
PEKANBARU - Sejumlah 55 perusahaan di Riau dapat rapor proper merah semasa Kementerian Lingkungan Hidup dan Lingkungan (KLHK) dijabat Siti Nurbaya.
"Perusahaan perkebunan bobrok dalam pengelolaan lingkungan."
"Kami terus melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab usaha yang menjadi kewenangan provinsi," kata M Job Kurniawan masa menjabat Plt Kadis LHK Riau, pada wartawan, Jumat (19/7) lalu.
"Pengelolaan lingkungan hidup puluhan perusahaan di Riau berlangsung secara ugal-ugalan."
Menurutnya, keberlanjutan lingkungan terancam, pencemaran makin massif terjadi dan dikhawatirkan dalam jangka panjang akan menimbulkan bencana serius terhadap ekologi serta kehidupan masyarakat Riau," kata M Job Kurniawan.
Carut marut pengelolaan lingkungan oleh perusahaan di Riau itu ditandai oleh hasil penilaian peringkat kinerja lingkungan yang dilakukan Kementerian Lingkungan Hidup dan Lingkungan (KLHK) tahun ini.
KLHK sudah menetapkan sebanyak 55 perusahaan di Riau mendapat rapor proper merah atau berbahaya.
"Tak hanya itu, ada sebanyak 12 perusahaan lainnya yang ditangguhkan penilaiannya oleh KLHK sampai proses penegakan hukum yang dilakukan terhadap perusahaan selesai," sebutnya.
Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Provinsi Riau merespon hasil penilaian kinerja lingkungan (proper) sejumlah perusahaan di Riau oleh KLHK tersebut.
Job Kurniawan menyatakan, upaya pembinaan pengelolaan lingkungan hidup kepada perusahaan yang menjadi domain kewenangan Pemprov Riau terus berjalan.
"Kami juga memberikan fasilitas asistensi dalam proses penilaian Proper, persetujuan lingkungan, persetujuan teknis dan rencana teknis penyimpanan limbah B3. Termasuk melakukan evaluasi ketaatan tinggi air muka/TMAT pada ketaatan perusahaan terhadap kerusakan gambut," terang Job Kurniawan.
Job menjelaskan, penetapan peserta Proper berasal dari usulan KLHK, Dinas LHK provinsi dan DLH kabupaten/ kota di Riau berdasarkan domain kewenangan masing-masing level pemerintahan.
Sementara penilaian Proper yang dievaluasi Pemprov Riau yakni perusahaan di sektor agro industri/ pabrik kelapa sawit, Migas, AMDK, karet dan pembangkit.
Kementerian LHK melakukan evaluasi penilaian terhadap perusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI), pertambangan, pelabuhan, hotel dan rumah sakit.
Berdasarkan data DLHK Provinsi Riau, jumlah perusahaan yang mendapat rapor Proper Merah periode 2022-2023 mencapai 169 perusahaan. Sementara ada 14 perusahaan yang penilaian Proper-nya ditangguhkan.
"Perusahaan yang dinyatakan ditangguhkan disebabkan sedang dalam proses penegakan hukum, sehingga rapornya ditangguhkan sampai proses penegakan hukumnya telah selesai," tegas Job Kurniawan.
Sementara Yayasan Sahabat Alam Rimba (SALAMBA) masih menyoal bagaimana minyak sawit mentah [CPO] ditanam secara ilegal di kawasan lindung milik Negara seperti habitat satwa langka harimau Sumatera, gajah dan orangutan di hutan Sumatera telah memasuki rantai pasokan sejumlah pemasok sawit [Perusahaan Perkebunan].
"Kalau berdasarkan Rapor Merah dari menteri KLHK tersebut hampir semua perusahaan besar mengakibatkan pencernaan terutama pengelolaan zat pencemar seperti B3 terutama perusahaan yang memiliki pabrik kelapa sawit, mengindikasikan bahwa lingkungan di provinsi Riau sudah tercemar berat terutama tanah dan air," kata Ir Marganda Simamora SH M.Si, Ketua Umum SALAMBA, Jumat ini.
"Mengacu terhadap penilaian Menteri KLHK tersebut, lingkungan di Riau sudah melewati ambang batas dan sudah tercemar berat akibat pengelolaan limbah dan lingkungan tidak baik, terutama akibat pencernaan tersebut mengakibatkan musnahnya flora dan fauna endemik dan kehidupan lainya yang berimbas terhadap kehidupan sosial masyarakat yang dehari hari mengkonsumsi air kurang sehat dan menghirup udara tidak baik," sebutnya.
"Kita pertanyakan kepada menteri LHK apa solusinya, apa sanksinya dan bagaimana upaya selanjutnya," sambungnya.
"Pasokan dan limbah pengelolaan buah sawit masih menjadi ancamanan keselamatan lingkungan, namun Pemerintah Provinsi [Pemprov] Riau selama dekade satu tahun terakhir tidak merasa khawatir."
“Kami kecewa terlepas dari komitmen grup-grup perusahaan untuk menghentikan deforestasi, tak satupun mampu melarang minyak sawit yang diragukan legalitasnya dari rantai pasokan mereka,” kata Ganda Mora (sebutan sehari harinya) ini.
“Sawit dihasilkan dari penanaman ilegal yang terus meningkat, bertambahnya jumlah pemasok dan pabrik kelapa sawit [PKS] tanpa perkebunan mereka sendiri, maka para pembeli perlu fokus melacak semua sawit yang dipasok secara menyeluruh hingga ke perkebunan,” sarannya.
Hasil analisanya hampir seluruh pabrik CPO di Sumatera beresiko membeli buah sawit secara ilegal atau tercemar karena ditanam di area deforestasi, bahkan ada PKS berdiri terang-terangan tak memiliki lahan perkebunan {sebagaimana yang telah diatur Peraturan Menteri Pertanian-red], "ada perusahaan dengan sengaja menerapkan lokasi kebun terletak pada hutan dilindungi dan jarak pabrik sawit dari hutan alam bukanlah indikator bagus akan adanya resiko membeli produk ilegal ini," ungkapnya.
“Kami mendukung pemerintah pada persoalan ini menelusuri TBS hingga ke sumbernya. Namun kami peringatkan hal ini bisa menjadi celah yang membiarkan pasokan tandan buah segar berasal dari perkebunan yang sangat merusak sumber daya alam Negara,” tambah Ganda.
Penjual menggabungkan TBS dari ‘perkebunan pihak ketiga’ yang berpotensi ditanam dari perkebunan sawit ilegal atau merusak lingkungan, dan ini harus diperhatikan oleh seluruh manajer pabrik.
“Pabrik-pabrik sawit seharusnya mempertimbangkan pendekatan waspada terhadap pemasok yang tak dapat membuktikan lokasi, legalitas serta keberlanjutan semua sumber TBS mereka,” Ganda menilai.
Para pembeli seharusnya hanya berurusan dengan pabrik yang mampu membuktikan mereka memiliki sistem kerja untuk melacak TBS yang mereka terima.
"Selama bertahun-tahun kelapa sawit telah menyebabkan deforestasi yang besar di Sumatera."
"Menebangi hutan untuk perkebunan sawit di kawasan-kawasan yang kami selidiki biasanya menggunakan praktek pembakaran untuk persiapan lahan untuk ditanam sawit".
"Kurangnya ketegasan pemerintah dan penegakan aturan ditambah meningkatnya permintaan global untuk minyak sawit menjadi penyebab utama karhutla. Ini juga mendorong terjadinya perambahan dalam skala besar di hutan lindung untuk pembangunan perkebunan kelapa sawit ilegal," kata Ganda.
"Perambahan ini harus dihentikan," pintanya.
"Beberapa perusahaan mencoba untuk bersembunyi di balik petani kecil dan mata pencahariannya sehingga ada alasan pembenaran agar sumber TBS mereka tak dipertanyakan. Namun, hasil dari investigasi ditemukan, banyak pengembang perkebunan ilegal malah dibiayai oleh segelintir elit dan perusahaan yang banyak meraup untung,” ujar Ganda.
“Jika perusahaan benar-benar peduli terhadap petani kecil, mereka harus bekerja secara langsung dengan petani kecil di daerah sebagai gantinya," imbuhnya.
Dia menyebutkan, kelompok-kelompok yang disebutkan dalam laporan ini merupakan kelompok industri yang banyak menerima keuntungan dari deforestasi selama bertahun-tahun.
"Saat ini, tutupan hutan aman Nasional Tesso Nilo hanya tinggal 18 persen, sisanya adalah sawit. TBS tersebut diproses dan diolah di pabrik."
Antara keuntungan dan kerusakan lingkungan
Mengingat apa yang disebutkan Ganda Mora dan menyikapi banyaknya PKS tumbuh 'liar' di Riau secara langsung membuat perkebunan kelapa sawit dituding sebagai penyebab utama kerusakan lingkungan.
"Limbah cair dan gas buang crude palm oil [CPO] turut dikaitkan dengan pemanasan global. Tudingan miring terus ditujukan kepada perkebunan kelapa sawit," kata Ganda.
Diakuinya, pegiat lingkungan memang bergantian mengkritik industri perkebunan kelapa sawit yang dianggap tidak ramah lingkungan.
"SALAMBA paling terdepan menyoroti pengelolaan limbah sawit yang didefinisikan sebagai palm oil mills effluent [POME] dan gas buang metana."
Ganda mengaku maraknya tekanan dalam dan luar negeri menyoroti pengelolaan limbah pada sebuah PKS perusahaan perkebunan sawit.
"Ada sebagian pabrik tak membangun instalasi Cakra Bio gas Plant dan Perdana Bio gas Plant."
Menurutnya, membangun Cakra Bio gas Plant dan Perdana Bio gas Plant penting ketika PKS melakukan pengolaan buah, limbah POME melalui instalasi bio gas dapat memisahkan gas metana dari ampas POME menjadi kompos.
"Sebenarnya instalasi itu yang telah melakukan proses fermentasi POME dapat menghasilkan gas metana dan ampas POME. Gas ini bisa menjadi bahan bakar penggerak turbin pembangkit listrik. Kenapa pemerintah setempat tidak memanfaatkan untuk mengatasi krisis listrik," tanya dia.
Disatu sisi, jika perusahaan dapat menggunakan dan membangun Cakra Bio gas Plant dan Perdana Bio gas Plant yang bisa menghasilkan daya listrik di area pabrik perkebunan itu secara otomatis perusahaan bisa berhemat secara maksimal.
"Bukan hanya itu saja, warga di sekitar perkebunan pun bisa menikmati aliran listrik secara tidak langsung. Atau perusahaan malah bisa menjual pasokan listrik ke PLN," terangnya.
Sebaliknya, sekarang kebanyakan perusahaan-perusahaan PKS yang ada di Riau masih mengabaikan perlunya membangun Cakra Bio gas Plant dan Perdana Bio gas Plant ini, hal ini untuk meminimalkan dampak negatif perkebunan kelapa sawit dan mendukung kelestarian lingkungan.
Ganda juga menilai persoalan utama perkebunan sawit dan pabrik sawit bisa disebutkan selama ini 'merampas keanekaragaman hayati'.
"Perkebunan sawit terbukti merusak kekayaan flora fauna dan ekosistem. Anggapan perkebunan sawit berdampak positif terhadap perekonomian masyarakat, justru selama ini perkebunan sawit maupun para pengusaha pengelola sawit di Riau hanya memberikan keuntungan bagi segelintir kelompok pemodalnya," kata dia.
Jadi Ganda Mora menilai pada hakekatnya pekerja tetap selamanya sebagai buruh, namun keuntungan sawit tetap tidak sebanding dengan risiko ditanggung masyarakat pada masa depan.
Daftar 55 Perusahaan di Riau Proper Merah
Sebelumnya diwartakan, sebanyak 55 perusahaan di Riau mendapat penilaian peringkat merah dalam pengelolaan lingkungan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Peringkat merah menunjukkan kalau perusahaan dalam melakukan pengelolaan lingkungan hidupnya, tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Penetapan status peringkat merah terhadap 55 perusahaan tersebut, tertuang dalam Keputusan Menteri LHK Nomor 546 Tahun 2024. Surat keputusan itu merupakan perubahan kedua atas Keputusan Menteri LHK Nomor SK.1353/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2023 tentang Hasil Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup Tahun 2022-2023.
Keputusan Menteri LHK tersebut terbit pada tanggal 13 Mei 2024 lalu. Daftar perusahaan yang mendapat penilaian peringkat merah termuat dalam lampiran III Keputusan Menteri LHK tersebut.
Status peringkat merah penilaian kinerja lingkungan ini didominasi oleh perusahaan perkebunan dan pabrik kelapa sawit di Riau.
Ada juga beberapa perusahaan yang bergerak di sektor Hutan Tanaman Industri (HTI). Ironisnya, Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Tampan milik Pemprov Riau masuk dalam daftar peringkat merah.
Adapun status peringkat merah yang disematkan oleh KLHK dibagi atas dua kelompok. Yakni peringkat merah terhadap perusahaan yang menjadi peserta Proper tahun pertama sebanyak 25 perusahaan di Riau.
Sementara itu, ada sebanyak 30 perusahaan lain yang mendapat peringkat merah sebagai peserta Proper lebih dari 1 tahun. Berikut daftarnya:
Peringkat Merah Peserta Proper Tahun Pertama
Peringkat Merah Peserta Proper Lebih Dari 1 Tahun
12 Perusahaan di Riau Masuk Daftar Ditangguhkan
Sebelumnya diwartakan, Menteri LHK Siti Nurbaya menetapkan sebanyak 12 perusahaan di Riau dalam daftar penilaian peringkat kinerja lingkungan hidupnya ditangguhkan.
Satu di antaranya yakni PT Arara Abadi-Estate yang merupakan perusahaan bergerak di sektor hutan tanaman industri (HTI). Perusahaan ini memasok bahan baku kayu akasia dan eukaliptus biasanya ke PT Indah Kiat Pulp and Paper (IKPP). Perusahaan terafiliasi dalam grup Sinarmas Forestry.
Ada juga perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yakni PTP Nusantara V yang masuk daftar ditangguhkan. Yakni Pabrik Kelapa Sawit (PKS) Sei Tapung di Kabupaten Rokan Hulu.
Berikut daftar lengkap 12 perusahaan di Riau yang mendapat penangguhan hasil kinerja peringkat pengelolaan lingkungan hidup:
Aspek Penilaian Peringkat Kinerja Lingkungan
Terdapat sejumlah kriteria yang menjadi dasar penilaian peringkat kinerja perusahaan dalam pengelolaan lingkungan hidup yang disebut dengan kriteria beyond compliance. Kriteria ini bersifat dinamis karena disesuaikan dengan perkembangan teknologi, penerapan praktik-praktik pengelolaan lingkungan terbaik dan isu-isu lingkungan yang bersifat global.
Penyusunan kriteria yang terkait dengan pelaksanaan PROPER dilakukan oleh tim teknis dengan mempertimbangkan masukan dari berbagai pihak, antara lain: pemerintah kabupaten/kotamadya, asosiasi industri, perusahaan, LSM, universitas, instansi terkait, dan Dewan Pertimbangan PROPER.
Adapun aspek-aspek yang dinilai dalam kriteria beyond compliance, meliputi:
Program ini didasarkan atas pemetaan sosial untuk menggambarkan jaringan sosial yang memberikan penjelasan tentang garis-garis hubungan antar kelompok/individu.
Pemetaan sosial memberikan informasi mengenai siapa, kepentingannya, jaringannya dengan siapa, dan posisi sosial dan analisis jaringan sosial dan derajat kepentingan masing-masing pemangku kepentingan.
Identifikasi masalah sosial, identifikasi potensi (modal sosial) perumusan kebutuhan masyarakat yang akan ditangani dalam program community development dan identifikasi kelompok rentan yang akan menjadi sasaran program pengembangan masyarakat.
Rencana strategis pengembangan masyarakat harus bersifat jangka panjang dan dirinci dengan program tahunan, menjawab kebutuhan kelompok rentan dan terdapat indikator untuk mengukur kinerja capaian program yang terukur dan tentu saja proses perencanaan melibatkan anggota masyarakat. (*)
Tags : Proper Merah, KHLK, DLHK Riau, Lingkungan, Pencemaran Lingkungan, Perusahaan Picu Kerusakan Lingkungan,