LINGKUNGAN - Data resmi dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sudah mencatat ada 185 bencana di Indonesia. Dari jumlah tersebut kebanyakan adalah bencana banjir, yakni 127 kejadian, diikuti dengan 30 bencana longsor.
Serangkaian bencana di awal tahun 2021 menyebabkan 166 orang meninggal dunia, lebih dari 1.200 mengalami luka-luka dan mereka yang "menderita dan mengungsi" mencapai lebih dari 1,3 juta orang, External Link: Twitter BNPB, Kamis (21/01). Jika dibandingkan dengan periode yang sama pada Januari 2020, BNPB mencatat ada 297 bencana saat itu, termasuk banjir di kawasan Jakarta dan sekitarnya, serta longsor di sejumlah daerah lain.
Bencana awal tahun ini lebih banyak merengut nyawa dibandingkan sejumlah bencana di Januari 2020 yang menewaskan 91 orang. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memperingatkan masyarakat untuk meningkatkan kewaspadaan adanya "multi risiko" bencana yang akan meningkat hingga Maret mendatang. BMKG mengatakan faktor cuaca dan iklim, termasuk puncak musim hujan, akan memasuki puncaknya di bulan Januari dan Februari. "Sampai Maret masih ada potensi multirisiko, tapi untuk hidrometeorologi puncaknya pada Januari-Februari ... potensi kegempaan juga meningkat, mohon kewaspadaan masyarakat," kata kepala BMKG Dwikorita Karnawati dalam konferensi pers online..
Indonesia berada di Cincin Api Pasifik, tempat lempeng tektonik sering bertabrakan, sehingga banyak menyebabkan aktivitas gunung berapi dan gempa bumi. Namun sejumlah organisasi dan aktivis lingkungan mengatakan selain faktor cuaca dan iklim, penebangan hutan ikut berkontribusi pada bencana banjir dan longsor. Greenpeace Indonesia, misalnya, jika banjir, longsor, dan kebakaran hutan banyak terjadi dalam beberapa tahun terakhir terutama di kawasan yang kondisi hutannya sudah kritis. "Bencana-bencana ini berkaitan erat dengan akumulasi kerusakan hutan yang berdampak pada perubahan iklim," ujar Arie Rompas, ketua tim kampanye hutan dari Greenpeace Indonesia seperti dilris ABC Indonesia.
"Daya dukung dan daya tampung lingkungan terpengaruh, sehingga mengakibatkan ekosistem terganggu dan berdampak pada bencana banjir, tanah longsor, kekeringan dan kebakaran hutan."
Aida Greenbury, juru kampanye dan penasihat 'zero deforestation' asal Indonesia yang berbasis di Sydney, mengatakan banjir di Indonesia menjadi sering terjadi dalam 30 tahun terakhir, termasuk di pulau Kalimantan, karena lahan dan hutan diubah menjadi tambang atau perkebunan kelapa sawit. "Salah satu penyebab emisi tinggi yang kita alami saat ini adalah karena deforestation [penebangan hutan]," kata Aida.
Data Global Forest Watch menunjukkan Indonesia kehilangan 324.000 hektar hutan primer, setara dengan 187 megaton emisi karbon dioksida pada 2019. Data tersebut juga menyebutkan total lahan hutan primer yang hilang di Indonesia sebanyak 9,4 juta hektar dalam periode 2001 hingga 2019. Aida mengatakan salah satu yang meningkatkan risiko banjir adalah konversi lahan gambut menjadi lahan pertambangan dan ladang minyak sawit. "Lahan gambut memiliki fungsi hidrologi yang sangat penting dalam menyerap kelembapan dan hujan," ujarnya.
"Jika lahan gambut menjadi kering dan kehilangan kemampuannya menyerap air, maka akan menjadi genangan permanen."
"Longsor pada dasarnya disebabkan oleh erosi, tanah yang tidak kuat, pastinya karena tutupan dan fungsi lahannya sudah berubah."
Ratna Dewi Sartika, akrab dipanggil Tika, lahir dan besar di Banjarmasin dan kini tinggal di Banjarbaru, Kalimantan Selatan. "Sepanjang hidup saya, ini merupakan banjir paling parah yang pernah terjadi," ujarnya.
Ia mengatakan di beberapa tempat ketinggian air sempat mencapai tiga meter dan membuat banyak warga terendam dan terperangkap di rumahnya. Ketika banjir mulai menggenangi kota Banjarbaru pada 12 Januari lalu, Tika ikut turun menangani ratusan pengungsi. Lebih dari 200 orang korban banjir sekarang ditampung di UPT Balai Besar Pendidikan Pelatihan Kesejahteraan Sosial (BBPPKS) Kementerian Sosial RI Banjarmasin yang berlokasi di Banjarbaru. Tika menjelaskan, semua pengungsi ditempatkan di tempat tersebut yang memiliki "fasilitas lengkap", termasuk pengatur suhu udara di setiap kamar. "Mereka juga menjalani tes COVID-19 yang hasilnya masih kami tunggu sampai saat ini," katanya.
Aida mengakui cuaca dan iklim memang menjadi penyebab bencana, tapi menurutnya bencana banjir dan tanah longsor "disebabkan oleh perbuatan kita sendiri". "Jika kita tidak menghentikan penebangan hutan, tentunya perubahan iklim akan semakin buruk ... cuaca menjadi tidak dapat diprediksi. Dan tentunya banjir semakin sering muncul," ujarnya.
Ia menegaskan serangkaian bencana, terutama banjir dan tanah longsor, harus menjadi "peringatan", khususnya bagi Pemerintah Indonesia. "Mereka harus melihat tahun ini sebagai peringatan untuk meninjau kembali kebijakan mereka, berhenti mengeluarkan izin penebangan dan konversi [dan] membiarkan orang melakukan penebangan," katanya. "Semua area penambangan yang sudah tidak digunakan perlu ditanam kembali."
Pada tahun 2014, pemerintahan Presiden Joko Widodo telah berjanji untuk mengembalikan 11,7 juta hektar hutan kepada masyarakat pedesaan dalam lima tahun, salah satu tujuannya adalah mengurangi emisi karbon dengan menahan jumlah penebangan pohon. Tapi proyek tersebut terunda, dengan target tahun lalu untuk mengembalikan 500.000 hektar terpaksa dikurangi setengahnya.
Pemerintah mengatakan pandemi COVID-19 menjadi alasannya. Ridwan Alimuddin sedang tur bersepeda ke Tapango, Kabupaten Polewali dan tidak merasakan apa-apa ketika gempa bumi terjadi di Sulawesi Barat beberapa waktu lalu. "Pas saya lihat orang berlarian, saya pun berhenti dan mencari tempat yang jauh dari bangunan," ujar Ridwan.
"Sesaat kemudian, gempa terasa lagi. Getarannya, sebagai pembanding, saya lihat pagar besi bergoyang-goyang," katanya yang saat itu berada di garis episentrum gempa, 40 kilometer ke arah Malunda.
"Saya langsung telepon isteri saya yang bersama sepupunya sedang naik mobil ke Majene. Mereka bersama anak-anak saya yang sudah menangis semua saat itu," tutur Ridwan.
Berbekal pengalamannya menangani bantuan untuk korban bencana sebelumnya, Ridwan melakukan koordinasi dengan sejumlah pihak, termasuk relawan Armada Pustaka Mandar serta Rintara Jaya Sulbar untuk mengordinasikan bantuan bagi korban gempa. "Di Malunda kami membuat posko informasi, untuk menjembatani komunikasi dengan lokasi pengungsi yang tersebar," katanya.
Ridwan menyebut respon pemerintah setempat tidak maksimal dan tampaknya lebih fokus di Mamuju, ibukota propinsi Sulawesi Barat. Sebagai dampak kesimpangsiuran informasi, Ridwan menyebut saat itu bantuan belum ada sampai di titik pengungsi di Malunda, Ulu Manda, dan Tubo Sendana, yang berada dekat dengan titik gempa. "Keterlambatan pemerintah itu kelihatan efeknya, banyak pengungsi yang memasang papan penghalang di jalan untuk minta sumbangan," ujar Ridwan.
"Kadang mereka kesal kalau tidak diberi bantuan. Belakangan ada yang rebutan saat ada mobil bantuan berhenti. Ini yang kemudian dinarasikan sebagai penjarahan," tutur Ridwan.
Ridwan berharap bencana kali ini bisa menyadarkan orang mengenai pentingnya mitigasi bencana, termasuk kualitas pembangunan rumah warga dan perkantoran, karena Sulawesi Barat merupakan daerah rawan gempa. "Kearifan lokal menggunakan rumah panggung sudah mulai ditinggalkan, padahal rumah panggung terbukti ampuh menghadapi gempa," menurutnya.
Sementara itu Arie Rompas dari Greenpeace Indonesia mengatakan Pemerintah Indonesia masih menangani bencana dengan pendekatan "respon reaktif" bukan pencegahan dari sumber penyebabnya. "Itu tidak menjawab persoalan bagaimana manajemen bencana dilakukan pemerintah Indonesia, padahal kita ketahui indonesia ini adalah kepulauan yang memang bencananya sering terjadi, ditambah dengan perubahan iklim, intensitas bencanya akan meningkat," ujarnya. (*)
Tags : Peristiwa Bencana di Indonesia, Bencana Alam 2021, Kerusakan Hutan,