Sorotan   17-03-2025 19:23 WIB

Sederet Perusahaan yang Terlibat Garap Kawasan Hutan Riau, 'Ada Surya Dumai Group yang Langgar UU Menjadikan Kebun Sawit Tanpa Perdulikan Lingkungan'

Sederet Perusahaan yang Terlibat Garap Kawasan Hutan Riau, 'Ada Surya Dumai Group yang Langgar UU Menjadikan Kebun Sawit Tanpa Perdulikan Lingkungan'

"Para aktivis lingkungan telah menyerukan akhir-akhir ini menggema di media sosial Indonesia banyak perusahaan perkebunan sawit di Riau yang melanggar Udang Undang di Indonesia"

da sejumlah perusahaan yang diduga mengubah kawasan hutan menjadi kebun kelapa sawit. Hal ini membuat para aktivis akhir-akhir ini menyerukan dan menggema di media sosial Indonesia. Kampanye itu digaungkan sebagai dukungan untuk masyarakat yang saat ini sedang berjuang untuk menolak hutan adat mereka diubah menjadi perkebunan kelapa sawit.

Seperti disebutkan aktivis Lembaga Independen Pembawa Suara Transparansi (INPEST) mengecam pemutihan lahan sawit di kawasan hutan.

"INPEST mengecam kebijakan pemerintah mengampuni atau melakukan pemutihan terhadap lahan sawit di kawasan hutan."

"Ini jadi celah perusahaan merusak hutan," kata Ir. Marganda Simamora SH, M.Si, Ketua Umum (Ketum) INPEST dalam releasenya melalui Whats App (WA), Selasa (4/3) lalu.

Menurutnya, langkah tersebut dapat menimbulkan implikasi ketidakpastian hukum. 

Dari lebih dari 1 juta ha perkebunan sawit milik 436 perusahaan yang tidak berizin di dalam kawasan hutan, 790.474 hektare dinyatakan dalam proses penyelesaian.

Sebanyak 436 perusahaan perkebunan sawit dilaporkan memiliki kebun tanpa izin dalam kawasan hutan. Hal ini mengemuka dalam Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 36/2025 yang merupakan tindak lanjut Perpres No. 5/2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan.

Menurutnya, keputusan tersebut menyebutkan bahwa area perkebunan seluas 790.474 hektare (ha) yang terindikasi berada di dalam kawasan hutan dinyatakan sedang dalam proses penyelesaian karena telah memenuhi kriteria Pasal 110A Undang-Undang Cipta Kerja.

Selain itu, terdapat area seluas 317.253 ha yang dinyatakan ditolak permohonan penyelesaiannya karena tidak memenuhi kriteria Pasal 110A UU Cipta Kerja.

Para pejuang lingkungan hidup

Selain sederet perusahaan yang terlibat menggarap kawasan hutan di Riau ini, seperti hasil temuan Center of Energy and Resources Indonesia (CERI) dan Lembaga Pencegah Perusak Hutan Indonesia (LPPHI) menemukan Surya Dumai Group (First Resource) melanggar Undang Undang menjadikan areal kawasan hutan jadi kebun sawit.

Delapan perusahaan yang tergabung dalam Surya Dumai Group (First Resource) diduga kuat sejak lama telah menanam sawit di kawasan hutan tanpa izin pelepasan hutan dengan total luasan mencapai 75.378 hektar.

Selain itu, sebagian lahan tersebut juga diduga tidak mengantongi hak guna usaha (HGU) dengan total luas 47.479 hektar.

"Surya Dumai Group setidak-tidaknya telah melanggar sejumlah peraturan perundang-undangan di negeri ini sejak Kamis (30/6/2022)," sebut Direktur Eksekutif CERI Yusri Usman.

Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan, dan Pemberantasan Perusakan Hutan, Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Pokok Pokok Agraria, Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha dan Undang-ndang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang Nasional.

Yusri Usman mengaku telah melayangkan konfirmasi tertulis ke CEO Surya Dumai Group Marthias Fangiono pada 25 Juni 2022. Namun, hingga tenggat waktu 28 Juni 2022, Marthias tak memberikan keterangan apa pun mengenai temuan tersebut.

"Kami telah meminta konfirmasi dan informasi tentang kewajiban semua perusahaan di bawah bendera Surya Dumai Group terkait izin pelepasan kawasan hutan dan HGU yang sejak dahulu hingga terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaran Kehutanan dan Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 2021 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Adminitratif dan Penerimaan Negara Bukan Pajak dari Denda Administatif yang Berasal dari Bidang Kehutanan. Tapi hingga saat ini mereka tidak membalasnya," ungkap Yusri.

Yusri menyebutkan, surat konfirmasi bernomor 08/EX//CERI/VI/2022 itu dilayangkan sesuai Undang-undang Nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dan Peraturan Pemerintah Nomor 34 tahun 2018 tentang Peran Serta Masyarakat Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Dikatakan Yusri, pihaknya juga sudah mengirimkan tembusan surat konfirmasi tersebut ke Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri ATR/ BPN, Dirjen Gakkum Kementerian LHK dan Dinas LHK Provinsi Riau.

Sejauh ini upaya mengonfirmasi manajemen PT Surya Dumai Grup (First Resource) terkait temuan CERI dan LPPHI ini tidak berhasil.

Sebelumnya, Kejaksaan Agung RI telah melakukan penyitaan sebanyak 5 kebun sawit milik PT Duta Palma Grup di Indragiri Hulu seluas 37 ribu hektar pada 22 Juni lalu.

Selain itu, penyidik Jampidsus Kejagung juga turut menyita dua unit pabrik kelapa sawit (PKS), perusaahana Darmex Agro Grup tersebut. Sita aset selanjutnya diserahkan penitipannya kepada PTP Nusantara V.

Beberapa tahun lalu, para pejuang lingkungan hidup seperti CERI dan LPPHI menempuh melakukan konfirmasi dengan perusahaan Surya Dumai Group yang memimiliki 8 anak perusahaan dalam katagori masih bermasalah di Riau.

Aktivis Lingkungan (CERI & LPPHI) menduga Surya Dumai Group (SDG) melanggar Udang Undang di Indonesia.

CERI dan LPPHI menduga Surya Dumai Group setidak-tidaknya telah melanggar sejumlah peraturan perundang-undangan di negeri ini. 

Di antaranya, Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan, dan Pemberantasan Perusakan Hutan, Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Pokok Pokok Agraria, Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha dan Undang-ndang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang Nasional.

Direktur Eksekutif CERI Yusri Usman mengaku telah melayangkan konfirmasi tertulis ke CEO Surya Dumai Group Marthias Fangiono pada 25 Juni 2022. Namun, hingga tenggat waktu 28 Juni 2022, Marthias tak memberikan keterangan apa pun mengenai temuan tersebut.

"Kami telah meminta konfirmasi dan informasi tentang kewajiban semua perusahaan di bawah bendera Surya Dumai Group terkait izin pelepasan kawasan hutan dan HGU yang sejak dahulu hingga terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaran Kehutanan dan Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 2021 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Adminitratif dan Penerimaan Negara Bukan Pajak dari Denda Administatif yang Berasal dari Bidang Kehutanan. Tapi hingga saat ini mereka tidak membalasnya," ungkap Yusri.

Yusri menyebutkan, surat konfirmasi bernomor 08/EX//CERI/VI/2022 itu dilayangkan sesuai Undang-undang Nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dan Peraturan Pemerintah Nomor 34 tahun 2018 tentang Peran Serta Masyarakat Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Dikatakan Yusri, pihaknya juga sudah mengirimkan tembusan surat konfirmasi tersebut ke Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri ATR/ BPN, Dirjen Gakkum Kementerian LHK dan Dinas LHK Provinsi Riau.

Sejauh ini pihak PT Surya Dumai Grup (First Resource) belum bisa menjelaskan terkait temuan CERI dan LPPHI ini.

Adapun daftar anak perusahaan Surya Dumai Group ini adalah:

1. PT. Ciliandra Perkasa

  • Lokasi: Kabupaten Kampar, Provinsi Riau.
  • Kerugian negara: Rp796,8 miliar.
  • Garapan tidak prosedural: 2.146,8 Ha (1.219,6 Ha di kawasan hutan).

2. PT. Perdana Inti Sawit Perkasa

  • Lokasi: Kabupaten Rokan Hulu, Provinsi Riau.
  • Kerugian negara: Rp192,6 miliar.
  • Garapan tidak prosedural: 2.723,77 Ha.

3. PT. Gerbang Sawit Indah

  • Lokasi: Kabupaten Rokan Hulu, Provinsi Riau.
  • Kerugian negara: Rp442,2 miliar.
  • Garapan tidak prosedural: 2.638,97 Ha (1.670,09 Ha di kawasan hutan).

4. PT. Surya Inti Sari Raya

  • Lokasi: Kota Pekanbaru dan Kabupaten Siak, Provinsi Riau.
  • Kerugian negara: Rp81,8 miliar.
  • Garapan tidak prosedural: 462,55 Ha (330,7 Ha di kawasan hutan).

5. PT. Bumi Sawit Perkasa

  • Lokasi: Kabupaten Kampar, Provinsi Riau.
  • Kerugian negara: Rp124,6 miliar.
  • Garapan tidak prosedural: 1.232,16 Ha (1.160,41 Ha di kawasan hutan).

6. PT. Setia Agrindo Lestari

  • Lokasi: Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau.
  • Kerugian negara: Rp38,5 miliar.
  • Garapan tidak prosedural: 1.132,2 Ha.

7. PT. Surya Dumai Agrindo

  • Lokasi: Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau.
  • Kerugian negara: Rp45 miliar.
  • Garapan tidak prosedural: 286,36 Ha (213,24 Ha di kawasan hutan).

8. PT. Muriniwood Indah Industri

  • Lokasi: Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau.
  • Kerugian negara: Rp206,9 miliar.
  • Garapan tidak prosedural: 1.612,2 Ha.

Sementara sebelumnya, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sudah pun menegaskan tidak ada lagi pemutihan sawit dalam kawasan hutan.

Melalui Website KLHK 15 September 2022, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menegaskan bahwa tidak ada pemutihan ataupun pengampunan bagi kepemilikan sawit dalam kawasan hutan.  

Hal ini ditegaskan Sekjen KLHK, Bambang Hendroyono, dalam sosialisasi implementasi UU Cipta Kerja nomor 11 tahun 2020 dan PP 24 tahun 2021 di Polda Riau.

Hadir dalam kegiatan ini Kapolda Riau, seluruh Polres, swasta, anggota DPD RI Instiawati Ayus dan para pihak terkait lainnya.   

''Dalam UUCK tidak ada pemutihan dan pengampunan, kita sepakat menyelesaikan terbangunnya usaha atau kegiatan sebelum UUCK di dalam kawasan hutan yang ditandai selesainya proses hukum administrasi. Seperti dalam pasal 110 B UUCK, kawasan yang kita selesaikan tetap akan berstatus kawasan hutan,'' jelas Bambang.

Ketua tim Satuan Pelaksanaan Pengawasan dan Pengendalian Implementasi (Satlakwasdal) UUCK ini mengatakan, pendekatan hukum yang digunakan memang ultimum remedium atau mengedepankan sanksi administratif. Namun bukan berarti sanksi hukum hilang begitu saja.

Pengenaan sanksi administratif digunakan untuk memberi ruang bagi kelompok masyarakat yang berada di dalam kawasan, contohnya akibat perubahan tata ruang, kebijakan ijin lokasi yang dikeluarkan Pemda, dan juga kelompok rakyat kecil yang telah bermukim lima tahun berturut-turut

''Mereka ini nanti akan diidentifikasi penyelesaiannya melalui pasal 110 A dan pasal 110 B. Kebijakan ini hanya berlaku bagi yang sudah beraktifitas dalam kawasan sebelum UUCK. Jika masih melakukan kegiatan baru dalam kawasan hutan setelah UUCK disahkan 2 November 2020, maka langsung dikenakan penegakan hukum dengan mengedepankan sanksi pidana, tidak berlaku lagi sanksi administratif,'' tegas Bambang.

Dalam UUCK jika sanksi administrasi dalam bentuk denda tidak dipenuhi, maka barulah melangkah ke sanksi penegakan hukum berikutnya, mulai dari pencabutan ijin dan paksaan pemerintah berupa penyitaan dan paksa badan.

''Pasal 110 A dan B hanya mengurusi kegiatan yang sudah terbangun dalam kawasan hutan. Jadi kalau ada yang bermain-main dalam kawasan hutan setelah UUCK tanpa memiliki perijinan atau persetujuan Menteri, segeralah berhenti karena pasti langsung dikenakan sanksi pidana,'' tegas Bambang.

Untuk masyarakat kecil atau kelompok tani yang anggotanya hanya menguasai lahan di bawah 5 ha dan bertempat tinggal lima tahun berturut-turut di dalam atau sekitar kawasan hutan, maka pada mereka tidak dikenakan sanksi administratif dan diberikan solusi dalam bentuk akses legal melalui penataan kawasan hutan, bisa dalam bentuk perhutanan sosial dan TORA.

''Untuk sawit yang sudah ada harus melakukan jangka benah dengan tanaman hutan dan diberikan kesempatan satu kali daur. UUCK memberikan kesempatan masyarakat dapatkan akses legalnya, untuk itu masyarakat harus cepat dapat ijin perhutanan sosial agar produktifitas tetap terjaga, begitu juga kawasan hutannya,'' kata Bambang.

Perhutanan sosial juga digunakan untuk penyelesaian sawit dalam kawasan HTI. Setelah melalui verifikasi teknis, akan memperoleh akses legal perhutanan sosial dengan skema kemitraan kehutanan dengan pemegang ijin HTI. 

''Inilah upaya kita agar kegiatan yang terbangun dalam kawasan hutan seperti masa lalu, tidak terjadi lagi ke depannya. Masyarakat yang berada dalam kawasan hutan dapat mengelola asalkan ada ijin kehutanan melalui hutan sosial. Banyak skemanya, sehingga masyarakat bisa sejahtera dan fungsi hutan tetap bisa dipertahankan,'' jelas Bambang.

Bambang mengajak Polda Riau bersama para pihak, khususnya swasta, termasuk NGO selaku perwakilan publik, memandang UUCK dengan arah pemahaman yang sama. Kepastian hukum menjadi bagian penting dari amanah UU.

Maka proses ke depan melalui UUCK adalah menyiapkan langkah-langkah memberi kepastian hukum. Meliputi kepastian kawasan, kepastian hukum, kepastian usaha, kepastian keberlangsungan usaha, dan kepastian keberlanjutan lingkungan.

''Semua kepastian ini terkandung dalam amanat UUCK, agar semuanya ke depan kembali patuh pada ketentuan yang ada,'' kata Bambang.

Karena pemerintah menyadari, akibat kebijakan di masa lalu, banyak usaha masyarakat bahkan pemukiman, yang sebelumnya berada di luar kawasan malah masuk ke dalam kawasan.

Sehingga mereka kehilangan hak legal atas kepemilikan pemukiman ataupun perkebunan. Bukan hanya masyarakat, ada swastanya juga, inilah yang coba diselesaikan oleh UUCK sebagai bentuk kehadiran negara. 

''Menata regulasi ini dan implementasinya jelas tidak mudah. Kami bekerja dengan supervisi bersama KPK, BPK, DPR dan publik. Tidak kerja sembarangan, tapi memegang regulasi,'' kata Bambang.

Implementasi UUCK bukan hanya kerja KLHK, namun kerja kolaborasi multipihak agar kesalahan masa lalu tidak terulang dalam hal legalitas lahan. Tujuannya agar kawasan hutan tetap terjaga dan rakyat sejahtera. 

''KLHK punya 10 Pokja dipimpin eselon II untuk langkah-langkah percepatan hutan sosial hingga ke tingkat tapak. UUCK ini kebijakan dasar untuk penyelesaian masalah dalam kawasan, jadi jangan ditawar. Bagi yang merasa punya bukti kuat, perkuatlah data untuk pengajuan permohonan dan lalui prosedurnya,'' tegas Bambang.

Sementara itu Kapolda Riau, M.Iqbal menyambut baik sosialisasi implementasi UUCK yang baru pertama kali digelar untuk jajaran Polda se Indonesia. Harapannya seluruh jajaran Polda Riau bersama masyarakat ikut aktif mengawal implementasi UUCK.

''Seluruh jajaran Polda Riau, arahan saya untuk segera konsolidasi melakukan penguatan tindaklanjut dari sosialisasi ini. Dengan Forkompimda, stakeholders, dan masyarakat, tentang upaya-upaya penyelidikan dan penyidikan penyelesaian kasus di tingkat tapak,'' kata Iqbal.

Bukan hanya represif, yang paling penting prefentif. Pencegahan lebih penting agar tidak terjadi lagi kerusakan-kerusakan di kawasan hutan.

''Semua Kapolres harus segera identifikasi dan selesaikan potensi-potensi konflik di wilayahnya. Terutama penyelesaian konflik yang terkait hutan, perkebunan, dll. Saya akan kawal ini langsung, 3 bulan ke depan harus ada inisiasi baru dan harus terlihat hasilnya,'' perintah Iqbal masa memimpin sebagai Kapolda Riau.

Perkebunan sawit dalam kawasan hutan

Tetapi kembali disebutkan Ir. Marganda Simamora SH, M.Si, Ketua Umum (Ketum) INPES, dari lebih dari 1 juta ha perkebunan sawit milik 436 perusahaan yang tidak berizin di dalam kawasan hutan, 790.474 hektare dinyatakan dalam proses penyelesaian.

Sebanyak 436 perusahaan perkebunan sawit dilaporkan memiliki kebun tanpa izin dalam kawasan hutan. Hal ini mengemuka dalam Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 36/2025 yang merupakan tindak lanjut Perpres No. 5/2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan.

Keputusan tersebut menyebutkan bahwa area perkebunan seluas 790.474 hektare (ha) yang terindikasi berada di dalam kawasan hutan dinyatakan sedang dalam proses penyelesaian karena telah memenuhi kriteria Pasal 110A Undang-Undang Cipta Kerja.

Selain itu, terdapat area seluas 317.253 ha yang dinyatakan ditolak permohonan penyelesaiannya karena tidak memenuhi kriteria Pasal 110A UU  Cipta Kerja.

"Terlepas dari status penyelesaian yang berlangsung, para aktivis itu mencatat bahwa perusahaan-perusahaan dalam daftar tersebut sejatinya telah dianggap telah mematuhi prinsip dan kriteria minyak sawit berkelanjutan."

"Seperti kriteria Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) dan (Roundtable Sustainable Palm Oil)."

Ketum Yayasan Sahabat Alam Rimba (Salamba) itu juga mengatakan bahwa Kepmenhut 36/2025 merupakan bagian dari proses transparansi yang dilakukan pemerintah atas penyelesaian sawit dalam kawasan hutan.

Dia memberi catatan soal proses lanjutan yang akan ditempuh, terutama untuk menyelesaikan permasalahan status kebun yang penyelesaiannya ditolak.

“Apakah akan diambil alih dan dikelola BUMN atau akan dihutankan kembali. Jika dibiarkan tanpa pengawasan maka dikhawatirkan akan dimanfaatkan atau menjadi ‘bancakan’ bagi kelompok tertentu yang tidak bertanggung jawab,” tanya Aktivis Ganda Mora ini.

Ganda pun mendesak pengambilan langkah penegakan hukum pidana kehutanan terhadap perusahaan perkebunan tersebut.

Ganda mengatakan komitmen dan implementasi dalam mendorong prinsip sawit berkelanjutan dalam tata kelola perkebunan perusahaan sawit patut dipertanyakan.

Hal ini tak lepas dari temuan pengelolaan kebun ilegal di kawasan hutan terlepas dari sertifikat ISPO dan RSPO yang telah dikantongi perusahaan.

Hasil investigasi dan rekapitulasi SALMBA dari 15 Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan memperlihatkan bahwa terdapat 11 grup besar anggota RSPO di Provinsi Riau dengan total luasan mencapai 59.817,70 ha.

Sementara di Provinsi Kalimantan Tengah, terdapat 10 grup besar sawit dengan total luasan mencapai 134.319,63 ha.

Ganda meminta RSPO untuk mengambil tindakan tegas atas indikasi aktivitas perkebunan sawit ilegal anggotanya di kawasan hutan misal.

Salah satu langkah yang disarankan diambil adalah pembekuan status keanggotaan dan sertifikat keberlanjutan perusahaan yang membuka kawasan hutan tanpa izin.

“Bagi Pemerintah Indonesia juga perlu melakukan audit terhadap perusahaan-perusahaan yang memiliki sertifikat ISPO,” tambah Ganda.

Ia pun menilai perubahan UU Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan melalui UU Cipta Kerja melalui pasal-pasal sisipan 110A dan 110B menimbulkan ketidakpastian hukum dalam penyelesaian masalah perkebunan sawit dalam kawasan hutan.

“Ketidakpastian berupa apakah pemidanaan atau pemutihan ditempuh melalui sanksi administratif berupa pembayaran denda,” katanya.

Menurut Ganda Mora kehadiran pasal-pasal tersebut menimbulkan tumpang tindih dengan mekanisme penyelesaian penguasaan tanah di kawasan hutan bagi masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar kawasan hutan, hanya saja Iaberpandangan hal itu bakal berdampak buruk bagi diplomasi sawit dan komitmen Indonesia dalam menghentikan deforestasi. 

Dia pun menyinggung soal mulainya pihak Kejaksaan Agung (Kejagung) disebut sebut mulai membidik dugaan manipulasi denda perkebunan sawit di kawasan hutan.

"Jika pihak Kejagung tetap melakukan denda perkebunan sawit di kawasan hutan, agar perhitungan denda keterlambatan melibatkan banyak pihak, Kejagung, Kepolisian, Yayasan atau LSM untuk dapat meghitung secara transparansi kerugian negara atas denda dan pajak perkebunan dalam kelapa sawit," sebutnya.

Permainan denda ini berlangsung dengan penerapan dua aturan yang berlaku bersamaan, yakni melalui SK Menteri LHK Nomor 661 Tahun 2023 dan SK Menteri LHK Nomor 815 Tahun 2023.

SK 661 menghitung denda berdasarkan luas kawasan hutan dan nilai kekayaan alam yang rusak, sedangkan SK 815 hanya menghitung denda dari luas lahan sawit.

Pemutihan lahan sawit celah merusak hutan

Kebijakan pemerintah mengampuni atau melakukan pemutihan terhadap lahan sawit di kawasan hutan, langkah tersebut dapat menimbulkan implikasi ketidakpastian hukum, kata Ganda Mora (sebutan nama sehari-harinya) itu mengungkapkan.

"Kami meminta agar perhitungan denda keterlambatan melibatkan banyak pihak, Kejagung, Kepolisian, Yayasan atau LSM untuk dapat meghitung secara transparansi kerugian negara atas denda dan pajak peekebunan dalam kelapa sawit. Bisa saja mereka mengitung tidak tepat, misalnya umur tananan, profuksi perbulan dan potensi tutupan lahan sehingga pwmbayaran lebih kecil dan merugikan negara," kata dia.

Menurutnya, selama ini pemerintah sudah berencana melakukan pengampunan atau pemutihan lahan sawit di kawasan hutan melalui mekanisme mekanisme Pasal 110A dan 110B Undang-undang atau UU Cipta Kerja.

Berdasarkan beleid tersebut, kata dia, perusahaan yang kegiatan usahanya sudah terbangun di wilayah hutan produksi, bisa mengajukan pelepasan atau pemutihan. Artinya, korporasi bisa tetap beroperasi setelah membayar denda administratif.

Menurut Ganda Mora (nama sebutan sehari harinya) ini menambahkan, seharusnya proses penyelesaian lahan sawit di kawasan hutan dilakukan melalui mekanisme yang diatur dalam UU Pencegahan dan Pemberantasan Pengrusakan Hutan (UU P3H).

"Uji materi pasal pemutihan sawit di dalam kawasan hutan ini kepada Mahkamah Agung hasilnya juga tidak diketahui." 

Para aktivis juga ingin memastikan agar perusahaan sawit tidak mengabaikan tanggung jawab atas ketidakpatuhan dan pelanggaran yang dilakukan sejak bertahun-tahun lalu. 

Ganda pun menilai proses penyelesaian sawit dalam kawasan sangat tertutup dan tidak transparan. Pasalnya, publik tidak diberikan informasi yang cukup untuk mengetahui sejauh mana perkembangan proses ini dalam perang masyarakat sipil melakukan mengawasi atas proses yang berlangsung. 

Bahkan Surat Keputusan (SK) yang dikeluarkan KLHK ihwal subjek hukum yang terindikasi berada dalam kawasan hutan dan diharapkan menyelesaikan melalui mekanisme Pasal 110 A dan 110 B. Data ini pun tidak dapat diakses oleh publik. 

Menurutnya, kebijakan pemutihan sawit dalam kawasan hutan menimbulkan implikasi ketidakpastian hukum. Hal ini, ujarnya, dapat menciptakan dampak tambahan terkait penyelesaian permasalahan tanah masyarakat di kawasan hutan. 

Seharusnya, pengakuan hak atas tanah masyarakat dan reforma agraria tidak merujuk ke aturan tentang perizinan berusaha sebagaimana diatur di dalam UU Cipta Kerja.

Ia berpendapat, aturan pelaksanaan lewat mekanisme ini justru menghambat pencapaian reforma agraria dan peremajaan sawit rakyat. 

Guna mengejar pencapaian perkebunan sawit berkelanjutan, menurutnya, perlu didukung dengan pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik. Salah satunya dengan melibatkan partisipasi publik secara lebih bermakna.

"Itu akan menciptakan transformasi sawit di mana perusahaan perkebunan tidak lagi ekspansi lahan ke kawasan hutan, melainkan percepatan penganekaragaman produk olahan sawit," kata Ganda.

Adapun batas waktu penyelesaian sawit dalam kawasan hutan telah melewati batas akhir. Menurut amanat Undang-Undang Penetapan Perpu Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang (UU Penetapan Perpu CK) bahwa pada 2 November 2023 lalu merupakan batas waktu penyelesaian persoalan sawit ilegal dalam kawasan hutan baik melalui dua tipologi 110 A maupun 110 B. 

Terkini, Ganda Mora menyatakan bahwa telah teridentifikasi sebanyak 118 perusahaan sawit yang terindikasi menjalankan bisnis dalam kawasan hutan dan sudah mengurus izin. Selain juga ada sawit illegal berada dalam kawasan Hutan Lindung (HL) dan Hutan Konservasi (HK) di Riau yang pelaku usaha harus membayar denda administratif dan biaya pemulihan ke negara. Lalu dikembalikan ke negara berdasarkan Pasal 110 B UU Cipta Kerja.

Berikut perusahaan yang terdata diantarannya:

Adi, dkk. 
Total permohonan: 907 hektare
Berproses: 907 hektare
Ditolak: -

2. PT. Adimulia Agrolestari
Total permohonan: 374 hektare
Berproses: 102 hektare
Ditolak: 272 hektare

3. PT. Aditya Palma Nusantara
Total permohonan: 795 hektare
Berproses: 744 hektare
Ditolak: 51 hektare

4. PT. Agro Mitra Rokan
Total permohonan: 3.605 hektare
Berproses: 380 hektare
Ditolak: 3.225 hektare

5. PT. Agro Sarimas Indonesia
Total permohonan: 4.661 hektare
Berproses: 1.636 hektare
Ditolak: 3.298 hektare

6. PT. Air Jernih
Total permohonan: 397 hektare
Berproses: 370 hektare
Ditolak: 27 hektare

7. PT. Air Kampar
Total permohonan: 129 hektare
Berproses: 128 hektare
Ditolak: 1 hektare

8. PT. Anugerah Agro Sawit perkasa
Total permohonan: 48 hektare
Berproses: -
Ditolak: 48 hektare

9. PT. Arindo Trisejahtra (1) 
Total permohonan: 28 hektare
Berproses: 28 hektare
Ditolak: -

10. PT. Arvena Sepakat
Total permohonan: 20 hektare
Berproses: - 
Ditolak: 20 hektare

11. PT. Asia Sawit Makmur Jaya
Total permohonan: 50 hektare
Berproses: 47 hektare
Ditolak: 3 hektare

PT. Bhara Induk
Total permohonan: 180 hektare
Berproses: 175 hektare
Ditolak: 5 hektare

First Resorces Group Ltd (Ex PT Surya Dumai Industri Group)
Darmex (Duta Palma)
PT Tunggal Perkasa Plantation (TPP)
PT Tribakti Sari Mas
PT Peputra Master Raya
PT Ivomas Group
PT Torganda 
dll
(*)

Tags : sawit, CPO, minyak sawit, hutan, ispo, UU Cipta Kerja, rspo, lahan kebun sawit, surya dumai group, riau, lingkungan alam, perusahaan perkebunan sawit, kebun sawit di kawasan hutan, sorotan, riaupagi.com,