Headline Sorotan   2020/05/01 14:28 WIB

Dampak Sosial Virus Corona: Beban Perempuan 'Berlipat Ganda'

Dampak Sosial Virus Corona: Beban Perempuan 'Berlipat Ganda'

Seiring penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) beban perempuan semakin bertambah

class=wp-image-20818

eban perempuan semakin bertambah rumit setelah Kota Pekanbaru ini menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), selain mengajar anak dan mengasuh anak-anak dimana sekolah-sekolah dan banyak perkantoran ditutup sehingga berbagai aktivitas harus dilakukan di rumah.

Seperti disebutkan Ida Rohani (36), seorang warga Sukajadi, Pekanbaru adalah seorang guru disalah satu Sekolah Dasar (SD) swasta yang memiliki 3 anak itu mengatakan sekolah asrama di mana ia bekerja telah ditutup sejak pertengahan Maret dan sistem pembelajaran dilaksanakan secara virtual.

Seminggu pertama itu adaptasi yang paling berat, ungkap Ida melalui sambungan heandpon pada Jumat (14/4).

Pada awalnya, guru bimbingan konseling itu mengaku merasa kewalahan. Banyak anak muridnya yang melemparkan pertanyaan saat dihadapkan dengan proses belajar mengajar yang baru. Ditambah ia harus mengasuh anak-anaknya yang duduk dibangku sekolah tingkat SD dan SMP. Sementara anaknya yang paling bungsu baru berusia 6 tahun.

Namun, Ida dalam pengakuannya tetap mencoba menenangkan diri dan belajar untuk menguasai tantangan baru tersebut. Dengan perlahan, dia akhirnya menangkap pola yang nyaman dalam mengajar dan mengasuh anak.

Memang agak berat sebenarnya. Tapi semakin lama semakin terbiasa jadi lebih enak. Jadi tugas pokok kewajiban saya sebagai istri juga terlaksana, sunah rosulnya bekerja membantu suami juga terlaksana.

Ya lagi kelas, lagi jam mengajar, sambil memantau anak, kemudian anak saya juga ngajak main atau gimana, bisa sambil melayani [permintaan anak], karena kan tidak harus duduk terus di depan laptop. Jadi kita balas dari chat-chat anak di jam mengajar, jadi bisa sambil melayani anak. Sambil nyuapin, kemudian ada misalnya harus masak dulu atau apa, bisa, kata Ida.

class=wp-image-22761

Sementara, Ibu rumah tangga lainnya seperti disebutkan Wela, sebagai ibu dari dua anak, ia memilih pendekatan yang berbeda. Sama seperti Ida, Wela berprofesi sebagai seorang guru. Ia mengajar pelajaran keagamaan di sebuah sekolah dasar diperguran swasta di Pekanbaru.

Di antara kesulitan yang ia alami pada masa transisi bekerja dari rumah termasuk konsekuensi jaringan internet yang kurang stabil dan mekanisme penyampaian materi dari tatap muka menjadi online. Belum lagi kendala-kendala yang dihadapi di rumah. Kebetulan saya selain mengajar, dengan jadwal yang cukup padat, itu juga kan pendampingan dua anak dengan tiga jalur - SMP satu, satunya lagi di SD, itu dalam satu waktu.

Jadi benar-benar harus komunikasi ke anak dibangun bahwasanya mama dari rumah pun mengajar, sama seperti guru-guru di rumah mereka mengajar kalian. Lalu saya tetap koordinasi ke guru-guru anak saya kalau saya di rumah pun mengajar, jadi minta dispensasi waktu dalam pengumpulan tugas, kata Wela.

Di sisi lain, Wela mengatakan pandemi ini juga berdampak pada finansial keluarganya. Suaminya yang bekerja di toko buku di bilangan jalan Adi Sucipto kini penghasilannya ikut merosot.

Konsep keuangan yang biasa kita nabung, lagi nggak bisa nabung kata Wela.

Walupun demikian, ia mengatakan hal tersebut masih bisa ditangani, karena kita juga bukan tipikal keluarga yang konsumtif. Jadi memang dari sebelum wabah sudah biasa hidup hemat ketika sekarang benar-benar hemat ya udah kita rasakan dari sebelumnya, katanya.

Finansial keluarga 'lumpuh'

Kisah ibu rumah tangga lainnya seperti dalami Erni, pandemi Covid-19 tidak saja mengancam kesehatannya, tapi juga ekonomi keluarga.

Dua pekan lalu, Rudiansyah, suami Erni, dipecat dari pekerjaannya sebagai petugas pelayan kebersihan di sebuah mall di Kota Pekanbaru. Perusahaan penyalur jasa kebersihan tempat Rudiansyah bekerja beralasan tidak mampu lagi membayar pegawai seiring dengan ditutupnya sejumlah mal.

Rudiansyah pulang ke rumah tanpa membawa uang kompensasi atau bahkan pesangon sepeser pun. Kehidupan keluarganya kini dirasakan lumpuh, benar-benar lumpuh. Gak bisa (dapat) penghasilan, gak ada., kata dia. Yah buat makan sehari-hari juga pinjam ke saudara, ungkap Rudiansyah.

Rudiansyah bukan satu-satunya korban PHK selama masa pandemi. Kepala Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi (Kadisnakertrans) Riau, Jonli mengakui, ribuan orang karyawan atau pekerja di Riau sudah dirumahkan terkait dengan dampak pandemik Virus Corona atau Covid-19, Sabtu (11/4/2020).

class=wp-image-22763

Sampai saat ini jumlah pekerja dirumahkan 3.647 orang dengan jumlah badan usaha 89. Sementara itu terkait Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), baru melapor sekitar 28 orang, ini belum termasuk pekerja informal, terang Jonli.

Pemecatan para suami bisa jadi menimbulkan beban yang lebih berat bagi para isteri. Seperti yang dirasakan seperti contoh pada suami Erni. Bahkan Ia harus memutar otak untuk menyiapkan makanan bagi keluarga saban harinya. Siapa orangtua yang yang gak mikirin gizi (buat anak). Cuma (Erni berhenti, terdengar isakan) saya jadi pengen nangis. Cuma keadaan kayak gini, gimana yah, boro-boro mikirin gizi, buat bisa makan doang juga Alhamdulillah banget, ungkapnya terisak.

Erni, salah satu Ibu rumah tangga yang mengalami nasib tak disangka-sangka (terpuruknya pekerjaan suami) semakin tertekan lantaran memikirkan pula adanya pandemi corona di saat situasi serba sulit ini. Wabah corona juga menyulitkan Erni disebabkan kehilangan satu-satunya penghasilan keluarga, membuat kehidupannya dengan suaminya semakin terpuruk. Untuk membeli beras saja, mereka harus meminjam ke sana sini dan bahkan menjual telepon genggam. Mereka pun terpaksa pindah dari kontrakan ke rumah orangtua demi mengurangi beban pengeluaran.

Pasangan suami isteri itu berusaha mencari penghasilan lain dengan cara berdagang di kaki lima menjual masker yang harganya dipatok Rp5000-Rp15.000 per buah, bahkan suaminya juga membuat dan menjual layangan. Namun, wabah Covid-19 seolah menutup semua peluang yang ada. Sekarang saya lagi coba-coba buat jual layangan. Itu pinjam modalnya ke saudara, tapi malah hujan. Jadi belum dapat hasilnya, kata suami Erni.

Suami juga pengen ngelamar-ngelamar kerja, tapi gak mungkin keadaannya ya seperti ini. Semua perusahaan juga gyang-goyang akibat corona. Jadi gak tahu gimana. Mau jualan, jualan apa dan sepi kan? Nggakkepikiran untuk saat ini, ujar Erni mengeluh.

Dia pun berharap bantuan dari pemerintah yang janjinya akan memberi bantuan bagi warga yang terdampak wabah. Hingga kini, Ern mengaku belum mendapat bantuan, meski pemerintah pusat dan provinsi telah berjanji akan menyalurkan bantuan jaring pengaman sosial sejak beberapa pekan lalu.

Gubernur Riau, Syamsuar menyatakan Pemprov Riau akan memberi bantuan sebesar Rp300 ribu per kepala keluarga miskin dan terdampak wabah dalam bentuk sembako dan uang tunai. Namun, menurut Erni, bantuan itu dijatah hanya 5 kepala keluarga (KK) per rukun tetangga (RT).

Kata bu RT, dipilih dalam satu RT itu cuma 5 KK dan aku nggak kebagian. (Bantuannya) belum menjangkau semua. Ternyata pak Syamsuar yang diomongin (beda), gak kayak gitu. Padahal kan yang namanya di-PHK itu benar-benar kena dampak banget. Bingung kali RT juga kalau memang posisinya hanya 5 KK yang dipilih dalam satu RT, ungkapnya.

Suara perempuan

class=wp-image-22770
Tiasri Wiandani

Mengutip seperti disebutkan pihak Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Tiasri Wiandani mengatakan beban berlipat ganda di tengah pandemi ini terutama ditanggung oleh perempuan yang berkeluarga dan bekerja.

Kita membaca banyak suara dari banyak perempuan yang sekarang harus di rumah, terutama perempuan yang bekerja, itu mengalami beban yang sangat berat karena mereka jadi terbebani urusan-urusan rumah. Mulai dari mengasuh anak, mengajar anak sekolah yang juga secara online.

Pihak suami lebih banyak dalam posisi yang seperti biasanya, bahwa semua urusan rumah tangga harus dijalankan oleh istri. Jadi banyak sekali yang mengeluh sebetulnya karena situasi kerja di rumah ini, kata Tiasri Wiandani.

Dampak berlipat karena semua orang harus dirumahkan jadi perempuan mau tidak mau kembali harus menerima beban itu. Ketika dia berkantor dia bisa mengantisipasi dan mengatur semuanya, termasuk peran. Tapi ketika semua orang dirumahkan, dia jadi tidak bisa mengelak dengan situasi sebagai ibu dan istri, dia harus memegang beban ganda itu, ujar Tiasri Wiandani.

class=wp-image-22764

Dampak ketimpangan gender di tengah pandemi tidak hanya dialami oleh para wanita di Indonesia. Krisis selalu memperburuk ketimpangan gender, kata dia.

Tiasri Wiandani mengatakan pemerintah semestinya memberi perhatian yang lebih besar terhadap isu tersebut, terutama peran perempuan selama ada kebijakan masif untuk tetap di rumah. Solusinya sebetulnya selain anjuran kesehatan soal situasi Covid, seharusnya juga ada anjuran tentang budaya. Budaya itu maksudnya bagaimana setiap keluarga itu dalam situasi pandemi ini bisa membagi tugas dan bekerja sama untuk mengelola kehidupan yang harus di rumah.

Selama ini pemerintah kan hanya membicarakan untuk kesehatan - cuci tangan, tetap di rumah, dan sebagai macam. Tapi, hal-hal yang sifatnya sosial budaya itu tidak terjamah, tidak tersentuh padahal problem paling banyak itu justru persoalan sosial budaya, termasuk soal ekonomi, kata dia. (rp.sdp/*)

Tags : -,