PEKANBARU, RIAUPAGI.COM - Yayasan Sahabat Alam Rimba (Salamba) menilai Pulau Rupat sebagai kawasan strategis pariwisata nasional telah dikuasai oleh segelintir perusahaan.
"Aktivis Salamba mencatat ada 7 perusahaan yang menguasai daratan pulau Rupat, Bengkalis."
"Wilayah daratan pulau terdepan NKRI itu telah 'di klapling-kapling' oleh sejumlah perusahaan kehutanan dan perkebunan kelapa sawit, tetapi arah nya seakan telah dihancurkan dan dirusak di darat maupun di laut," kata Ir Ganda Mora M.Si, Pendiri Yayasan Sahabat Alam Rimba (Salamba) dalam diskusi cepat nya masalah lingkungan terjadi dan terbaru di daerah, malam Sabtu (1/6) kemarin.
Salamba mencatat sedikitnya ada tujuh perusahaan yang menguasai hampir 61 persen wilayah darat Pulau Rupat.
Perusahaan mengelola daratan untuk hutan tanaman industri (HTI) dan perkebunan kelapa sawit bercokol di daerah penghasil ikan terubuk itu.
Ketujuh korporasi tersebut yakni PT Sumatera Riang Lestari (SRL), PT Marita Makmur Jaya (MMJ), PT Sarpindo Graha Sawit Tani (SGST), PT Panca Citra Rupat (PCR), PT Bina Rupat Sepang Lestari (BRSL), PT Sumber Mutiara Indah Perdana (SMIP) dan satu perusahaan yang tak diketahui tetapi beroperasi di Teluk Lencah, Mesin, Hutan Panjang, Tanjung Kapal, Darul Aman dan Titi Akar.
Pulau Rupat
Sementara, di wilayah laut Pulau Rupat keberadaan perusahaan tambang pasir PT Logo Mas Utama (LMU) telah menjadi ancaman nyata terhadap ekosistem laut dan pesisir.
Ganda menilai telah terjadi secara nyata masalah ketimpangan penguasaan ruang di Pulau Rupat antara korporasi dengan rakyat.
Selain itu, kerap pula terjadi kebakaran hutan dan serta penurunan muka tanah serta abrasi yang serius.
"Masalah sosial muncul yaitu konflik agraria yang disebabkan keberadaan korporasi ekstraktif, “ kata Ganda.
Pihaknya meminta Gubernur Riau dan pemerintah pusat untuk menghentikan operasional PT LMU dan mencabut perizinan perusahaan tersebut.
"PT LMU juga sudah ditolak oleh masyarakat dan nelayan. Pemerintah harus mencabut izinnya," kata dia.
Ia menyatakan Pulau Rupat kini juga telah dihancurkan ekosistem laut dan pesisir dengan maraknya aktivitas penambangan pasir laut oleh PT LMU.
Penambangan ini sudah dilakukan sejak 2021.
“Sejak saat itu, hasil tangkapan nelayan menjadi berkurang. Ekosistem laut pun rusak akibat aktivitas tambang pasir tersebut," terang Ganda.
Menurutnya, Pulau Rupat yang kecil serta berbatasan langsung dengan negara jiran Malaysia kini menghadapi persoalan lingkungan yang sangat serius.
Kebun sawit di daratan pulau Rupat
Jadi Rupat dan pulau pulau kecil lainnya di pesisir Riau itu, menurutnya kini sudah menjadi sasaran perusakan dan pencemaran lingkungan oleh korporasi.
Kerugian-kerugian yang bakal muncul
Pulau kecil atau kawasan pesisir penuh dengan hamparan kebun sawit terjadi di berbagai penjuru negeri ini.
Ruang hidup warga terhimpit. Berbagai masalah pun muncul mendera warga antara lain, krisis air bersih, lahan pertanian tergerus, ekosistem perairan baik sungai dan laut rusak, sampai hama seperti babi hutan masuk kampung dan meludes lahan pertanian warga, kata Ganda Mora lagi.
Menurutnya, kondisi ini baru segelintir dampak kala pulau-pulau kecil dan pesisir di negeri ini masuk investasi ekstraktif skala besar seperti perkebunan sawit.
Menurutnya, masyarakat pesisir dan nelayan akan ikut terancam serius dari perkebunan sawit skala besar.
Dia mencontohkan, kasus dampingan Kiara di Langkat, Sumatera Utara, ekspansi sawit menghancurkan hutan mangrove hingga berdampak pada kehidupan nelayan.
"Para pemodal mengganti hutan mangrove di Langkat jadi kebun sawit. Sayangnya, dalam masalah ini Kementerian Kelautan dan Perikanan tidak berposisi untuk menyelesaikan kasus seperti ini. Padahal, fungsi pesisir dan pulau kecil sangat penting".
Jadi pulau Rupat, misalnya, memiliki fungsi secara hidrologis. Eksosistem hutan di pulau kecil, untuk menjaga sistem tata air. Kalau hutan-hutan di pesisir maupun pulau kecil berubah jadi kebun sawit, bakal memunculkan masalah serius.
"Saat ini pulau Rupat merupakan pulau kecil dengan luas lebih kurang 1.500 km2 dan penduduk 55.000 jiwa itu sudah terkapling-kapling dalam berbagai peruntukan industri skala besar," terang Ganda.
Di sini, katanya, ada data tidak sinkron. Meskipun begitu, dengan ribuan hektar sawit itu saja sudah 10% daratan Rupat beralih jadi perkebunan sawit besar.
Rumah pemondokan di tengah kebun sawit.
Dampaknya, kata Ganda, hutan di pulau kecil jadi korban. Laju deforestasi, degradasi lahan sampai ke konflik agraria terjadi.
Lebih parah lagi, perusahaan juga menanam sawit di pesisir pantai. Dari sisi ekologi, katanya, kalau mangrove terbabat bisa menimbulkan dampak lebih besar bagi pesisir dengan abrasi, sampai banjir rob.
Pulau-pulau kecil di Bengkalis itu, tak hanya terancam, seperti kebun sawit, tambang pasir laut, mulai marak sekarang pertambangan skala besar. (*)
Tags : pulau rupat, bengkalis, perusahaan perkebunan sawit bercokol di pulau rupat, pulau rpat berbatasan malaysia, pulau rupat kawasan strategis pariwisata nasional, lingkungan pulau rupat,