakukan seperti sekarang dan tiga dari 10 penduduk Pekanbaru berdiam di rumah. Skenario kedua, jika karantina wilayah dilakukan secara masif di mana lima dari 10 penduduk tak keluar rumah dan menjaga jarak.
Data prediksi di atas menunjukkan jika pemerintah hanya mengimplementasikan pembatasan sosial maka diprediksi jumlah kasus yang terlaporkan akan mencapai 872.346 kasus di mana 60% pasien berpotensi meninggal dan 40 persen sembuh. Puncak kasus baru terjadi pada Agustus 2020. Sementara, jika dilakukan karantina wilayah, maka jumlah kasus di Pekanbaru diprediksi mencapai 46.425 pada Oktober 2020 dan separuh pasien meninggal. Puncak kasus baru akan terjadi pada Juni 2020.
Dua skenario ini terjadi jika implementasi kebijakan pembatasan sosial atau karantina wilayah secara tegas dimulai pada 17 April 2020 dan pelaporan kasus baru membutuhkan waktu 14 hari untuk pengujian sampel. Angka ini merujuk pada simulasi model proyeksi SEIQRD oleh tim simulasi dan permodelan Covid-19 Indonesia (SimcovID) yang terdiri dari dosen dan peneliti di 10 kampus baik di luar negeri maupun Indonesia di antaranya Institut Teknologi Bandung, Universitas Gadjah Mada, Universitas Padjajaran, Universitas Nusa Cendana, Essex University, Oxford University, dan Khalifa University.
Dalam permodelan, tim melihat dari sejumlah parameter dari data yang dibuka ke publik untuk menghitung jumlah orang sehat dan mungkin sakit, populasi sehat yang terpapar infeksi, populasi yang sudah terinfeksi namun belum tercatat positif (hidden case), populasi yang terinfeksi dan sudah tercatat positif kemudian di karantina (reported case), sembuh setelah tercatat positif, sembuh sebelum tercatat positif, dan meninggal.
Sementara itu, permodelan lain dilakukan oleh Alumni Matematika UI memprediksi kasus akan melonjak hingga 600.000 kasus pada Agustus 2020 jika minim intervensi dari pemerintah dan tidak ada kebijakan yang tegas untuk membatasi kegiatan. Kasus baru tertinggi diprediksi pada 6 Juni 2020 sebanyak 11.318 kasus.
Menekan angka sebaran
Di Riau sendiri, kasus pandemi ini masih terus meningkat. Sejak pertama kali kasus corona di Indonesia ditemukan pada awal Maret, lonjakan kasus baru tercatat tertinggi pada 27 Maret 2020 dengan 153 pasien baru.
Karantina ini diikuti dengan penutupan sekolah, pembatasan kegiatan di dalam kota, dihentikannya transportasi publik, dan pembatasan bekerja dari kantor. Singapura tak menerapkan sistem karantina wilayah, melainkan menguatkan sistem penelusuran kontak pasien dan melibatkan detektif sehingga mampu menekan angka. Sementara di Indonesia, karantina wilayah tidak menjadi opsi kebijakan nasional, tetapi sejumlah kota telah menerapkannya, seperti Kota Pekanbaru, meski kemudian banyak menuai protes dari warganya.
Selain karantina wilayah, penerbangan pesawat komersil dibatasi. Terkait respons pemerintah, WHO menyarankan perlunya tindakan tegas dari tiap negara untuk melawan pandemi dengan menerapkan kebijakan yang berpihak dan melindungi masyarakat, apapun skenario yang dipilih. Selain itu, WHO juga menyarankan perlunya perhatian pemerintah untuk meningkatkan fasilitas kesehatan tiap negara. Kelangkaan alat medis untuk melindungi para tenaga kesehatan memang menjadi permasalahan global. Apabila kita tidak bisa melindungi mereka dan tidak bisa mencukupi kebutuhan untuk tes Covid-19, maka kita akan kesulitan melawan pandemi ini, ujar Singh dalam pernyataan pers.
Desakan 'lockdown'
Juru bicara Presiden, Fadjroel Rachman, menyebutkan pemerintah tak mengambil kebijakan karantina wilayah, atau lockdown, karena dinilai berpotensi menimbulkan kekacauan sosial jika tidak ada perencanaan yang terstruktur.
Alih-alih, pembatasan sosial berskala besar (PSBB) melalui Peraturan Pemerintah dinilai sudah cukup. Terlebih, ada maklumat Polri yang bakal memberikan ancaman pidana bagi warga yang berkerumun atau melakukan kegiatan. Mengikuti instruksi pusat, Walikota Pekanbaru, Firdaus MT, menetapkan PSBB di wilayahnya per 17 April 2020 kemarin. Firdaus mengatakan pembatasan wilayah diterapkan selama 14 hari bisa diperpanjang sesuai kebutuhan.
Penerapan kebijakan ini dimulai setelah Pekanbaru mendapatkan izin dari Kementerian Kesehatan dengan alasan meningkatnya jumlah kasus dan kematian. Artinya, warga Pekanbaru tak akan bisa bebas berkumpul di ruang publik untuk menyelenggarakan beragam kegiatan mulai hiburan dan keagamaan. Kegiatan pendidikan juga diubah menjadi jarak jauh.
Sejumlah bisnis juga harus ditutup dan yang diperbolehkan beroperasi hanya sektor terbatas, seperti pertanian, pangan, telekomunikasi, perbankan, kesehatan, dan media. Terkait mudik, Firdaus juga tidak secara resmi melarang warga untuk kembali ke kampung halaman, melainkan mengimbau agar membatasi pergerakan (physical distancing). Pemerintah berencana mengganti libur hari raya ke hari yang lain dan memberikan fasilitas mudik untuk hari pengganti tersebut. Sebelumnya Gubernur Riau Syamsuar sudah mengintruksikan larangan warganya untuk mudik.
Terkait pergerakan massa ini, Lembaga Melayu Riau (LMR) H Darmawi Aris SE memprediksi pembatasan sosial tak cukup menekan angka penyebaran virus ini. Dari permodelan, kebijakan karantina wilayah adalah yang paling baik karena puncak kasus akan terjadi lebih cepat dan kasus lebih sedikit, ujarnya dalam bincang-bincangnya, saat dihubungi Sabtu (25/4).
Menurut Darmawi, dengan karantina wilayah maka asumsinya akan ada pembatasan fisik maupun sosial di masyarakat. Jika ditemukan satu kasus baru maka akan mudah dilacak (contact tracing) dan dilakukan uji sampel dahak dan lendir untuk menentukan kasus baru. Dia menekankan, karantina wilayah skala besar perlu dilakukan sesegera mungkin.
Sementara Juru Bicara Pemerintah untuk Covid-19 Riau dr Indra Yovi, Sabtu (25/4/2020) ditanya mengenai prediksi puncak wabah di Riau, mengatakan, tidak ada yang bisa memprediksi kapan puncaknya. Karena dinamikanya sangat tinggi. Ini kan tergantung dari bagaimana kita mencegah penularan. Bukan skenario terjelek yang dipersiapkan, tapi bagaimana skenario terjelek itu dicegah supaya jangan sampai terjadi. Itu sebabnya kita melaksanakan PSBB dan sebagainya: mencegah jangan sampai itu terjadi, kata Indra didepan wartawan. (rp.sdp/*)
Tags : -,