LINGKUNGAN - Aktivis lingkungan Eropa mendesak Indonesia untuk memperpanjang moratorium izin perkebunan kelapa sawit baru.
Larangan yang berakhir di akhir bulan ini sebenarnya telah berlangsung selama tiga tahun dan bertujuan untuk mengatasi tingkat deforestasi di Indonesia yang meroket lantaran dibukanya lahan-lahan perkebunan sawit.
Seperti diketahui, Indonesia merupakan rumah bagi hutan hujan tropis terbesar di ketiga di dunia. Mirisnya, Indonesia merupakan produsen minyak sawit terbesar.
Minyak kelapa sawit telah menyumbang sekitar 5 persen deforestasi di hutan tropis dan 2,3 persen deforestasi secara global.
Seluas 24 juta hektar hutan di Indonesia hilang lantaran praktik perkebunan sawit. Namun sejak larangan tersebut, tingkat kehilangan hutan menurun.
Artinya, menurut para aktivis lingkungan Eropa, moratorium sawit membawa dampak baik bagi hutan Indonesia.
Minyak kelapa sawit dapat ditemukan di sehari-hari, mulai dari makanan, sabun, dan make up.
Pada 2020, lebih dari 72 juta ton minyak sawit diproduksi.
Indonesia sendiri memproduksi 60 persen sementara urutan kedua Malaysia 24 persen.
Kelapa sawit menjadi tanaman yang paling dibenci di dunia karena berhubungan erat dengan deforestasi, yang pada akhirnya memperburuk krisis iklim.
Hal ini juga yang menjadi penyebab utama kepunahan orangutan.
India, importir minyak nabati terbesar di dunia telah mulai mencari lebih banyak sawit sendiri.
Indonesia merupakan negara terpadat keempat di dunia dengan urutan ekonomi terbesar kesepuluh.
Gemma Tillack, Direktur Kebijakan Hutan Rainforest Action Network mengatakan pada media bahwa moratorium permanen pada pengembangan kelapa sawit baru memberikan “kontribusi besar bagi upaya pemerintah Indonesia untuk mengurangi emisi gas rumah kaca.”
Salah satu alasan pelanggaran sementara izin kelapa sawit adalah untuk mengurangi jejak karbon negara dan mengekang risiko kebakaran hutan dari tebasan dan bakaran.
Pada 2019, Norwegia mulai mendanai Indonesia untuk mitigasi perubahan iklim setelah mencatat bahwa tingkat deforestasi di negara tersebut menurun.
Namun adanya keraguan perihal transparansi negara [Indonesia] terkait perkebunan kelapa sawit.
Sementara itu, dari dalam negeri, nasib moratorium sawit yang diatur di dalam Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit serta Peningkatan Perkebunan Kelapa Sawit hingga kini juga belum menemui titik terang.
Menurut Asisten Deputi Pengembangan Agribisnis Perkebunan Kementerian Perekonomian Moch. Edy Yusuf, pemerintah sedang menelaah usulan perpanjangan dan penguatan aturan tentang moratorium sawit.
Moch. Edy juga mengatakan ada kemungkinan hal itu diatur melalui Undang-Undang [UU] Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2020 dan peraturan turunannya yaitu Peraturan Pemerintah [PP] Nomor 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan.
“Kami masih mempertimbangkan, apakah memperpanjang Inpres 2018 atau diperkuat ke peraturan presiden [Perpres]. Atau apakah cukup diatur dengan UU Cipta Kerja dan turunannya,” kata Moch. Edy dalam diskusi virtual, Jumat lalu.
Moch. Edy mengatakan, sejauh ini moratorium sawit berhasil dalam beberapa aspek seperti peningkatan produktivitas.
Pemerintah juga sepakat bahwa kelanjutan peraturan itu akan membantu dalam penurunan gas emisi rumah kaca.
Karena itu, menurut Moch. Edy, pihaknya telah menerima banyak dukungan dan usulan dari banyak pihak termasuk kementerian dan pemerintah daerah terkait perpanjangan aturan tersebut.
“Sebagian besar kementerian dan pemerintah daerah memang mengusulkan agar moratorium [sawit] dilanjutkan. Kita tentu akan memperhatikan hal tersebut. Tapi keputusan akhir belum keluar,” jelasnya.
Pengkampanye Hutan Greenpeace Indonesia Iqbal Damanik mengatakan UU Cipta Kerja dan peraturan turunannya tidak cukup untuk mencapai tujuan awal dari moratorium, yaitu tata kelola perizinan perkebunan kelapa sawit yang lebih baik, termasuk melalui review izin.
Menurutnya, Inpres Moratorium Sawit perlu diubah ke level Perpres agar Kementerian Perekonomian memiliki payung hukum yang lebih kuat.
Ini dapat menjadi instrumen untuk menahan laju deforestasi dan kebakaran hutan dan lahan [karhutla].
“Saya berharap pada pemerintah untuk membuat kebijakan yang lebih baik, karena moratorium ini bisa menjadi rem yang bisa menahan deforestasi dan karhutla,” kata Iqbal.
“Saya berharap agar kebijakan moratorium sawit menjadi permanen dan diperkuat menjadi Perpres. Ini perlu agar Kemenko punya payung hukum untuk melaksanakan termasuk review izin,” jelasnya.
Sementara Aktivis Sahabat Alam Rimba [SALAMBA] Ir Ganda Mora SH M.Si berpendapat serupa.
Menurutnya, moratorium sawit dapat membantu pemerintah dalam mencapai target iklim sesuai Kesepakatan Paris.
Untuk diketahui, Indonesia berkomitmen menurunkan emisi [Nationally Determined Contributions atau NDC] sebesar 29% dengan upaya sendiri dan skema bisnis seperti biasa; atau 41% dengan bantuan komunitas internasional.
“Pemerintah harus fokus pada peningkatan produktivitas lahan, misalnya dengan memberdayakan petani kecil,” kata Ganda Mora.
"Dalam konteks ini, perpanjangan moratorium penting untuk mencapai NDC tersebut," tambahnya.
Tetapi menanggapi usulan tersebut, Moch. Edy mengatakan, “Menarik usulan agar moratorium sawit dinaikkan ke Perpres. Kita benar-benar berharap sawit jangan sampai jadi kutukan,” ujarnya. (*)
Tags : Aktivis Lingkungan, Aktivis Kebijakan Hutan Rainforest Action Network, Aktivis Sahabat Alam Rimba, SALAMBA, Moratorium Izin Perkebunan Sawit, Sawit Indonesia,