Blok Rokan merupakan tempat produksi minyak dan gas bumi terbesar bertujuan untuk pemenuhan kebutuhan energi nasional.
PEKANBARU, RIAUPAGI.COM - Sejak 9 Agustus, pengelolaan Blok Rokan di Provinsi Riau beralih alih kelola ke PT Pertamina Hulu Rokan [PHR] yang berada di Provinsi Riau dengan wilayah kerja lima kabupaten yaitu Rokan Hulu, Rokan Hilir, Bengkalis, Siak, dan Kampar dan dua kota yaitu Pekanbaru dan Dumai.
"Ada sudah 20 tahun eksploitasi minyak dan gas [Migas] PHR beroperasi di Riau, tapi memang belum bermanfaat secara langsung pada warga Rohil," kata Ketua Umum Nasional Independen Pembawa Suara Transparansi [INPEST], Ir Ganda Mora SH M.Si dalam bincang-bincangnya itu, tadi Sabtu (3/8/2024).
Menurutnya, PHR sendiri didirikan pada 20 Desember 2018, merupakan perusahaan yang bertindak sebagai operator dalam pengelolaan Wilayah Kerja [WK] Rokan selama 20 tahun, mulai dari 9 Agustus 2021 sampai 8 Agustus 2041.
PHR juga menjalankan tugas dari Subholding Upstream Pertamina untuk mengelola bisnis dan operasional kegiatan hulu migas di Regional satu sampai Sumatera.
"Mereka memiliki luasan wilayah kerja mencapai 6.264 KM2, Blok Rokan memiliki 80 lapangan produksi dengan jumlah sumur mencapai 12.000 lebih."
"PHR itu salah satu produsen minyak dan gas utama di Indonesia berkontribusi dalam pemenuhan energi nasional. Yang pelaksanaan tugasnya memiliki spirit yang direspresentasikan dari nama salah satu pulau di Indonesia yaitu Sumatera. Artinya menjalankan sistim SUstainable, MAssive, To grow, Efficient, Resilient, dan Aggressive," terangnya.
Jadi memang, PHR telah beroperasi mengeksploitasi minyak dan gas bumi di lima daerah di Riau itu sudah lebih dari 20 tahun namun hingga detik ini, masyarakat belum pernah merasakan manfaat secara langsung terutama persoalan Participating Interest [PI] 10 persen pada Wilayah Kerja [WK] nya.
Lihatlah seperti disebutkan Ketua Dewan Pembina Cabang Federasi Pertambangan dan Energi Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia [DPC FPE KSBSI] yang masih menilai buruknya kesejahteraan pekerja migas di Blok Rokan sejak dikelola oleh PT Pertamina Hulu Rokan [PHR].
"Ini soal gaji buruh. Kenaikan gaji buruh tiap tahunnya tak sampai untuk membiayai MCU dan treadmill. Ini tak manusiawi dan tidak adil," kata Ketua DPC FPE-KSBSI Kota Pekanbaru, Santoso didampingi Ketua DPC FPE-KSBSI Kabupaten Siak, Swandi Hutasoit saat sesi pertemuan rapat di Kantor Disnaker Provinsi Riau, Senin 29 Juli 2024 yang juga dihadiri pihak perwakilan PT PHR dan sejumlah pejabat Disnaker Riau serta Majelis Pertimbangan Organisasi [MPO] KSBSI, Patar Sitanggang.
Serikat buruh migas ini merasakan kemerosotan yang nyata terhadap kemaslahatan pekerja, terutama dialami langsung oleh buruh kontrak yang dipekerjakan oleh vendor [perusahaan alih daya] yang menjadi mitra kerja PHR.
Santoso juga mengaku, masyarakat Rohil umumnya belum pernah merasakan manfaat secara langsung dari pengelolaan migas itu.
"Terutama persoalan Participating Interest [PI] 10 persen pada Wilayah Kerja nya. Pemerintah dan masyarakat Rohil yang di dalam Wilayah Administratifnya terdapat Wilayah Kerja [WK] PHR, belum menerima manfaat secara langsung hasil eksploitasi migas yang telah beroperasi kurang lebih selama 20 tahun itu, tetapi mereka [PHR] sudah menikmati keuntungan besar, sementara masyarakat Rohil terdampak langsung dari kegiatan operasi migas seperti peristiwa bocornya pipa migas yang menggenangi rumah penduduk.
Sementara itu, Pemerintah Provinsi Riau dan Pemerintah Kabupaten Rohil, telah berusaha mendapatkan hak pengelolaan PI 10 persen.
Adapun persoalan yang dialami pekerja yakni terjadinya pembebanan biaya tindak lanjut pemeriksaan kesehatan [MCU] dan treadmill kepada pekerja, bukan ditanggung oleh perusahaan.
Biaya yang harus ditanggung buruh untuk MCU itu angkanya di atas Rp 1 juta lebih.
Temuan lain yang diungkap adalah tidak dibayarnya uang kehadiran oleh perusahaan alih daya.
Selain itu, sejumlah perusahaan alih daya [vendor PHR] juga tidak membayar uang cuti kepada pekerjanya.
"Ada perusahaan yang tidak membayar uang kehadiran dan uang cuti. Ini sangat ironi," kata Santoso.
"Kasus-kasus seperti ini banyak terjadi di perusahaan vendor di lingkungan PT Pertamina Hulu Rokan. Data yang kami miliki hanya bersifat sampel," terang Santoso.
Menurutnya, beban hidup yang dialami buruh kontrak migas di Blok Rokan sangat tinggi. Apalagi, mereka hanya menerima gaji sesuai besaran Upah Minimum Kabupaten/ Kota [UMK], sejak upah minimum sektoral migas dihapuskan.
Dalam kondisi itu, sejumlah buruh kontrak migas terpaksa harus nyambi pekerjaan sampingan lain, yang menimbulkan dampak terhadap kesehatan dan daya tahan tubuh mereka.
"Padahal, industri migas katanya merupakan industri strategis vital yang menyumbangkan pendapatan besar untuk negara. Tetapi kehidupan buruh migas jauh dari kata sejahtera alias terpuruk," kata Santoso.
Tetapi kembali disebutkan Ganda Mora lagi, PI sudah amanah Undang-undang melalui Kementerian ESDM dan SKK Migas supaya proses pengalihan PI 10 persen di WK Blok Rokan dapat segera terlaksana dan tersalurkan ke daerah penghasil tentu dimanfaatkan dengan benar.
Dengan adanya PI sebesar 10 persen dari PHR sesuai Permen ESDM No. 37/2016 tentang Ketentuan Penawaran Participating Interest 10 persen pada Wilayah Kerja (WK) PHR, semestinya penggunaannya PI itu sesuai dengan rencana bisnis [Renbis].
Menurutnya, Perusahaan Daerah [PD] Sarana Pembangunan Rokan Hilir yang ditugasi untuk menerima pengalihan dana PI dari PHR belum memiliki progres renbis, tetapi dana PI dari Rp488 miliyar itu sudah dipakai sebanyak Rp71 miliyar.
"Saya khawatir dana sebanyak Rp488 miliyar [PI 10 persen] itu terus menipis, harusnya membangun program bisnis yang jelas," sebutnya.
Maka itu, kata Ganda persoalan 'ketidakjelasan' penggunaan PI ini maupun terkait dana bagi hasil [DBH] sawit telah diungkap berdasarkan audit BPK-RI bahwa dana itu untuk perbaikan infrastruktur tetapi di gunakan untuk hibah ke KPU, Panwaslu dan peningkatan kesejahteraan pegawai.
Bahkan anggaran tersebut sudah di tetapkan pada pos masing masing, tetapi kenapa digunakan ke peruntukan lain. Selain itu ada yang dianggarkan di APBD.
"Untuk itu kita menduga peruntukkan penggunaan dana PI ini melenceng dari semestinya. Makanya kita laporkan kita desak KPK dan Kejagung untuk menyelidikinya," kata dia.
"Kalau APH bilang tidak ditemukan atau penggunaan sesuai penganggaran itu baru clear, kita juga tidak ingin memenjarakan orang tetapi agar apa yang menjadi pertanyaan masyarakat dapat di clear-kan melalui penyidikan APH," tutupnya. (*)
Tags : Participating Interest, penggunaan dana PI dari migas, pertamina hulu rokan, manfaat PI migas, 20 tahun eksploitasi migas PHR di Riau, News,