Rata-rata lama antrean jamaah haji Indonesia berkisar 27-30 tahun.
JAKARTA — Antrean keberangkatan haji di Indonesia terus mengalami lonjakan signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Kepala Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH), Fadlul Imansyah mengungkapkan, saat ini jumlah calon jamaah haji yang sedang menunggu keberangkatan mencapai 5,5 juta orang.
“Tahun ini per sekarang ya, masyarakat Indonesia yang mengantre haji itu jumlahnya 5,5 juta orang. Setiap tahun kita hanya mendapatkan 220 ribu kuota haji,” ujar Fadlul dalam talkshow "Hijrah dan Hikmah Haji: Meraih Ketentraman Hidup dan Kuat Finansial" di Arena ISEF 2025, Kemayoran, Jakarta, Kamis (9/10/2025).
Dengan banyaknya umat Islam yang ingin naik haji itu, ujar dia, rata-rata lama antrean jamaah haji Indonesia saat ini berkisar antara 27-30 tahun. "Bisa dibayangkan, kalau 5,5 juta dibagi dengan 200 ribuan saja, itu berarti orang rata-rata di Indonesia ini menunggu sekitar 27-30 tahun untuk berangkat haji," tambah dia.
Namun, fenomena panjangnya masa tunggu haji ini dinilai bukan semata persoalan kapasitas kuota. Menurut Fadlul, fenomena tersebut menunjukkan dua hal positif bagi umat Islam di Indonesia, yakni kemampuan finansial dan peningkatan kesadaran spiritual.
"Apakah itu berkah ataukah itu menjadi beban bagi bangsa ini? Kalau saya ada jawabannya. Yang pertama, ini menunjukkan bahwa bangsa ini sudah dimampukan untuk menyetor 25 juta sebagai setoran awal haji,” kata Fadlul.
Ia menjelaskan bahwa sebelum 2017, keberangkatan haji nyaris tanpa antrean. “Sebelumnya, bapak, ibu ada duit, daftar, tahun depan berangkat,” ujar dia.
Sejak 2018, tepatnya setelah BPKH berdiri, Fadlul menilai minat masyarakat untuk berhaji melonjak drastis. “Sejak BPKH didirikan, itu berbondong-bondong, masyarakat Indonesia menyetorkan 25 juta sehingga terbentuklah antrean yang sampai dengan 30 tahun itu,” ucapnya.
"Jadi yang pertama, bangsa ini dimampukan untuk menyetor 25 juta. Artinya, ini kalau membahas ekonominya ya, GDP per kapita kita ini memang sudah membaik sehingga orang untuk mendaftar 25 juta, mereka nggak ada masalah," kata dia.
Tak hanya soal ekonomi, Fadlul juga menilai antrean panjang ini sekaligus cerminan meningkatnya religiusitas masyarakat.
"Tapi, ini yang lebih luar biasa lagi adalah bangsa ini sudah diberikan hidayah untuk menganggap haji itu menjadikan sebagai cita-cita mereka. Coba dibayangkan, kalau orang sudah mau daftar haji, pasti di dalam hatinya sudah ada kelurusan niat, kemudian dari sisi spiritualnya, itu berarti sudah memang layak," jelas dia.
Ia menyimpulkan, data antrean haji ini menjadi gambaran bahwa keseimbangan antara kemajuan ekonomi dan kematangan spiritual umat Islam Indonesia kini semakin baik.
“Jadi artinya dua hal ini, dari sisi material dan dari sisi kerohanian, bangsa ini justru semakin lama, semakin baik. Nah, itulah representasi dari 27 sampai 30 tahun menunggu itu tadi,” kata Fadlul.
Sementara Pakar Hukum Keuangan Publik Universitas Indonesia (UI), Dian Puji Nugraha Simatupang menyoroti Biaya Perjalanan Ibadah Haji (Bipih) dan kuota haji yang kerap disalahpahami status hukumnya dalam wacana publik.
Ia menilai perlu pelurusan agar tidak terjadi kekeliruan dalam memandang pengelolaan dana dan kebijakan haji di Indonesia.
Menurut Dian, Bipih bukan merupakan bagian dari keuangan negara karena dananya tidak berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), melainkan dibayarkan langsung oleh calon jamaah haji.
“Bipih sepenuhnya berasal dari jamaah, bukan dari APBN, sehingga tidak dapat menjadi keuangan negara karena penggunaan dan pemanfataan sepenuhnya bagi jamaah haji,” ujar Dian dalam keterangan di Jakarta, Kamis (9/10).
Ia menjelaskan, hal tersebut secara tegas diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah. Selain itu, dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji dijelaskan bahwa dana Bipih berstatus dana titipan milik jamaah.
“Artinya, dana tersebut tidak pernah masuk dalam kas negara dan tidak tercatat sebagai penerimaan maupun pengeluaran negara,” ucapnya.
Dian pun menilai keliru apabila ada pihak yang menyatakan bahwa dana Bipih berpotensi menimbulkan kerugian negara. Ia menegaskan, narasi tersebut tidak memiliki dasar hukum karena negara tidak memiliki hak atas dana Bipih.
Ia menegaskan, apabila jamaah batal berangkat, dana Bipih wajib dikembalikan sepenuhnya tanpa potongan. “Tidak ada kerugian negara di sana karena seluruh dana adalah milik jamaah, bukan milik pemerintah dan tidak menjadi milik negara ketika jamaah batal berangkat,” kata Dian.
Bahkan, kata Dian, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam berbagai auditnya tidak pernah menyatakan adanya kerugian negara atas dana Bipih karena dana tersebut memang berada di luar struktur APBN.
Selain dana haji, Dian juga menyoroti kesalahpahaman serupa terkait kuota haji. Menurutnya, ada anggapan keliru yang menyebut kuota haji memiliki nilai ekonomi dan menjadi potensi sumber penerimaan negara.
“Kuota haji adalah hak administratif bagi jamaah, bukan hak fiskal negara. Kuota tidak menghasilkan pendapatan atau keuntungan negara karena sifatnya bukan untuk mencari keuntungan,” jelasnya.
Ia menegaskan, penetapan kuota haji adalah kewenangan administratif yang diberikan kepada Menteri Agama berdasarkan Undang-Undang No. 8 Tahun 2019. Dengan demikian, kuota tidak dapat diperlakukan sebagai komoditas negara.
“Jika ada keberatan atau dugaan pelampauan wewenang, penyelesaiannya harus melalui mekanisme hukum seperti Mahkamah Agung atau Mahkamah Konstitusi, bukan asumtif,” ujarnya.
Ia pun mengingatkan bahwa isu dana dan kuota haji seharusnya tidak dijadikan polemik tanpa dasar, tetapi diarahkan pada penguatan tata kelola penyelenggaraan ibadah haji yang transparan, amanah, dan akuntabel.
Ia menegaskan dua prinsip penting dalam penyelenggaraan haji. Pertama, Bipih dan Bipih Khusus bukan keuangan negara, melainkan dana titipan jamaah yang dikelola untuk kepentingan haji. Kedua, kuota haji bukan aset negara dan tidak memiliki nilai uang, karena bersifat administratif dan layanan publik.
“Prinsip dasarnya jelas: ini soal amanah dan pelayanan, bukan soal penerimaan negara,” ucapnya. (*)
Tags : haji 2026, antrean haji, bpkh, soal antrean haji, jamaah mengantre haji, 5 juta jamaah antre haji, lima juta muslim antre haji, isef 2025,