Linkungan   2021/10/11 21:32 WIB

197 Negara Bicarakan Perubahan iklim Melalui COP26

197 Negara Bicarakan Perubahan iklim Melalui COP26

COP26 diselenggarakan di Skotlandia tahun ini dan harapan akan pertemuan tersebut kian tinggi. Tapi apa sebenarnya pertemuan itu, siapa yang akan hadir, dan apa yang akan dipertaruhkan?. Apa itu pertemuan COP26?

Singkatan dari Conference of the Parties atau Pertemuan Para Pihak, COP adalah forum tingkat tinggi tahunan bagi 197 negara untuk membicarakan perubahan iklim dan bagaimana negara-negara di dunia berencana untuk menanggulanginya. Ini adalah bagian dari Konvensi Kerangka Kerja PBB atas Perubahan Iklim - yaitu perjanjian internasional yang ditandatangani setiap negara dan teritori di dunia yang bertujuan membatasi dampak aktivitas manusia atas iklim. 

COP26 menandakan pertemuan ke-26 sejak konvensi PBB itu diberlakukan pada 21 Maret 1994. Tahun ini pertemuan berlangsung di Glasgow - kota terbesar di Skotlandia, Inggris Raya - pada 1-2 November.

Seberapa pentingkah COP26?

Ini akan menjadi pertemuan tingkat tinggi pertama di mana kita akan mengevaluasi kemajuan yang telah dilakukan - begitu pula kegagalannya - sejak Persetujuan Iklim Paris ditandatangani pada 2015.

Perjanjian itu, yang juga dikenal sebagai Paris Accord, pada dasarnya adalah rencana kemanusiaan untuk menghindari bencana iklim. Kesepakatan ini menyatakan bila pemanasan global terus naik melampaui 1,5 derajat celcius di atas suhu yang pernah dialami di era praindustri, maka banyak perubahan di planet ini yang tidak dapat dihindarkan lagi.

Maka rencana yang sudah dibuat harus dilaksanakan dengan sungguh-sungguh, dan untuk itulah fungsinya COP. Seperti halnya sebuah tim dalam suatu pertandingan, setiap pemain ada kalanya harus berkumpul untuk membicarakan taktik dan memastikan semua pemain melaksanakan peran masing-masing. Jadi, saat pertemuan di Paris 2015 - atau COP21 - disusunlah target-target utama bagi kita semua untuk menghindari bencana perubahan iklim.

Semua negara yang terlibat berjanji untuk:

  • Mengurangi gas rumah kaca
  • Meningkatkan produksi energi yang dapat diperbarui
  • Mempertahankan tingkat suhu global agar kenaikannya tidak sampai dua derajat celcius dan kenaikan idealnya maksimal 1,5 derajat celcius
  • Berkomitmen menyisihkan miliaran dolar untuk membantu negara-negara miskin menghadapi dampak perubahan iklim

Kesepakatan Paris itu juga menyetujui bahwa setiap lima tahun harus ada evaluasi atas kemajuan yang telah dibuat. Maka, sebenarnya evaluasi pertama atau COP26 sedianya diselenggarakan pada 2020, namun ditunda jadi tahun ini karena pandemi Covid.
Bagaimana pandemi Covid mengubah rencana?

Wabah yang mendunia ini membawa perubahan besar, karena paling tidak sudah menunda pertemuan COP selama setahun. Namun, ada hikmahnya, yaitu Covid ternyata memunculkan peluang yang tidak diperkirakan sebelumnya untuk berpikir ulang terkait pemulihan ekonomi pasca-pandemi.

Apakah kita memang benar-benar harus sering terbang? Bisakah bekerja tanpa harus datang ke kantor berperan memangkas emisi di jam-jam sibuk? Apakah pandemi ini mengatasi pesatnya laju urbanisasi?

Tidak seperti pendahulunya yang membuat AS menarik diri dari Perjanjian Paris, Presiden Joe Biden menempatkan kebijakan-kebijakan ramah iklim sebagai prioritas utama dalam rencananya memulihkan ekonomi AS dari pandemi. Saat bertemu di COP26, para pemimpin dunia diharapkan membuat target-target baru jangka panjang untuk mengatasi perubahan iklim - dan semuanya itu harus ambisius dan tegas.

Apa yang diharapkan dari COP26?

Pertama-tama, ada banyak isu yang belum terpecahkan dari pertemuan-pertemuan tingkat tinggi sebelumnya, seperti COP25 di Madrid, Spanyol. Anda mungkin masih ingat saat aktivis muda asal Swedia Greta Thunberg menyampaikan pidato yang berapi-api saat itu, memperingatkan para pemimpin dunia bila tetap berpangku tangan dan mengabaikan bukti ilmiah akan bahaya perubahan iklim.

Tapi tetap saja peringatan itu tidak bisa membuat negara-negara peserta pertemuan menyepakati sejumlah isu alot. Contohnya, negara-negara miskin termasuk yang pertama kali merasakan dampak perubahan iklim. Naiknya permukaan laut perlahan-lahan menenggelamkan negara-negara pulau, menyebabkan kekeringan dan gelombang panas yang membuat petani gagal panen. Maka, jelang COP26, lebih dari 100 negara berkembang sudah memaparkan sejumlah tuntutan:

  • Pendanaan (dari negara-negara maju) untuk memerangi maupun menanggulangi perubahan iklim.
  • Kompensasi (lagi-lagi dari negara-negara maju) atas dampak yang akan menimpa mereka, dan
  • Uang (tentunya juga dari kelompok negara maju) untuk membantu mereka menerapkan ekonomi yang lebih ramah lingkungan. 

Kini bayangkan bila Anda termasuk kelompok negara maju. Mereka secara bersama-sama sudah berkomitmen menyediakan $100 miliar setahun mulai 2020 untuk menanggapi tuntutan-tuntutan itu. Tapi sekarang sudah 2021 dan mereka baru bisa menyisihkan $79 miliar, dan sebagian besar berupa utang (yang nanti harus dikembalikan), bukan hibah. 

Topik tersebut - yang disebut sebagai keuangan iklim - bakal menjadi salah satu agenda yang didebatkan. Satu tantangan lain yang muncul adalah bagaimana menemukan cara terbaik untuk menerapkan sistem pasar karbon dan kredit karbon.

Ini adalah mekanisme yang membuat penghasil polusi untuk membayar emisi dan mereka yang menerapkan ekonomi hijau untuk menjual 'kredit karbon'. Terdengar cukup adil, bukan? Tapi bagaimana bila negara-negara maju cuma mau membayar 'lisensi untuk menghasilkan polusi' ketimbang menerapkan perubahan nyata?. Lalu siapa yang memutuskan berapa banyak yang harus dibayar oleh suatu negara atas emisi yang dibuatnya dengan membuka sebidang hutan, misalnya?

Bahkan bila pertemuan di Glasgow nanti berhasil untuk menyepakati semua hal itu, untuk memastikan semua pihak berada pada visi yang sama, maka kita butuh 'jangka waktu bersama' bagi semua target ramah lingkungan yang dibuat. Sayangnya, jangan dikira semua hal itu bakal diatasi secara mudah.  Jadi, COP26 akan menghadapi bukit yang terjal untuk didaki bahkan sebelum bisa mulai membahas hal-hal baru.

Prioritas utama adalah memastikan semua negara untuk berkomitmen mencapai nol emisi pada 2050, dengan pengurangan karbon yang lebih agresif dan pesat pada 2030. Diskusi nanti juga akan mencari solusi-solusi berbasis alam. Artinya, mengandalkan alam itu sendiri untuk mengatasi tantangan-tantangan iklim - seperti penyerapan karbon atau menanam semak dan pohon untuk melindungi dari kejadian cuaca ekstrem seperti banjir atau badai pasir.

Sejumlah inisiatif juga diperkirakan akan dibuat untuk mengatasi tantangan-tantangan yang spesifik seperti menghapus penggunaan batu bara dan menjaga ekosistem. Greta Thunberg tidak diharapkan hadir lagi di KTT nanti, namun Paus Fransiskus konon kabarnya mempertimbangkan untuk hadir di sesi khusus. Akan ada banyak hal untuk disimak. Jadi, pantau terus. (*)

Tags : Inggris raya, Perubahan iklim, Lingkungan,