BISNIS - Berawal dari mudahnya mengakses pinjaman, pengguna layanan tunda bayar (paylater) mengaku “kebablasan” sampai akhirnya terjebak pada tunggakan yang menguras pendapatan hingga menggagalkan rencana menyicil rumah.
Pemahaman rendah soal risiko paylater, ditambah mitigasi risiko gagal bayar yang lemah telah memicu fitur Buy Now Pay Later (BNPL) berujung menjadi jerat utang yang melilit, kata peneliti Institute for Development of Economic Studies (Indef), Nailul Huda.
Di media sosial, fitur paylater yang berujung gagal bayar telah berulang kali menjadi pembahasan.
Sejumlah pengguna Twitter sempat membagikan tangkapan layar yang menunjukkan tagihan paylater yang membuatnya merasa “sesak” membayar.
Survei yang dilakukan oleh Katadata Insight Center dan Kredivo terhadap 3.560 responden pada Maret 2021 menunjukkan bahwa jumlah pelanggan baru paylater meningkat sebesar 55% selama pandemi.
Sementara itu, menurut Nailul yang mengutip data OJK, karakter pengguna yang kesulitan membayar tunggakan kredit menjadi semakin muda.
“Ini perlu diwaspadai untuk karakter pinjaman macet itu sekarang perkembangannya lebih tinggi untuk peminjam yang usianya di bawah 19 tahun,” kata Nailul Huda seperti dirilis BBC News Indonesia.
“Karena sistem paylater ini mudah, bisa connect secara digital, generasi muda yang lebih efektif banyak yang mengajukan padahal belum punya pendapatan.”
Fitur paylater seperti ini, kata dia, pada akhirnya menjadi alternatif bagi orang-orang yang “tidak bankable” untuk mengakses kredit.
Apalagi dengan kolaborasi penyedia layanan multifinance dan P2P lending yang kini berkolaborasi dengan banyak e-commerce untuk menyediakan opsi pembayaran “beli sekarang, bayar nanti”.
Menurut Nailul, penyaluran kredit jenis ini pun banyak tertuju pada sektor konsumtif seperti pembelian gawai, fesyen, dan lain-lain.
Krisna, 23, pertama kali menggunakan paylater sekitar tiga tahun yang lalu ketika dia masih berstatus mahasiswa dan belum berpenghasilan.
Prosesnya pun cukup mudah, hanya dengan mengisi data di aplikasi yang kemudian disetujui dalam waktu kurang dari 24 jam.
“Aku ingin jajan tanpa diketahui orang tuaku, nggak perlu repot-repot minta orang tua dan merasa bisa lebih leluasa,” kata Krisna yang pada akhirnya meminta uang ke orang tuanya untuk membayar tagihan paylater tersebut.
Saat ini, dia terdaftar menggunakan paylater di dua aplikasi. Salah satunya di layanan e-commerce, yang biasanya dia manfaatkan untuk membeli hal-hal yang berkaitan dengan hobinya.
“Aku suka koleksi K-Pop dan anime nih, aku bayar pakai paylater. Aku hitung per bulan harus bayar berapa supaya di akhir bulan nggak kaget,” kata dia.
Suatu waktu, dia mengaku “kebablasan” sampai tagihan paylater-nya mencapai Rp5 juta.
Pada saat itu, dia kembali dibantu oleh orang tuanya untuk membayar tagihan tersebut.
“Ketika pakai paylater, yang di kepalaku adalah bayarnya kecil-kecil,” aku Krisna. “Itu membuat kita berpikir bahwa itu masalah yang bisa dipikirkannya nanti aja.”
Toni, bukan nama sebenarnya, pertama kali menggunakan paylater sekitar empat tahun yang lalu untuk membeli ponsel dan laptop.
Dia tertarik mendaftar paylater karena mendapat penawaran dari aplikasi jasa perjalanan serta e-commerce untuk mengaktifkan fitur tersebut.
Bermodal identitas dan persetujuan pengguna, dalam 24 jam berikutnya, Toni bisa mengakses layanan paylater.
“Waktu itu, dengan skema cicilan yang ditawarkan, misalnya mau beli handphone dengan harga Rp5 juta dan bayarnya bisa 10 kali, itu terasa lebih gampang dibanding harus nabung selama itu untuk bisa beli barangnya,” kata Toni kepada BBC News Indonesia.
Toni mengaku “kebablasan” menggunakan paylater hingga jumlahnya mencapai hampir empat kali dari gajinya dalam sebulan. Cicilan yang harus dia bayar juga terus menumpuk dari berbagai platform, ditambah bunga dan denda keterlambatan.
“Sampai pada titik ternyata untuk bayar cicilan aja sudah habis setengah gaji saya, belum lagi untuk kebutuhan hidup yang lain dan waktu itu saya mau nikah juga,” kenang Toni.
“Akhirnya barang-barang saya lepas semua untuk menutup [cicilan]. Aset saya jual, handphone saya jual atau ada juga yang saya gadai, ngirit ongkos dan makan juga,” kata dia.
Namun, untuk keluar dari jerat cicilan paylater juga tidak mudah.
Sampai saat ini, Toni belum terbebas dari cicilan itu. Dia telah menunggak di beberapa platform selama beberapa tahun. Toni bahkan masih bergantung pada dana pinjaman untuk menutupi kebutuhan hidupnya.
Sebagai konsekuensinya, Toni tidak bisa mengajukan cicilan rumah akibat riwayat skor kreditnya yang buruk.
“Sempat ada perasaan marah, tapi ya sudah kejadian. Hidup juga harus terus berjalan.
“Sekarang harus nahan diri, memang ini godaan, kayak setan yang di depan mata tapi tidak terlihat. Ketika kita sadar bahwa uang kita enggak cukup lagi untuk bayar, baru di situ terasa menyesal,” ujar dia.
Menurut Indef, kasus-kasus pinjaman macet makin banyak terjadi pada pengguna berusia di bawah 19 tahun yang belum berpenghasilan.
“Rata-rata kredit macetnya itu Rp2,8 juta per orang, itu adalah angka tertinggi kalau dibandingkan dengan kelompok umur lainnya,” kata Nailul.
Gen Z, sebagai generasi yang paling adaptif terhadap teknologi, disebut Nailul cenderung memilih fasilitas kredit melalui platform online seperti paylater dibanding kredit perbankan.
Proses pengajuannya yang mudah serta persyaratannya yang minim membuat banyak orang bisa lolos meski profil keuangannya sebetulnya tidak layak untuk diterima.
“Dulu kan ada layanan finansial yang menyediakan kredit, tapi untuk menyetujuinya mereka sampai harus survei dulu ke rumah. Sekarang tidak begitu,” jelas Nailul.
“Di e-commerce, misalnya, dilihat bahwa ‘oh transaksinya bagus nih bisa beli banyak barang’. Lalu itu dijadikan landasan untuk skor kredit. Padahal mungkin saja itu dibayari orang tuanya.
“Begitu juga di platform lain yang mengukurnya misalnya lewat riwayat perjalanan, misalkan saya sering ke restoran mahal, lalu itu dijadikan sebagai indikasi punya pendapatan bagus,” kata dia.
Nailul termasuk yang setuju bahwa siapa pun berhak mendapatkan akses kepada kredit, namun dia mengatakan pengukuran atas kemampuan penggunanya untuk membayar kembali mesti lebih akurat.
“Kalau untuk anak-anak di bawah 19 tahun misalnya, sebaiknya ada semacam persetujuan dari orang tua atau sejenisnya. Kalau pun disetujui sebaiknya diberi limit pinjaman yang rendah,” kata dia.
Secara keseluruhan OJK menyatakan bahwa angka kredit macet paylater telah mencapai 7,61% pada September lalu.
Meski demikian, Kepala Departemen Pengawasan Industri Keuangan Non-Bank OJK, Bambang W Budiawan, menuturkan bahwa bisnis Buy Now Pay Later (BNPL) ini tidak membutuhkan regulasi khusus.
Yang terpenting, dalam memberi persetujuan, penyedia layanan BNPL diminta untuk lebih berhati-hati dalam tahap pre-screening, memilih segmen pengguna, serta profil risiko kredit.
Salah satu yang menarik para pengguna paylater, terutama pada aplikasi-aplikasi e-commerce, adalah promosinya yang “menggiurkan”.
Bahkan setelah menunggak banyak cicilan pun, Toni menunjukkan bagaimana dia masih menerima notifikasi yang menawarkan “dana tambahan akhir tahun” serta “diskon hingga 30% untuk pembelian ponsel” jika menggunakan metode pembayaran paylater.
Penawaran diskon hingga cashback pula yang menarik Tsa Tia, 29, menggunakan layanan paylater di salah satu e-commerce.
Tetapi, Tsa Tia bisa mengukur batas kemampuan finansialnya untuk memanfaatkan fitur itu, sehingga dia tidak pernah sampai terjerat.
“Setiap bulan saya batasin paling maksimal Rp500.000,” kata dia.
Tsa Tia mengaku tidak pernah menghitung-hitung dengan rinci seberapa besar bunga yang harus dia bayar.
“Tapi saya mengukurnya dengan kira-kira bulan depan bisa nggak ya bayar segini,” tutur Tsa Tia.
Bagi dia, fitur paylater sebetulnya cukup bermanfaat untuk mengatur alur pengeluarannya.
“Tergantung gimana kita memakainya dan harus tahu seberapa batas kemampuan kita untuk membayarnya,” tutur Tsa Tia.
Persoalannya, literasi keuangan masyarakat Indonesia baru mencapai 49,68% berdasarkan Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) 2022 yang dilakukan OJK.
Masih banyak masyarakat yang belum bisa mengelola keuangan dan kredit, sehingga fitur-fitur seperti ini alih-alih menjadi bermanfaat justru menjadi jebakan, kata Nailul Huda.
“Karena pengetahuan mendalam mengenai pinjaman rendah, risikonya juga tidak diketahui secara mendalam,” jelas Nailul.
Di saat yang sama iklan menggiurkan yang disampaikan oleh para penyedia layanan “tidak sebanding” dengan edukasi soal risikonya.
“Sebetulnya dari unsur perusahaan juga harus fair untuk menunjukkan sisi risikonya, dan di sisi lain masyarakat juga harus paham ketika ternyata bunganya lebih besar dibandingkan dengan fasilitas kredit lainnya,” kata Nailul.
“Tapi kita nggak bisa berharap lebih ke perusahaan, pasti akan mengedepankan manfaatnya ketimbang risikonya,” jelas dia.
Dengan segala kemudahan untuk mengajukan paylater, Nailul mengingatkan masyarakat, khususnya kaum muda, untuk benar-benar mempertimbangkan tujuan penggunaannya.
“Apakah itu benar-benar untuk kebutuhan atau hanya keinginan? Kalau barang itu lebih untuk tujuan konsumtif dan tidak akan menghasilkan uang, lebih baik membayar tunai,” ujar Nailul.
Pengguna juga harus bisa mengukur kemampuan finansialnya sendiri dan memastikan total cicilan utang tidak melebihi 30% dari pendapatannya.
“Jangan sampai kalau misalnya pendapatan Rp6 juta, lalu utangnya sampai sebesar Rp3 juta. Kalau seperti itu biaya hidup sehari-harinya bagaimana?” kata dia.
Dia juga mengingatkan risiko-risiko lain yang mengintai. Salah satunya kesulitan mengajukan kredit-kredit lainnya, seperti cicilan rumah karena skor kredit yang buruk ketika dilakukan BI checking.
Belum lagi risiko harus menghadapi teror dari penagih utang, entah itu melalui telepon bahkan didatangi langsung. (*)
Tags : Anak Muda Terjerat Utang Paylater, Media sosial, Keuangan pribadi, Ekonomi, Kaum muda, Gaya hidup,