Headline Bisnis   2024/04/29 8:2 WIB

17 Bandara Berstatus Internasional Dicabut, 'karena Sepi dan Menggerus Devisa Negara'

17 Bandara Berstatus Internasional Dicabut, 'karena Sepi dan Menggerus Devisa Negara'

JAKARTA - Pencabutan 17 bandara di Indonesia dari kategori internasional ke domestik disebut pengamat memperlihatkan ketidakseriusan Kementerian Perhubungan, operator, dan pemerintah daerah dalam mengembangkan pasar pariwisata.

Semestinya pihak pengelola operator dan pemerintah daerah bisa lebih kreatif untuk mencari cara agar menarik wisatawan atau pelaku penerbangan asing untuk singgah.

Bukan pasrah hingga akhirnya sepi peminat dan menyatakan rugi, kata pakar penerbangan, Ruth Hana Simatupang.

Di sisi lain, juru bicara Kementerian Perhubungan, Adita Irawati, menyebut penurunan status belasan bandara ini ditujukan untuk dapat mendorong sektor penerbangan nasional yang sempat terpuruk saat pandemi Covid 19.

Dia berkata, beberapa bandara internasional hanya melayani penerbangan jarak dekat dari/ke satu atau dua negara saja.

Adapun bandara internasional lainnya hanya beberapa kali melakukan penerbangan internasional, bahkan ada yang sama sekali tidak memiliki pelayanan penerbangan internasional.

Dua kriteria bandara yang terakhir ini, sambungnya, menyebabkan operasional menjadi tidak efektif dan efisien dalam pemanfaatannya.

Namun demikian, Pj Gubernur Kalimantan Barat, Harisson, mengaku kecewa dengan keputusan Kemenhub yang menurunkan status Bandara Supadio di Pontianak karena alasan "menggerus devisa negara lantaran banyaknya masyarakat yang pergi ke luar negeri".

Lalu seperti apa respons masyarakat atas kebijakan itu? Apa alasan pemerintah mencabut status bandara internasional?

Pencabutan status 17 bandara dari kategori internasional ke domestik sebetulnya kelanjutan dari wacana pemerintah - khususnya Kementerian BUMN - pada tahun 2023 yang hendak memangkas jumlah bandara internasional di seluruh Indonesia.

Dari yang jumlahnya 34 menjadi 15.

Pemangkasan itu dilakukan untuk meningkatkan gairah pariwisata, terutama mendorong masyarakat berlibur di dalam negeri.

Sejak itu, Kementerian Perhubungan melakukan evaluasi besar-besaran terhadap 34 bandara internasional yang dianggap beroperasi kurang optimal.

Hasilnya adalah Kemenhub mencabut status 17 bandara dari kategori internasional ke domestik lewat Keputusan Menteri nomor 31 tahun 2024 tentang penetapan bandar udara internasional pada tanggal 2 April 2024.

Namun Juru bicara Kemenhub, Adita Irawati, menyebut penetapan ini secara umum adalah untuk dapat mendorong sektor penerbangan nasional yang sempat terpuruk saat pandemi Covid-19.

Kata dia, beberapa bandara internasional yang ada hanya melayani penerbangan jarak dekat dari/ke satu atau dua negara saja.

Bandara internasional lainnya hanya beberapa kali melakukan penerbangan internasional, bahkan ada yang sama sekali tidak memiliki pelayanan penerbangan internasional.

Dua kriteria bandara yang terakhir, klaimnya, menyebabkan operasional menjadi tidak efektif dan efisien dalam pemanfaatannya

Dalam praktik penyelenggaraan bandara internasional di dunia, sambung Adita, beberapa negara juga melakukan penyesuaian jumlah bandara internasionalnya.

Dia mencontohkan India. Dengan jumlah penduduk 1,42 miliar hanya memiliki 18 bandara internasional.

Sedangkan AS dengan penduduk 399,9 juta mengelola 18 bandara internasional.

"Keputusan Menteri 31 ini dikeluarkan dengan tujuan untuk melindungi penerbangan internasional pasca pandemi dengan menjadikan bandara sebagai hub [pengumpan] internasional di negara sendiri," ucapnya lewat pernyataan tertulis, Jumat (24/04).

"Selama ini sebagian besar bandara internasional hanya melayani penerbangan internasional ke beberapa negara tertentu saja dan bukan merupakan penerbangan jarak jauh, sehingga hub internasional justru dinikmati oleh negara lain," lanjutnya.

Adapun 17 bandara yang ditetapkan sebagai Bandara Internasional antara lain:

  1. Bandara Sultan Iskandar Muda, Aceh Besar, Aceh
  2. Bandara Kualanamu, Deli Serdang, Sumatra Utara
  3. Bandara Minangkabau, Padang Pariaman, Sumatra Barat
  4. Bandara Sultan Syarif Kasim II, Pekanbaru, Riau
  5. Bandara Hang Nadim, Banten, Kepulauan Riau
  6. Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten
  7. Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, DKI Jakarta
  8. Bandara Kertajati, Majalengka, Jawa Barat
  9. Bandara Kulonprogo, Kulonprogo, Daerah Istimewa Yogyakarta
  10. Bandara Juanda, Sidoarjo, Jawa Timur
  11. Bandara I Gusti Ngurah Rai, Badung, Bali
  12. Bandara Zainuddin Abdul Madjid, Lombok Tengah, NTB
  13. Bandara Sultan Aji Muhammad Sulaiman, Balikpapan, Kalimantan Timur
  14. Bandara Sultan Hasanuddin, Maros, Sulawesi Selatan
  15. Bandara Sam Ratulangi, Manado, Sulawesi Utara
  16. Bandara Sentani, Jayapura, Papua
  17. Bandara Komodo, Labuan Bajo, NTT

Demi menyelamatkan devisa negara?

Salah satu bandara yang dicabut status internasional adalah Bandara Supadio di Pontianak, Kalimantan Barat.

Bandar udara yang dibangun awal tahun 1940-an ini memiliki rute internasional dengan tujuan antara lain Kuching, Kuala Lumpur, Singapura.

Pj Gubernur Kalimantan Barat, Horisson, mengaku kecewa dengan keputusan Kemenhub. Meskipun dia mengaku memahami dasar penetapan tersebut bahwa kunjungan masyarakat lokal ke luar negeri lebih banyak daripada wisatawan mancenegara ke Kalimantan Barat melalui bandara internasional.

"Salah satu alasan yang dikemukakan bahwa dengan banyaknya bandara internasional di tanah air, justru mempermudah masyarakat kita yang ke luar negeri, lalu jalan-jalan ke luar negeri, belanja di luar negeri, menghabiskan devisa negara kita," tutur Horisson seperti dilansir Antara, Jumat (26/04).

"Intinya ternyata rugi kalau banyak bandara internasional, justru devisa kita tergerus."

Beberapa warga Pontianak juga mengaku jengkel dengan keputusan Kemenhub.

Yansyah Kurnia (47) berkata, bolak-balik ke Malaysia untuk berobat. Pasalnya negara dinilai sudah tidak mampu menyediakan fasilitasi kesehatan yang mumpuni dan berperspektif pelayanan.

Dengan menghentikan penerbangan internasional, ia merasa pemerintah malah mempersulit warganya.

"Alasan yang sangat tidak empati. Coba kalkulasikan berapa orang yang pergi berobat, berapa yang untuk wisata," ungkap Yansyah.

Nova Sari (38) termasuk yang rajin pergi ke Malaysia untuk keperluan kesehatan anak dan ibunya.

Ia bercerita, obat yang diberikan dokter di Indonesia tak kunjung memberikan kesembuhan. Karenanya dia menabung sebagian pendapatannya untuk berobat ke sana.

"Tapi setelah tidak adanya pesawat langsung ke Malaysia, [ongkos] transport lebih mahal lewat jalan darat," katanya sembari menambahkan kini dia harus menggunakan transportasi darat jika hendak ke Malaysia.

Nova menyebut sebelumnya harga tiket pesawat ke Malaysia dari Pontianak berkisar Rp500.000 per orang.

Namun sekarang hanya bisa dengan menyewa mobil atau bus umum. Itu pun harus berdesakan lantaran mengantre di Pos Perbatasan Lintas Batas Negara Entikong.

"Biaya membengkak dua kali lipat karena uang makan di perjalanan dan hal-hal tak terduga lainnya," tambahnya.

Mengapa bandara internasional sepi peminat?

Pakar penerbangan, Ruth Hana Simatupang menjelaskan penetapan status sebuah bandara internasional mulanya diajukan oleh pemerintah daerah.

Harapannya agar daerah mereka dikunjungi turis mancanegara dan pada akhirnya bisa mendatangkan pendapatan daerah.

Tapi, menurut dia, harapan saja tidak cukup.

Pemerintah daerah harus bisa menunjukkan kepada pelancong mancanegara bahwa daerahnya punya objek wisata yang menarik.

"Karena sebetulnya minat orang berpergian itu tinggi. Tapi kalau tidak ada objek [menarik] untuk apa? Orang Indonesia sendiri malas kalau tidak ada apa-apa, kalau tidak untuk keperluan bisnis atau pulang kampung."

"Kenapa ke Bali bisa tiap jam ada, karena ada yang dilihat."

Tugas selanjutnya adalah membangun infrastruktur.

Sedangkan dari pihak pengelola bandara atau operator, katanya, harus memberikan insentif-insentif yang menarik agar maskapai asing mau singgah.

Insentifnya bisa berupa memberikan diskon ongkos parkir pesawat atau fasilitas bandara lainnya. Dan yang terpenting jangan ada pungutan liar.

"Contoh Batam, dulu lesu dipegang operator yang tidak usah saya sebut namanya. Kemudian diadakan bidding untuk mengubah, membangun dan mengembangkan [bandara]. Akhirnya meningkat penerbangannya."

"Operatornya berhasil mengundang maskapai asing untuk datang ke Batam, kenapa bisa begitu? Karena operator dulu merugi? Artinya ada yang ditawarkan kepada maskapai asing untuk kemudahan-kemudahan."

Ruth berkata tanpa itu semua maka mustahil bisa mendatangkan pengunjung apalagi menumbuhkan pasar pariwisata.

Padahal biaya operasional untuk kelas bandara internasional tidak murah.

Musababnya, meskipun tidak ada maskapai asing yang datang, fasilitas-fasilitas yang ditersedia di bandara harus dirawat dan itu membutuhkan anggaran.

"Misalnya operasional untuk pengadaan gate [gerbang] internasional tetap harus diadakan, kantor imigrasi, karantina, kepolisian, dan sebagainya. Itu harus tetap ada."

"Itu yang dianggap merugikan, makanya akhirnya diturunkan [statusnya]."

Sayangnya, kata Ruth, pengajuan status bandara internasional oleh kepala daerah rata-rata dilandasi oleh motif politik yaitu sebagai warisan kepemimpinannya.

"Untuk gengsi doang, dia [kepala daerah] enggak melihat, enggak memperhitungkan bahwa itu bandara harus ada penumpangnya."

Ironisnya, Kementerian Perhubungan tidak mengkaji dengan benar pengajuan oleh kepala daerah tersebut. "Hanya libido membangun saja yang besar, giliran me-manage [kesulitan]," tambah Ruth.

Apakah mencabut status bandara internasional tepat?

Ruth menyayangkan keputusan Kemenhub mencabut status belasan bandara internasional di Indonesia.

Karena setiap tahun Kemenhub punya pekerjaan mengevaluasi seluruh bandara.

Dari evaluasi itu, sebetulnya bisa dilihat bagaimana kinerja operator atau pengelola bandara internasional sejauhmana berhasil mendatangkan maskapai asing.

Begitu pula pemda, Kemenhub bisa menagih janji mereka untuk menghidupkan pariwisata di daerahnya lewat promosi wisata.

Kalau dari evaluasi tersebut dianggap "tidak ada pergerakan" bisa "dipecut".

"Harusnya dalam satu atau dua tahun itu dikasih ultimatum, apa usulan direktorat kebandarudaraan untuk memperbaiki situasi ini?"

"Bukan pasrah, karena operasionalnya berdarah-darah."

Pengamat penerbangan yang juga Direktur Aviatory Indonesia, Ziva Narendra, sependapat.

Dia menilai pihak pengelola bandara harusnya lebih kreatif dalam mencari cara agar bisa menarik para wisatawan atau pelaku penerbangan.

Salah satu caranya, memberikan insentif terhadap maskapai penerbangan.

Ia mencontohkan Bandara Supadio yang disebutnya memiliki kekuatan strategis yang sudah terbukti selama puluhan tahun - tidak terkecuali dari kacamata bisnis.

"Bila bandara internasional di Kalimantan hanya menyisakan Banjarmasin dan Balikpapan, hal ini justru menurut saya akan menurunkan gairah konsumen," ujarnya.

"Apalagi dengan harga tiket penerbangan domestik yang bisa dibilang cukup tinggi bila dibandingkan dengan beberapa penerbangan ke luar negeri khususnya Singapura dan Malaysia."

"Jadi kuncinya ada di kreativitas dalam kolaborasi antarsektor untuk bisa membangkitkan gairah konsumen khususnya dalam mendatangkan wisatawan (inbound travelers)."

Apakah pencabutan status bandara internasional bisa menggenjot pariwisata dalam negeri?

Ruth Hana dan Ziva Narendra ragu hal itu bakal terwujud.

Konsumen, menurut Ziva, memiliki kebebasan dalam memilih rencana perjalanan dan akan selalu melihat opsi-opsi yang menarik sesuai dengan bujet dan kebutuhan mereka.

Sementara itu, penyebab mengapa banyak warga lokal lebih memilih berlibur ke luar negeri ketimbang di dalam negeri, kata Ruth, lantaran harga tiketnya lebih murah.

"Saya ke Samarinda sekali terbang Rp1,3 sampai Rp1,6 juta, ke Singapura atau Thailand cuma Rp1 juta bagaimana dong? Ya sudah jalan-jalan saja ke Thailand."

Pengamatannya kalau berpatokan pada maskapai penerbangan bertarif rendah (LCC) sebetulnya harga tiket di dalam negeri bisa setara dengan harga yang diberlakukan AirAsia di Malaysia.

Kisarannya untuk Jakarta ke Samarinda misalnya, tidak akan sampai Rp1 juta, kata Ruth.

"Tapi ya begitulah, bisa karena maskapainya mungkin banyak tekanan."

Untuk diketahui, komponen untuk menentukan harga tiket pesawat terdiri dari biaya langsung tetap dan biaya langsung varibel.

Biaya langsung di antaranya: sewa pesawat, asuransi, gaji kru dan teknisi.

Biaya langsung variabel: bahan bakar/avtur, pemeliharaan, jasa kebandarudaraan, jasa pelayanan navigasi, dan pemasaran/penjualan.

Pendapat dari pengamat penerbangan ini dikuatkan pernyataan seorang warga Pontianak, Yuliana (24). Ia mengaku lebih sering berlibur ke luar negeri yaitu Malaysia ketimbang di dalam negeri.

Alasannya karena harga tiket lebih murah. Dia membandingkan harga tiket yang dua kali lipat lebih mahal di dalam negeri dibandingkan luar negeri.

"Kalau [hari-hari] liburan bisa mahal dari harga biasanya. Makanya saya lebih suka jalan-jalan keluar negeri," ucapnya.

Itu mengapa dia kecewa status Bandara Supadio diturunkan menjadi domestik.

"Sekarang akses buat ke Kuala Lumpur sudah susah, nggak kayak dulu, tinggal pesan tiket pesawat langsung ke Kuala Lumpur. Sekarang harus ke Sarawak dulu atau ke Jakarta baru bisa ke KL. Lebih repot. Sudah pasti merasa dirugikan," katanya.

Tapi meski begitu, dia berkata akan tetap pergi liburan ke luar negeri walaupun harus kerja lebih keras untuk mengumpulkan uang.

Di Kalimantan, hanya Bandara Sultan Aji Muhammad Sulaiman di Balikpapan yang berstatus internasional. (*)

Tags : Pesawat, Bisnis, Pariwisata, Ekonomi, Perjalanan, Transportasi, Indonesia,