INTERNASIONAL - Sejak zaman Alexander Agung dan Genghis Khan, telah banyak kekuatan asing yang mencoba menaklukkan wilayah yang kini dikenal sebagai Afghanistan. Tak ada yang berhasil. Itulah mengapa negara ini kemudian dikenal sebagai "Graveyard of Empires" atau "Kuburan Para Penguasa".
Amerika Serikat dan sekutunya menambah panjang daftar kekuatan dunia yang gagal di Afghanistan, dan angkat kaki secara tuntas pada akhir Agustus ini. Kerajaan Inggris mencoba menundukkan negara ini pada abad ke-19, saat Britania Raya masih menjadi kekuatan terbesar di dunia, namun pada 1919 mereka harus meninggalkan Afghanistan dan memberikan negara itu kemerdekaan.
Uni Soviet lah yang kemudian berhasil menduduki Afghanistan pada 1979, dengan tujuan melanggengkan kekuasaan komunisme (yang didapatkan dari kudeta pada 1978). Butuh 10 tahun bagi mereka untuk menyadari bahwa Uni Soviet tak akan memenangi peperangan di Afghanistan. Inggris dan Rusia punya persamaan saat mereka menginvasi Afghanistan, keduanya saat itu dipimpin oleh kerajaan, yang tak lama setelah itu mulai runtuh.
Dua puluh tahun setelah invasi yang dipimpin oleh Amerika Serikat pada 2001, berikut perang yang mengakibatkan ratusan ribu korban, pemerintahan Joe Biden memutuskan untuk menarik pasukannya dari Afghanistan pada April tahun ini. Keputusan kontroversial ini banyak dikritik, terutama setelah Kabul — ibu kota Afghanistan — dengan cepat jatuh ke tangan kelompok jihadis Taliban.
Biden bersikukuh dengan keputusannya menarik pasukan. Dia berkata, Amerika tak seharusnya mati "dalam perang yang warga Afghan sendiri enggan untuk membela diri". "Tidak akan pernah ada kekuatan militer yang bisa menciptakan Afghanistan yang stabil, bersatu, dan aman," imbuh Biden, menyebut kembali julukan yang legendaris itu, 'kuburan para penguasa'.
Selama berabad-abad, Afghanistan tak ubahnya 'makam' bagi pasukan dan kekuatan asing yang berusaha mengendalikannya. Meskipun pada awalnya mereka terlihat sukses menginvasi, tapi cepat atau lambat, mereka terpaksa meninggalkan negara tersebut. "Ini bukan karena masyarakat Afghanistan punya kekuatan besar, tapi apa yang terjadi di sana adalah kesalahan dari penguasa itu sendiri, karena keterbatasan dan permasalahan imperialisme," kata analis pertahanan dan kebijakan luar negeri, David Isby, yang juga penulis buku Afghanistan: Graveyard of Empires (2010) dirilis BBC.
Isby mengatakan, Afghanistan adalah tempat yang sulit "dari sudut pandang objektif"; ini adalah negara yang kompleks, dengan infrastruktur buruk, pembangunan terbatas, dan terkurung oleh daratan. "Namun kekuatan-kekuatan 'Para Penguasa', baik itu Uni Soviet, Inggris, atau Amerika, tak mampu menunjukkan fleksibilitas saat menghadapi Afghanistan. Mereka ingin dan harus melakukan semuanya dengan cara mereka, tanpa mau memahami kompleksitas negara tersebut," tambahnya.
Afghanistan juga sering kali dikatakan "tak mungkin ditaklukkan", ini adalah pernyataan yang salah. Persia, Mongolia, dan Alexander Agung sudah pernah melakukannya di masa silam. Namun satu yang pasti, perjuangan menginvasi Afghanistan harus dibayar mahal oleh mereka yang mencobanya. Tiga kekuatan besar terakhir terbukti telah gagal melakukannya.
Pada sebagian besar abad ke-19, Afghanistan adalah pusat sengketa dalam panggung "Great Game" antara Kerajaan Inggris dan Rusia untuk menguasai Asia Tengah. Selama berpuluh-puluh tahun, Moskow dan London terlibat dalam pertikaian diplomatik dan politik, yang kemudian dimenangi oleh Inggris — meski dengan harga yang sangat mahal.
Inggris berusaha menginvasi Afghanistan tiga kali pada 1839-1919, dan bisa dikatakan, ketiganya berakhir dengan kegagalan. Pada Perang Anglo-Afghan Pertama — yang dimulai ketika Inggris menduduki Kabul pada 1839 karena takut Rusia mendahului — London harus mengalami penghinaan terbesar sepanjang sejarahnya. Pasukan bersenjata yang tadinya terbesar dan terkuat di dunia dikalahkan oleh suku-suku Afghan dengan persenjataan paling sederhana.
Setelah tiga tahun invasi, masyarakat Afghanistan berhasil mengusir Inggris dari ibu kota, dan penarikan pasukan ini berakhir sebagai tragedi. Hanya satu orang tentara Inggris yang selamat, dari lebih dari 16.000 orang yang meninggalkan kamp militer Inggris pada 6 Januari 1842 untuk menuju Jalalabad, sebelah timur Kabul. "Perang ini melemahkan ekspansi Inggris ke sub-kontinental tersebut, dan memengaruhi narasi yang dibangun bahwa Inggris tak terkalahkan," terang Isby.
Nyaris empat dekade kemudian, Inggris mencoba lagi, dengan sedikit kesuksesan. Perang Anglo-Afghan Kedua, yang terjadi pada 1878-1880, berakhir dengan Afghanistan menjadi protektorat Inggris. Pada akhirnya, Inggris memilih dan mendukung emir Afghan yang baru dan menarik pasukan dari negara tersebut. Namun pada 1919, Perang Anglo-Afghan Ketiga pecah saat Emir Amanullah Khan mendeklarasikan kemerdekaan dari Inggris.
Pada saat itu Revolusi Bolshevik telah mengurangi ancaman dari Rusia dan pada saat yang sama Perang Dunia I telah menguras dana perang Inggris, maka ketertarikan mereka kepada Afghanistan pun memudar. Setelah empat bulan berperang, Inggris akhirnya mengakui kemerdekaan Afghanistan. Meskipun secara resmi Inggris tidak lagi berada di Afghan, banyak yang mengatakan pengaruh Britania atas negara tersebut bertahan hingga bertahun-tahun setelahnya.
Pada 1920-an, Emir Amanullah Khan mencoba mereformasi Afghanistan dan, salah satu upayanya, menghapuskan kewajiban memakai burqa bagi para perempuan. Usaha-usaha modernisasi ini mendapatkan perlawanan dari beberapa suku dan pemimpin agama, yang kemudian memicu terjadinya perang sipil. Ketegangan di negara tersebut berlanjut hingga 1979, saat Uni Soviet menginvasi Afghanistan untuk mempertahankan kekuatan pemerintahan komunis yang mulai terbelah.
Berbagai kelompok mujahidin menentang penjajahan Soviet dan mulai melawan, dengan dana dan persenjataan yang dipasok oleh Amerika Serikat, Pakistan, China, Iran, dan Arab Saudi. Moskow meluncurkan serangan darat dan udara dengan maksud menghancurkan desa-desa di wilayah yang mereka anggap bermasalah, mengakibatkan masyarakat lokal terpaksa mengungsi dari rumah-rumah mereka atau mati.
Invasi oleh Rusia ini adalah yang paling berdarah untuk Afghanistan, dengan sekitar 1,5 juta korban tewas dan sekitar lima juta orang pengungsi. Selama beberapa waktu, Soviet berhasil menguasai beberapa kota besar, namun pasukan mujahidin bergerak dengan relatif bebas di banyak wilayah pedesaan.
Perang ini memporak-porandakan Afghanistan. Pemimpin Soviet saat itu, Mikhail Gorbachev, pada akhirnya menyadari bahwa mereka tak bisa melanjutkan perang sembari memperbaiki perekonomian Rusia. Gorbachev memutuskan menarik pasukannya pada 1988, namun Afghanistan tak pernah sepenuhnya pulih dari perang ini. Afghanistan menjadi semacam Vietnam-nya Uni Soviet bila dikaitkan dengan Amerika Serikat. Ini adalah perang yang mahal dan memalukan bagi Uni Soviet.
Lagi-lagi, mereka harus dipermalukan karena dikalahkan oleh para gerilyawan lokal. "Uni Soviet mengklaim memiliki kekuasaan yang sah di Afghanistan, tepat pada saat ada kontradiksi serius dan fundamental dalam sistem Soviet, pada pemerintahan dan pasukan militernya," kata analis pertahanan David Isby.
Setelah intervensi Inggris dan Uni Soviet, Amerika Serikat memimpin invasi baru ke Afghanistan pada 2001, menjanjikan akan menciptakan demokrasi dan membasmi ancaman terorisme dari al-Qaeda setelah serangan 11 September 2001. Sama seperti dua pendahulunya, Washington berhasil menguasai Kabul dengan relatif cepat dan memaksa Taliban untuk menyerahkan kekuasaan.
Tiga tahun kemudian, pemerintahan Afghanistan yang baru mengangkat seorang presiden, namun serangan berdarah dari Taliban terus berlanjut. Mantan Presiden Barack Obama mengumumkan penambahan pasukan pada 2009 yang berhasil memukul mundur Taliban, namun tak bertahan lama. Pada 2014, yang berakhir menjadi perang paling berdarah sepanjang sejarah sejak 2001, pasukan NATO menyelesaikan misi dan mendelegasikan tanggung jawab kepada militer Afghanistan. Ini membuat Taliban berhasil merebut lebih banyak wilayah kekuasaan.
Di tahun berikutnya, kelompok ini terus menambah kekuatan dan meluncurkan serangkaian serangan bunuh diri, di antara yang mereka akui, adalah serangan ke gedung parlemen dan bandara internasional di Kabul. Menurut Isby, banyak kesalahan yang dilakukan oleh AS di Afghanistan. "Meski telah melakukan upaya militer dan diplomasi, salah satu masalah utama adalah, baik Amerika maupun komunitas internasional tidak dapat membuat Pakistan menghentikan perebutan kekuasaan dengan Afghanistan," kata dia.
Invasi Soviet di Afghan memang memakan lebih banyak korban jiwa, namun invasi Amerika menghabiskan lebih banyak dana. Soviet menghabiskan sekitar US$2 miliar per tahun di Afghanistan, sementara pada 2010-2012, Amerika membiayai perang melawan Afghanistan sebesar hingga US$100 miliar per tahun, menurut data dari pemerintah AS sendiri.
Jatuhnya Kabul kemudian banyak disamakan dengan yang terjadi di Vietnam Selatan. "Ini adalah Saigon-nya Joe Biden," cuit anggota kongres dari Partai Republik Elise Stefanik. "Sebuah kegagalan dalam tataran internasional yang tidak akan pernah dilupakan."
Setelah penarikan pasukan AS yang disusul dengan kemenangan Taliban, dunia menghadapi krisis kemanusiaan baru — ribuan pengungsi harus mencari tempat bernaung. "Dalam jangka menengah, penting untuk melihat apakah rezim Taliban bisa bergabung dengan komunitas internasional. Sesuatu yang diragukan banyak pihak," ujar David Isby.
Dan jika komunitas internasional tak dapat menerima Taliban, maka ada kemungkinan akan ada upaya-upaya lain yang dilakukan untuk kembali menginvasi 'Kuburan Para Penguasa'.
Walikota perempuan Afghanistan kabur
Jatuhnya Kabul ke tangan Taliban menjadi firasat bagi Zarifa Ghafari, salah satu walikota perempuan pertama di Afghanistan. Setelah petempur Taliban merangsek ke ibu kota Afghanistan itu, ia menyadari bahwa nyawanya dalam bahaya. Beberapa hari kemudian ia kabur bersama keluarganya ke Jerman.
Ghafari berkata ia bersembunyi di bawah kursi mobil dalam perjalanan ke bandara Kabul.
Ghafari, 29 tahun, telah menjadi pejabat publik terkemuka dan suara lantang bagi hak-hak perempuan. Dia meyakini predikatnya tersebut menjadikannya ancaman bagi Taliban, yang terkenal kerap membatasi peran perempuan sejalan dengan tafsir kaku mereka terhadap ajaran Islam. "Suara saya punya kekuatan yang tidak dipunyai senjata," ujarnya.
Awalnya Ghafari ngotot ingin tinggal selama perebutan kekuasaan yang sangat cepat oleh Taliban, meskipun ia takut akan nyawanya. Namun optimisme itu berubah menjadi keputusasaan. Tak lama setelah Taliban mengambil alih, Ghafari disarankan agar pindah dari rumahnya. Kekhawatiran akan keamanannya segera terwujud ketika beberapa petempur Taliban datang ke rumahnya. Menurutnya, para petempur Taliban memukuli penjaga keamanannya.
Keamanan telah menjadi persoalan terus-menerus bagi Ghafari dalam beberapa tahun terakhir. Ia sudah beberapa kali lolos dari upaya pembunuhan sejak 2018, ketika pada usia 26 tahun ia diangkat menjadi walikota Maidan Shar, kota tempat Taliban mendapat dukungan luas. Kebencian terhadap Ghafari memuncak dengan pembunuhan terhadap ayahnya akhir tahun lalu. Sang ayah adalah anggota senior militer Afghanistan dan Ghafari menduga ia punya musuh di Taliban.
Ketika Taliban kembali menguasai Afghanistan pada pertengahan Agustus, Ghafari memutuskan sudah waktunya untuk meninggalkan negeri itu. Pada 18 Agustus, dia menyewa sebuah mobil untuk membawanya dan keluarganya ke bandara Kabul. Selama perjalanan, dia bersembunyi di bawah kursi mobil, merunduk untuk berlindung setiap kali mereka melewati pos pemeriksaan Taliban. "Ketika kami sampai di gerbang bandara, ada petempur Taliban di mana-mana," katanya. "Saya bersusah-payah untuk menyembunyikan diri."
Di bandara, duta besar Turki di Kabul membantu mereka untuk menumpang pesawat ke Istanbul. Dari sana, mereka terbang ke Jerman. "Ketika saya kehilangan ayah saya, [saya pikir saya] tidak akan pernah merasakan hal yang sama lagi dalam hidup ini," ujarnya. "Tetapi ketika saya naik pesawat untuk meninggalkan negara saya, itu lebih menyakitkan daripada kehilangan ayah saya. Hari jatuhnya Kabul adalah "momen terburuk dalam hidup saya. Saya tidak akan pernah bisa meredakan rasa sakit di hati saya. Saya tidak pernah berencana untuk meninggalkan negara saya," katanya.
Sekarang dalam keadaan aman di kota Düsseldorf, Jerman, Ghafari mengakui bahwa ia adalah salah satu yang beruntung seiring situasi di sekitar bandara Kabul menjadi semakin berbahaya. Ia berjanji untuk bertemu dengan para politikus dan pemimpin dunia untuk menarik perhatian pada kehidupan warga Afghanistan di bawah pemerintahan Taliban. Ia juga bersedia untuk berbicara dengan Taliban, karena "kita perlu saling memahami". "Pasukan asing tidak akan datang untuk membantu kami. Ini waktunya kami menyelesaikan masalah dengan Taliban. Saya siap mengambil tanggung jawab ini," katanya.
Namun, ia tetap tidak mempercayai Taliban, terutama dalam hal hak-hak perempuan. Terakhir kali mereka berkuasa sebelum 2001, Taliban memberlakukan versi ultra-konservatif dari hukum Islam, yang mereka jadikan pembenaran untuk melarang perempuan pergi ke sekolah atau bekerja. Pekan lalu juru bicara Taliban Zabihullah Mujahid mengatakan perempuan "akan sangat aktif dalam masyarakat namun dalam kerangka Islam". Tetapi Ghafari skeptis: "Kata-kata mereka tidak pernah sesuai dengan tindakan mereka."
Ia berharap untuk kembali ke Afghanistan suatu hari nanti, setelah keadaannya aman. "Itu negara saya - saya turut membangunnya. Saya bertahun-tahun berjuang untuk membangunnya," katanya menambahkan dirinya ingin mengembalikan sedikit pasir yang dibawa dari negara tempat asalnya. (*)
Tags : Taliban, Sejarah, Afghanistan,