"Sebanyak 16 kampung adat di Rempang Galang, Kepulauan Riau, terancam tergusur pembangunan proyek strategis nasional bernama Rempang Eco City"
ebagian masyarakat adat menolak direlokasi imbas proyek ini karena khawatir kehilangan ruang hidupnya. Sementara, BP Batam mengatakan proyek ini demi mendongkrak pertumbuhan ekonomi.
Berdasarkan giografis, Rempang Galang, Kepri dahulunya merupakan masuk wilayah Riau daratan secara untuh sejak berdirinya propinsi Riau, tentu saja secara defakto warga Melayu Riau daratan terusik akibat kecerobohan pemerintah pusat yang areal di lokasi akan diperuntukan membangun pabrik kaca.
Lembaga Melayu Riau [LMR] prihatin dan turut berjuang bersama masyarakat Rempang Galang Kepri, mendongrak Pemerintah Propinsi Riau dan Kepri untuk tidak memberi izin perusahaan pabrik kaca yang terendus merupakan akal akalan pemilik modal.
"Kami ikut membantu perjuangan warga Propinsi Kepri, Allah SWT bersama kita," ucap Ketua Umum [Ketum] Lembaga Melayu Riau [LMR] Pusat Jakarta, H. Darmawi Wardhana Zalik Aris melalui Whats App [WA] nya, Sabtu (9/9/2023).
Begitupun pegiat HAM mengatakan kepolisian mulai "menakut-nakuti" sebagian masyarakat yang "vokal" menolak relokasi dengan pemeriksaan-pemeriksaan. Namun, kepolisian membantah hal tersebut, dan mengatakan tetap mengedepankan "musyawarah mufakat".
Tetapi kembali disebutkan Darmawi Wardhana Zalik Aris yang menaruh prihatin dan mengutuk tindakan Polri atas pristiwa demonstrasi yang menjadi imbasnya pada anak anak.
Rohimah, warga yang terdampak proyek pembangunan Rempang Eco City menolak direlokasi dari kampung halamannya.
"Itu sudah harga mati, itu janji kita bersama," kata Rohimah, Senin (04/09).
Rempang Eco City adalah proyek menjadikan sepenuhnya Pulau Rempang dan sebagian Pulau Galang dan Subangmas sebagai kawasan industri, perdagangan dan wisata yang terintegrasi sebagai upaya pemerintah mendorong peningkatan daya saing Indonesia dari Singapura dan Malaysia.
Akhir bulan lalu, Rempang Eco City baru saja ditetapkan sebagai salah satu proyek strategis nasional (PSN).
Bagi Rohimah, Rempang dan sekitarnya adalah pulau bersejarah bagi nenek moyang, dirinya, dan keturunan nanti.
"Makanya kami tidak ingin relokasi, kalau kami relokasi hilang sejarah kami," kata Rohimah yang baru saja merayakan usia 50 tahun, sambil menambahkan kalau ia sama sekali tidak tergiur dengan janji tempat relokasi yang lebih mewah dan bagus.
Ribuan masyarakat turun kejalan menolak kampung adat di Rempang Galang, Kepulauan Riau yang dijadikan pembangunan proyek strategis nasional [Rempang Eco City]
Begitu juga yang dikatakan Rahimah, 53 tahun, warga Kampung Sembulang, Pulau Rempang. Kampung ini disebutnya menjadi relokasi tahap pertama.
Rahimah mengatakan, kampung dulu hutan belantara kemudian dibangun oleh datuk dan nenek moyang keluarga.
"Saya ini ibu rumah tangga, perasaan kami tidak tentram setelah empat bulan lalu dapat kabar kami digusur, kami sedih macam mana kalau kami dipindahkan," katanya.
Rohimah juga khawatir ketika Rempang Eco City rampung, ia tak bisa leluasa keluar masuk kampung sendiri.
Rohimah menegaskan tidak menolak pembangunan, bahkan dirinya bersyukur ada pembangunan di dekat kampung halamannya.
"Ada pembangunan kami bisa tambah usaha kami, tetapi kenapa harus di kampung kami, silakan bangun luar sana," katanya.
Warga terima pembangunan, tapi tidak direlokasi
Masyarakat adat yang terdampak proyek Rempang Eco City ini diperkirakan antara 7.000 - 10.000 jiwa, kata Darmawi Wardhana mengirimkan pesanya melalui Whats App, Sabtu.
"Tetapi kehidupan warga di pulau itu sudah terancam. Dimanakah mereka akan hidup, kalau dikampungnya sendiri digusur," tanya dia.
Ketua Kekerabatan Masyarakat Adat Tempatan (Keramat) Rempang dan Galang, Gerisman Ahmad dalam beberapa kesempatan menegaskan warga kampung tidak menolak pembangunan, tetapi menolak direlokasi.
Warga mempersilahkan pemerintah melakukan pembangunan di luar kampung-kampung warga.
"Setidaknya terdapat 16 titik kampung warga di kawasan Pulau Rempang ini, kami ingin kampung-kampung itu tidak direlokasi," katanya.
Ia mengklaim warga Rempang dan Galang terdiri dari Suku Melayu, Suku Orang Laut dan Suku Orang Darat, telah bermukim di pulau setidaknya lebih dari satu abad lalu.
"Kampung-kampung ini sudah ada sejak 1834, di bawah kerajaan Riau Lingga," kata Gerisman.
Sejak 1834 itu kata Gerisman, negara tidak pernah hadir untuk masyarakat adat Tempatan di Rempang.
Mereka tidak kunjung mendapatkan legalitas tanah meskipun sudah diajukan.
"Tiba-tiba sekarang kampung kami mau dibangun saja," tandasnya.
Dalam kesempatan terpisah seorang warga Sembulang, Syamsudin Bujur menunjukkan kuburan nenek moyang mereka di Pemakaman Al Fajri di Kampung Sebulang.
Ribuan masyarakat Kepulauan Riau tolak pembangunan proyek strategis nasional [Rempang Eco City]
Menurut Syamsudin, leluhur mereka sudah menempati pulau sebelum Indonesia merdeka.
Kepala Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam (BP Batam), Muhammad Rudi, mengatakan "tidak memungkinkan" kawasan industri dibangun berdampingan dengan permukiman warga.
"Karena ada lokasi tersebut sesuai peruntukkan akan dibangun industri pabrik kaca dan solar panel semata terbesar kedua di dunia," kata Muhammad Rudi dalam konfresi pers nya, Senin (04/09) lalu.
Ia melanjutkan, masyarakat yang akan mendapat hak hunian di Kampung Nelayan Modern, lokasinya tidak jauh dari kampung sebelumnya dan masih berada di satu bibir Pantai.
Warga rencananya direlokasi ke Dapur Tiga, Sijantung, Pulau Galang.
Masyarakat yang memperoleh hak hunian dibagi menjadi beberapa kategori. Pertama, mereka yang dikategorikan warga kampung lama di luar kawasan hutan negara (APL).
Kedua, warga kampung lama di kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK), dan ketiga warga di luar kampung lama di APL.
Kategori keempat adalah warga atau badan hukum di dalam hutan. "Tidak dapat ganti rugi," kata Muhammad Rudi.
Ketiga kategori warga ini akan memperoleh hunian tipe 45 dengan nilai Rp120 juta, dan maksimum 500 meter persegi, biaya sewa rumah selama masa pembangunan hunian, dan biaya hidup ditanggung sesuai ketentuan.
Satu rumah terdampak akan diganti dengan satu hunian baru.
Warga yang terdampak juga akan menerima fasilitas hunian sementara dari BP Batam, termasuk biaya hidup selama relokasi sementara Rp1.034.636/orang dalam satu KK (maksimal tiga orang dalam satu KK).
Biaya ini termasuk biaya air, listrik dan kebutuhan lainnya.
"Fasilitas mobilisasi pemindahan dari hunian ke hunian relokasi sementara akan difasilitasi oleh BP Batam. Tersedia layanan kesehatan dan pelayanan keamanan," tambah Muhammad Rudi.
Di kawasan hunian relokasi nantinya juga akan dilengkapi fasilitas pendidikan, layanan kesehatan, olahraga, ibadah, sosial, dan dermaga.
"Kawasan hunian akan dielevasi menjadi Kampung Wisata Unggulan yang mewakili budaya melayu, berdaya saing secara ekonomi dan berkesinambungan bagi masa depan generasi," kata Muhammad Rudi.
Kepala BP Batam, Muhammad Rudi mengklaim sosialisasi proyek ini telah dimulai sejak April 2023, melalui media massa, media sosial, siaran pers resmi, hingga dibentuk tim yang langsung datang untuk melakukan sosialiasi ke masyarakat sampai saat ini.
Ia juga mengatakan proyek ini ditindaklanjuti "secara serius, hati-hati dan selalu membuka ruang bagi masyarakat Rempang untuk berdialog dan berdiskusi."
Hal ini sekaligus menjadi bantahannya atas tudingan kelompok masyarakat sipil bahwa sosialisasi dilakukan secara tidak transparan.
Pada 23 Agustus lalu, ribuan warga dari sejumlah pulau di Kepulauan Riau berunjuk rasa di depan Kantor BP Batam.
Mereka menolak direlokasi
Edi Kurniawan dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mengatakan penolakan warga untuk direlokasi dalam Rempang Eco City menjadi bukti bahwa sosialisasi yang dilakukan tidak transparan.
Edi memperkirakan jumlah masyarakat yang terdampak proyek Rempang Eco City antara 7.000 sampai 10.000 jiwa. Mereka sudah tinggal berpuluh tahun secara turun temurun.
"Masalahnya, penetapan proyek ini tidak melalui konsultasi atau tidak melibatkan partisipasi masyarakat yang terdampak langsung dari proyek ini. Masyarakat juga kaget, tiba-tiba ada proyek besar," kata Edi, Senin (04/09).
Edi menambahkan dalam proses penolakan warga untuk direlokasi, "terjadilah serangkaian intimidasi hukum, ada upaya kriminalisasi, ada upaya menakuti-nakuti warga".
Warga tumpah kejalan
YLBHI bersama dengan Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pekanbaru dan Walhi sedang mendampingi 10 warga Rempang yang sempat diperiksa kepolisian.
"Mereka ini macam-macam dijeratkan pasal pidana, ada pidana penguasaan kawasan hutan, ada pidana pelanggaran tata ruang, ada pidana pemalsuan dokumen, ada pidana pemerasan, dan ada pidana korupsi," kata Edi.
"Dan salah satu ketuanya dipanggil Kejaksaan Agung karena ada dugaan korupsi," sambungnya.
Namun belum ada satu pun yang ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus tertentu.
Menurutnya, cara ini yang biasa digunakan dalam melancarkan proyek strategis nasional (PSN).
Berdasarkan catatan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) pada 2022 terdapat 32 letusan konflik agraria, 11 di antaranya terkait dengan PSN.
Luasan konflik mencapai 102 ribu hektar dan berdampak pada 28 ribu keluarga.
"Karena ini hampir semua proyek strategis nasional polanya sama," tambah Edi.
Ia menambahkan pemerintah harus bijak dan hati-hati dalam menangani polemik proyek Rempang Eco City yang berdampak pada kehidupan ribuan orang.
Pemerintah kata dia, harus benar-benar mendengar aspirasi masyarakat adat.
"Kalau tidak disikapi dengan bijak dan serius, pemerintah maupun penegak hukum, kami khawatir ini akan berpotensi menimbulkan pelanggaran HAM yang luar biasa," kata Edi.
Kabid Humas Polda Keprim, Kombes Pol Zahwani Pandra Arsyad, mengatakan warga yang diperiksa dalam hal pemeriksaan klarifikasi terkait kepemilikan lahan.
Sejauh ini belum ada yang disangkakan dalam kasus tertentu.
"Tujuannya untuk kita melakukan pendataan... Jadi sekali lagi, tujuan polisi itu untuk mengklarifikasi, bukan untuk melakukan kriminalisasi," katanya.
Kepolisian, kata Arsyad, mengedepankan "musyawarah mufakat" dalam kasus ini, sementara "penegakan hukum" disebut sebagai upaya hukum terakhir.
"Harus kita selesaikan dengan... hati boleh panas, tapi kepala kita dingin. Tidak ada pekerjaan yang tidak ada jalan keluarnya," kata Zahwani Pandra Arsyad.
Terkait pemeriksaan Ketua Kekerabatan Masyarakat Adat Tempatan (Keramat) Rempang-Galang, Gerisman Ahmad baru-baru ini, Arsyad mengatakan, "belum ada kasus yang benar-benar mengarah itu belum ada."
Sebelumnya, Gerisman mengatakan diperiksa secara intensif sebagai saksi terkait dugaan kasus pengrusakan terumbu karang.
"Belum ada persangkaan-persangkaan," lanjut Arsyad.
Kembali disebutkan Darmawi Wardana Zalik Aris, proyek itu disiapkan pemerintah pusat melalui kerja sama antara BP Batam dan PT Makmur Elok Graha (MEG).
"Proyeksinya menyiapkan Pulau Rempang sebagai Mesin Ekonomi Baru Indonesia, menurut keterangan BP Batam," kata Darmawi.
Kawasan ini diestimasikan memperoleh investasi sebesar Rp381 triliun hingga tahun 2080.
Dalam rencana pembangunannya, Pulau Rempang yang luasnya sekira 17.000 hektar akan dibangun menjadi kawasan industri, perdagangan dan wisata.
Tujuannya mendongkrak pertumbuhan perekonomian dan peningkatan daya saing Indonesia dengan Malaysia dan Singapura.
Tujuh zona yang nanti akan dikembangkan antara lain zona industri, zona agro-wisata, zona pemukiman dan komersial, zona pariwisata, zona hutan dan pembangkit listrik tenaga surya, zona margasatwa dan alam serta zona cagar budaya.
"Proyek ini juga diproyeksikan dapat menyerap 306.000 tenaga kerja selama pengembangan kawasan hingga 2080," terangnya.
Tetapi dalam keterangan tertulis, BP Batam mengatakan pengembangan Pulau Rempang diawali dengan investasi produsen kaca terkemuka dari China sejak akhir Juli.
Perusahaan yang berkomitmen berinvestasi sekira Rp175 triliun akan membangun fasilitas hilirisasi pasir kuarsa dan pasir silika serta ekosistem rantai pasok industri kaca dan kaca panel surya.
"Penandatanganan kerja sama dengan Xinyi Group pun disaksikan langsung oleh Presiden RI, Joko Widodo, dan Presiden Republik Rakyat Tiongkok (RRT), Xi Jinping," kata Muhammad Rudi, Kepala BP Batam.
Menteri Investasi sekaligus Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Republik Indonesia, Bahlil Lahadalia, sudah mengetahui polemik proyek Rempang Eco City.
Kata dia, pemerintah akan "cari solusi terbaik".
"Saya mengerti apa yang menjadi aspirasi masyarakat. Tapi saya mohon, masyarakat juga mengerti apa yang menjadi tujuan negara," ujar Menteri Bahlil seperti dikutip dari situs BP Batam.
Di sisi lain, Direktur Eksekutif Daerah Walhi Riau, Boy Jerry Even Sembiring yang ikut mengadvokasi warga Rempang-Galang menilai semestinya proyek investasi tidak mengorbankan masyarakat adat.
Persoalan ini, kata dia, selalu berulang dalam kasus konflik agraria karena ketiadaan persetujuan dari masyarakat adat.
"Seharusnya seluruh investasi yang masuk seluruh yang akan bekerja di Rempang-Galang itu kulonuwun ke masyarakat adat, pamit ke masyarakat adatnya, bukan kabarin mau digusur," kata Boy.
Delapan orang ditangkap
Delapan orang sudah ditangkap menyusul bentrokan antara aparat dan warga di Pulau Rempang, Kepulauan Riau, menurut kepolisian.
Dalam perkembangan terbaru, kepolisian juga mengatakan sebanyak 11 orang yang terdampak gas air mata sudah kembali ke rumah masing-masing setelah mendapat perawatan medis.
Sebanyak 16 kampung adat di Pulau Rempang dan Pulau Galang, Kepulauan Riau terancam tergusur oleh pembangunan proyek strategis nasional bernama Rempang Eco City.
Sebagian masyarakat adat menolak direlokasi imbas proyek ini karena khawatir akan kehilangan ruang hidup mereka. Sementara BP Batam beralasan proyek ini demi mendongkrak pertumbuhan ekonomi.
Apa perkembangan terbaru menurut kepolisian?
Beberapa orang warga ditangkap aparat saat terjadi bentrok di Jembatan 4, Kota Batam.
Kepolisian Polda Kepri meminta masyarakat tidak terprovokasi atas “isu miring dan berita bohong (Hoax)” dalam pelaksanaan pengamanan pengukuran dan pemasangan patok tata batas di kawasan Rempang Eco-City.
Hal ini seiring beredarnya informasi terkait tindakan represif tim gabungan yang terdiri dari TNI-Polri, Ditpam BP Batam, dan Satpol PP terhadap masyarakat serta beredarnya informasi dan pemberitaan perihal bayi yang dikabarkan meninggal dunia saat bentrok di Rempang-Galang.
“Peristiwa yang sebenarnya terjadi tidak demikian,” kata Kabidhumas Polda Kepri Kombes. Pol. Zahwani Pandra Arsyad pada wartawan, Jumat (08/09).
Kabidhumas Polda Kepri menjelaskan masyarakat yang mengatasnamakan warga Rempang terlebih dulu melemparkan batu dan botol kaca ke arah personel keamanan dan memblokade jalan yang akan memasuki wilayah Jembatan 4 Barelang.
“Sat Reskrim Polresta Barelang saat ini telah mengamankan 8 (delapan) orang laki-laki yang diduga melakukan perlawanan terhadap petugas,” kata Arsyad. Mereka disangkakan melawan petugas yang sedang bertugas, dan membawa senjata tajam.
Zahwani Pandra Arsyad juga memberikan klarifikasi terkait informasi yang beredar tentang seorang bayi yang dikabarkan meninggal dunia selama bentrokan antara warga Rempang dan aparat keamanan.
“Informasi tersebut adalah palsu (hoax),” katanya sambil berharap klarifikasi ini akan membantu menghentikan penyebaran informasi palsu yang dapat memicu ketegangan di masyarakat.
Selain itu, Pandra Arsyad juga mengklaim peristiwa saat gas air mata masuk ke dalam sekolah selama terjadinya kericuhan di kawasan Rempang Eco-City, Kecamatan Galang, Kota Batam.
“Gas air mata yang digunakan untuk mengendalikan situasi selama kericuhan terbawa angin dan masuk ke area sekolah. Pada saat kejadian tersebut, beberapa kelas di sekolah tersebut masih terdapat murid dan guru,” katanya.
Seluruh pasien yang terpengaruh gas air mata sebanyak 11 orang, terdiri dari 1 orang guru SMP dan 10 murid SMP. “Yang mana saat ini semua korban sudah kembali ke rumah masing-masing,” kata Pandra Arsyad.
Bagaimana kronologi bentrokan?
Kejadian bermula ketika beredar kabar di antara warga Rempang pada Rabu 6 September 2023 bahwa Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam (BP Batam) beserta pihak berwenang akan memaksa masuk ke Rempang untuk melakukan pengukuran.
Berdasarkan kabar tersebut, pada Kamis (07/09) pagi warga berkumpul di Jembatan 4 Barelang.
Sekitar pukul 09:51 WIB, warga melihat ratusan aparat gabungan yang terdiri dari Satpol PP, Polisi, TNI, dan Ditpam Batam membentuk barisan di depan jembatan.
Aparat gabungan kemudian bergerak ke arah warga yang berdiri di ujung jembatan. Kapolresta Balerang Kombes Pol Nugroho dengan pengeras suara meminta warga untuk mundur.
“Kami imbau kepada warga jangan melawan petugas, karena itu melanggar hukum, sekarang dorong maju jalan," kata Nugroho.
Siapa saja korban bentrokan?
Ketika aparat mulai merangsek masuk ke kampung, terjadi lemparan batu dari arah warga. Aparat membalasnya dengan menyiramkan air dan menembakkan gas air mata.
Gas air mata dilaporkan masuk ke kawasan sekolah, yaitu SMP 33 Galang dan SD 24 Galang.
"Ketika di sekolah, warga dan guru meminta tidak ada penembakan gas air mata karena ada anak SD. Tiba-tiba [asap gas air mata] sudah sampai di atap sekolah," kata Hendrik, salah seorang warga yang menyaksikan kejadian itu.
Para guru dan murid di sekolah lari terbirit-birit ke luar sekolah, beberapa dari mereka lari ke atas bukit.
Warga lainnya, Rohimah, mengatakan ada 11 siswa yang dilarikan ke rumah sakit.
Dalam keterangan terbaru kepolisian, seluruh civitas sekolah yang terdampak gas air mata sudah kembali ke rumah masing-masing.
Apa kata BP Batam?
Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Walhi Parid Ridwanuddin mengatakan setidaknya enam warga telah ditangkap dan ditahan oleh polisi.
BP Batam, dalam siaran pers pada hari Kamis, meminta agar warga tidak terprovokasi.
Kepala Biro Humas Promosi dan Protokol BP Batam, Ariastuty Sirait, menyebut beberapa warga yang ditangkap pihak kepolisian sebagai “oknum provokator”.
“Beberapa di antaranya bahkan didapati membawa parang dan sudah berhasil diamankan," ujarnya.
Dia mengatakan BP Batam sudah melakukan sosialisasi kepada masyarakat terkait rencana pengukuran lahan tersebut.
Apa kata kepolisian?
Kabid Humas Polda Kepri Kombes Zahwani Pandra Arsyad mengatakan dalam wawancara dengan Kompas TV bahwa tindakan aparat gabungan di Rempang adalah upaya “penertiban” terhadap sebagian masyarakat yang menduduki di jembatan yang seharusnya menjadi tempat umum serta “membahayakan situasi Kamtibnas”.
“Apa yang kami lakukan ini supaya aktivitas bisa [kembali] seperti sedia kala,” kata Arsyad.
Arsyad mengatakan sudah dilakukan sosialisasi mengenai proyek strategis nasional ini kepada warga di Pulau Rempang sejak bulan Juli.
Terakhir, katanya, otorita Batam mengadakan “musyawarah mufakat” dengan masyarakat.
Kapolri Listyo Sigit dalam jumpa pers di Jakarta membela tindakan polisi di Rempang, juga menyebutnya sebagai upaya penertiban.
Namun, ujarnya, upaya penyelesaian dengan musyawarah mufakat “tentunya menjadi prioritas”.
Tetapi kembali disebutkan Darmawi Wardhana Zalik Aris, menyebut bentrokan itu sebagai insiden terbaru di mana negara menggunakan aparat untuk mengintimidasi masyarakat demi menggolkan proyek strategis nasional.
Menurutnya, perencanaan Rempang Eco-City sejak awal tidak partisipatif sekaligus abai pada suara masyarakat adat di 16 Kampung Melayu Tua di Pulau Rempang yang sudah tinggal di wilayah tersebut sejak tahun 1834.
Orasi penolakan pembangunan proyek strategis nasional bernama Rempang Eco City
“Jadi wajar masyarakat di lokasi tersebut menolak rencana pembangunan ini. BP Batam, Menko Ekuin, Kepala BKPM, dan Kementerian/Lembaga yang terlibat dalam proses ini merumuskan program tanpa persetujuan masyarakat,” kata Darmawi Wardhana dalam keterangan tertulis.
Lebih jauh, Ia mengatakan tindakan BP Batam, polisi, dan TNI di Pulau Rempang telah melanggar konstitusi Republik Indonesia yang mengamanatkan negara untuk melindungi segenap warga negara Indonesia.
“Apa yang yang dilakukan tim gabungan keamanan ini bukan untuk Indonesia, bukan untuk melindungi, dan mengayomi masyarakat adat."
"Tindakan tersebut hanya sekedar membela investasi yang akan menggusur masyarakat adat,” ujarnya.
Imbas proyek strategis nasional, sebutnya, warga di Pulau Rempang rencananya akan direlokasi ke Dapur Tiga, Sijantung, Pulau Galang. Warga dijanjikan hunian baru serta biaya hidup selama relokasi.
Perwakilan warga mengatakan mereka tidak menolak pembangunan, namun menolak relokasi.
Komunitas adat di Rempang mengklaim telah berada di sana sejak tahun 1834. Mereka juga mengatakan telah mengajukan legalitas tanah kepada pemerintah namun tidak kunjung diberikan. (*)
Tags : kampung adat, rempang galang, kepri, kampung adat terancam tergusur, pembangunan proyek strategis nasional, rempang eco city,