Sorotan   2021/10/12 15:24 WIB

Alam Liar dan Hutan Mangrove di Inhil, Punya 'Lutung' yang Hampir Punah

Alam Liar dan Hutan Mangrove di Inhil, Punya 'Lutung' yang Hampir Punah
Menyusuri aliran sungai Rawa lingkungan di alam liar bersama hutan-hutan mangrove yang masih terdapat Lutung.

"Lingkungan di alam liar bersama hutan-hutan mangrove masih terdapat Lutung disekitar Sungai Rawa, Sungai Piring, Kecamatan Batang Tuaka, Indragiri Hilir [Inhil], Riau"

etiap kali menelusuri dipedalaman sungai Rawa, Desa Sungai Piring, Kecamatan Batang Tuaka, Indragiri Hilir [Inhil] dengan perahu, mata kita harus tajam mengawasi sekitarnya, mencari tanda kehadiran Lutung yang menghuni hutan gambut itu.

Jalan kampung pedalaman Sungai Rawa melalui alur sungai masih rentan dan berbahaya, menuju desa itu masih belum diaspal. Jalan satu-satunya dengan menggunakan transportasi air yang berwana kecoklatan, jika hujan turun, banjir kerap kali menerjang beberapa rumah di sekitar desa.

Kabupaten Indragiri Hilir [Inhil] umumnya terletak di bagian tengah dan hilir beberapa daerah aliran sungai (DAS). Sungai-sungai besar yang melewati Kabupaten Indragiri Hilir tersebut antara lain: Sungai Reteh, Gangsal, Indragiri Tuaka, Gaung Anak Serka, Batang Tumu, Guntung dan Kateman. Sungai-sungai tersebut umumnya bermuara ke Pantai Timur Sumatera.

Untuk mencapai kampung pedalaman Sungai Rawa ini, butuh waktu 5 jam perjalanan dari Kota Sungai Piring, yang daerah itu terpisahkan oleh aliran sungai besar Batang Tuaka.

Akan tetapi menuju desa itu tentu saja melewati medan yang berat, disekeliling lingkungan itu masih banyak dipenuhi hutan mangrove dan perbukitan. Kabupaten Indragiri Hilir sendiri sebenarnya berada di ujung Timur Provinsi Riau, tepat berbatasan dengan Kabupaten Indragiri Hulu [Inhu] dan Provinsi Jambi.

Warga kampung pedalaman Sungai Rawa menyebut diri mereka sebagai 'Manusia Rawa' [ahli pemanjat kelapa], juga merupakan suku Banjar dan Bugis yang telah menetap begitu lama di Inhil yang konon sudah mendiami wilayah tersebut sejak sebelum Indonesia merdeka.

Kebanyakan dari mereka menggantungkan hidup dari pendapatan menjaring ikan di rawa dan sungai yang juga menggantungkan hidupnya dari berkebun kelapa kampung yang dijadikan kopra.

Perjalanan riapagi.com mendatangi kampung pedalaman Sungai Rawa belum lama ini bertemu dengan penduduk desa setempat Amran, yang hidupnya selain sebagai petani kopra juga menjala ikan di sungai dan juga mengaku bisa menjinakkan Lutung liar.

Usianya yang tak lagi muda, Amran [60] yang rambutnya sudah mulai ditumbuhi uban memutih disekitar telinga dan dengan wajah ditutupi kumis serta berewok, Amran memperkenalkan diri.

"Saya Amran," dia mengeja namanya dengan memperagakan huruf demi huruf di telapak tangannya.

Sejenak kemudian, dia menceritakan seni memancing dan menjala ikan kesukaanya dengan membuat gerakan yang sepertinya pekerjaan itu sudah dilakoni menahun.

"Di ujung jalan sana ada Lutung, mereka besar dan suka mematahkan ranting pohon untuk mengambil makanan," kata Amran, yang sedari tadi mengawal menuju desa melalui alur sungai pada kiri kanan hutan banyak bergelantungan lutung dan monyet berekor panjang bahkan ada yang kejebur kedalam sungai.

Setiap hari, Amran melakukan patroli mandiri di kawasan hutan rawa dan mangrove untuk menengok dan mengawasi Lutung liar yang tinggal di sana.

Sangat jarang turis berkunjung ke desanya, Amran pun mengaku siap jika ada turis datang akan memandu para wisatawan masuk kampung pedalaman Sungai Rawa yang sudah dipenuhi kelapa kampung maupun kedalam hutan mangrove.

Amran, yang sehari-hari bekerja sebagai nelayan dan bertani kelapa, mengaku memiliki empat anak yang sudah besar dan dewasa, biasanya juga mendampingi dirinya mengupas kelapa dijadikan kopra untuk dijual ke para tengkulak [penampung kopra] di Sungai Piring.

Pagi itu, perjalanan menjelajahi Sungai Rawa dimulai. Waktu menunjukkan pukul 06.00 WIB. Amran mengemasi alat jaring dan sejumlah perbekalan yang diletakkan dalam perahu kecil terbuat dari kayu, lalu berpamitan kepada istrinya.

Dari pintu belakang rumahnya yang menjorok ke sungai, dia melompat naik ke perahu motor yang ditambatkan di tepi aliran parit. Baru 20 menit perahu berjalan, Amran menengok ke arah kiri lalu berteriak.

"Ha! Ha! Ha!"

Amran segera menepikan perahu lalu meloncat ke daratan. Dia berjalan bolak-balik sambil berteriak dan menunjuk-nunjuk ke atas pohon.

"Tadi di situ dia melihat ada Lutung, tapi cuma sebentar dan [orang utan itu] pergi menjauh," Amran menjelaskan.

Perjalanan pun dilanjutkan kembali.

Hutan mangrove di aliran Sungai Rawa terbentang seluas nyaris ribuan hektar. Hutan rawa gambut ini juga menjadi bagian dari Kawasan Ekosistem. Sungai Rawa tercatat sebagai wilayah populasi padat Lutung di Sumatra.

Amran, yang boleh dibilang dijuluki 'pawang Lutung' karena kemampuannya untuk memanggil Lutung liar, layaknya teman.

Namun setelah tiga jam menyusuri sungai dengan perahu motor ini, belum satu pun Lutung menghampiri.

Perahu membelah sungai rawa yang airnya semula kecoklat-coklatan, menjadi berwarna hitam. Pepohonan menjulang, menutupi sisi kiri dan kanan sampan.

Seperti disebutkan salah satu teman aktivis lingkungan Eka Nusa, Dahrul Rangkuti, di kabupaten Indragiri Hilir sendiri juga kaya akan flora dan faunanya, misalnya penghuni hutan terdiri dari:  

Bangau putih Ibis, Bangau tongtong, Bubut, Elang bondol, Elang laut, Elang laut perut putih, Burung layang-layang, Enggang, Gagak, Kowak merah, Kutilang, Kuntul kecil, Raja udang, Pipit, Tekukur, Wilwo, Cangak sumatera, Kokokan laut, Kokokan, Kuntul, Kuntul kecil, Alap-alap, Camar kecil, Camar Sterno, Cerucuk, Lutung, Monyet ekor, panjang, Kalong, Ular cincin mas, Ular mangrove, Ular air. 

Namun kembali melihat kegesitan Amran sambil memegang kendali perahu, mata Amran masih tajam mengawasi sekelilingnya.

Sesekali Amran berhenti saat di ujung perahu memberi tanda silang dengan tangannya. "Pohon itu ada buahnya. Biasanya ada orang utan yang datang mencari makan ke sini," jelasnya yang wajahnya mulai tampak lesu. 

Amran pun kemudian sepakat untuk mencari tempat teduh di bagian lain rawa. "Kita ke arah sana, di sana ada pondok pencari lele. Kita istirahat dulu, sambil makan siang," kata Amran diapun masuk sendiri ke dalam hutan untuk memanggil orang utan.

Amran membalikkan arah perahu dengan tak bersemangat, namun matanya tetap tajam menyapu pandangan ke arah pepohonan. Baru sebentar berpindah tempat, sekelebat bayangan terlihat di antara dua batang pohon.

Raut wajah Amran seketika kembali bersemangat. Dia berteriak dan mengayunkan tangannya, memberi isyarat kepada Lutung itu supaya mendekat.

"Itu induk Lutung. Dia takut, makanya tidak mau mendekat karena sedang menggendong dua bayinya," Amran menjelaskan dengan bahasa isyarat.

"Karena kita ramai, dikira mau ambil bayi dia. Makanya dia pindah ke pohon lain," 

Menurut Amran, biasanya Lutung akan datang mendekat ketika dipanggil. Namun karena sekarang marak terjadi pengambilan anak Lutung oleh pemburu, primata itu mungkin merasa takut.

"Dulu, Si Hariadi sering datang membawa makanan seperti tebu dan lainnya. Kalau dua sudah datang, Lutung pasti merapat ke dia," ujar Amran.

"Itulah uniknya Si Hariadi [salah seorang temanya]. Mungkin kalau kita yang teriak, Lutung malah kabur."

Dengan umurnya yang tak muda lagi, Amran hanya mengenyam pendidikan hingga kelas enam sekolah dasar inipun mengaku tidak pernah belajar bahasa isyarat secara formal, komunikasi dengan keluarga dilakukannya dengan bahasa logat daerah Banjar seadanya.

Tapi keterbatasan ini kemudian menjadi kelebihan tersendiri bagi Amran. Sejak dia mulai masuk ke hutan pada 2015, ada sembilan Lutung yang dekat dengannya.

"Mulanya dia coba teriakin dan coba mendekat. Lutung itu pun suka dengan dia. Beberapa hari kemudian dia bawa makanan, seperti tebu."

"Sembilan Lutung akan datang kalau saya ke sini membawa makanan," kata Amran, menambahkan bahwa sekarang membawa makanan untuk Lutung dilarang.

"Makanya dia semakin sayang pada Lutung. Dan Lutung pun sayang sama dia."

Dalam perjalanan menuju pondok pemancing lele, Amran melihat satu lagi Lutung. Ini Lutung jantan dan lebih muda dari yang ditemui sebelumnya, kata dia.

"Dia sedang mematahkan ranting untuk mencari makan," sebut Amran.

Wajahnya kini tampak begitu bahagia. Dia tertawa kegirangan dan meloncat-loncat di atas perahu.

Ekosistem sungai di Indragiri Hilir

Ekosistem sungai di Indragiri Hilir berasal dari DAS Reteh, DAS Batang Indragiri, DAS Gaung Anak Serka, DAS Batang Tumu, dan DAS Gaung Kateman, kata Dahrul Rangkuti menyikapi wilayah daerah itu yang dikenal dengan sebutan seribu parit.

Adapun sungai-sungai utama untuk DAS tersebut adalah Sungai Reteh, Sungai Batang Indragiri, Sungai Gaung  Anak Serka, Sungai Batang Tumu, Sungai Kateman dan Sungai Danai sebagai sungai utama DAS Kateman, kata Dahrul pula.

Ia menerangkan, ada lima DAS dengan lima buah sistem sungai besar dan beberapa sungai kecil sangat berpengaruh terhadap bentuk formasi pesisir pantai, formasi tumbuhan yang mendominasi ekosistem hutan, habitat fauna, ekologi mangrove, ekologi rawa, kualitas air laut dan pemanfaatan sumberdaya pesisir dan mangrove oleh manusia.

"Umumnya sungai-sungai besar mempunyai warna air yang coklat, karena merupakan air rawa yang berasal dari air limpahan banjir dan pasang yang terjebak di rawa belakang dan beberapa cekungan di dataran lumpur banjir dan daerah pantai," katanya. 

"Air permukaan di daerah Tembilahan Hulu berwarna coklat keruh, rasa tanah agak kelat. Air tersebut merupakan air hujan yang jatuh ke permukaan tanah berlumpur yang tergenang pada cekungan (kubangan) atau merupakan isapan dari air Sungai Indragiri tatkala pasang naik."

"Kualitas air sungai sangat ditentukan oleh keadaan tanah dan kualitas lingkungan daerah alirannya," katanya lagi.

Menurut Dahrul, sungai-sungai besar misalnya Sungai Indragiri mempunyai daerah aliran yang sebagian besar di Bukit Barisan Sumatera Barat, membawa sedimen aluvial dari formasi tersier pegunungan.

"Tetapi sungai-sungai disebut sungai berair coklat dikarenakan memiliki tingkat kekeruhan yang cukup tinggi dan mengandung banyak bahan organik dan anorganik. Berbeda dengan Sungai Gaung dan Sungai Guntung yang berasal dari daerah gambut dalam yang kondisi tanahnya miskin unsur hara (oligotropik)," sebutnya.

Dahrul menilai, sungai-sungai ini biasa disebut sungai berair hitam disebabkan warna airnya hitam kopi bercampur dengan larutan asam fenol.

"DAS-DAS kecil tersebut mengangkut air masam, miskin hara sehingga kurang potensial untuk pertanian dan air minum dibandingkan dengan sungai-sungai besar berwarna coklat (Sungai Reteh) yang berasal baik dari daerah rawa gambut (Sungai Gangsal) maupun bukit-bukit (anak Sungai Reteh) oleh karena itu kondisi airnya merupakan percampuran kedua tipe ini," terangnya.

"Rawa-rawa di daerah Riau merupakan parameter utama."

"Sepanjang Sungai Indragiri dan sebagian Sungai Reteh mempunyai deposit-deposit aluvial yang sangat berpotensi untuk pertanian dan karena itu di daerah-daerah ini sudah lama dikonversikan oleh penduduk Bugis dan Banjar."

"Sedangkan lahan gambut di sepanjang Sungai Gaung, Sungai Kateman sudah dibuka untuk perkebunan dan eksploitasi kayu," hasil pantauannya belakangan ini.

Tetapi Dahrul melihat, di Inhil terdapat kawasan konservasi merupakan habitat tempat perlindungan terhadap keanekaragaman hayati yang ada. Salah satu bentuk pengelolaan kawasan konservasi menggambarkan fungsi serta pemanfaatannya.

Bentuk kawasasan konservasi seperti Taman Nasional (TN) dan di Indragiri Hilir juga memiliki wilayah yang termasuk kedalam kawasan konservasi yaitu Taman Nasional Bukit Tigapuluh [TNBT].

"TNBT memiliki jenis-jenis yang dilindungi seperti meranti, tengkawang, jelutung, Tembesu, juga memiliki tidak kurang 1500 spesies tumbuhan berupa jenis jenis komersial, penghasil kayu, kulit, getah, buah dan obat, juga terdapat jenis-jenis langka seperti bunga bangkai dan cendawan mukariman," terangnya. 

Namun kembali seperti disebutkan Amran tentang konservasi di Inhil, terhadap kehidupan Lutung diakuinya mulai menyusut bahkan tidak jarang ditemukan Lutung mati di kawasan hutan disepanjang Sungai Rawa.

Amran juga mengaku sering menemukan jasadnya. "Itu adalah satu dari sembilan lutung yang sering diberinya makanan," kata dia.

"Lutung-lutung ini sering saya kasih makan itu tiba-tiba mati. Saya sedih juga sampai tubuh ikut bergetar karena marah ketika menemukannya di dalam air," kenang Amran.

"Menggunakan dayung perahu, saya membalikkan badan lutung liar itu. Baunya sudah sangat menyengat. Ada luka di bahu bagian kiri dan kanan, dan di bagian paha juga ada luka goresan," dia melanjutkan.

Peristiwa ini membuat Amran semakin kesal pada pembalak pembalak liar. "Saya melarang orang-orang menebang kayu menggunakan gergaji mesin, karena bisa membuat satwa liar yang ada dalam hutan marah dan lapar," ujar Amran.

"Tapi kemudian saya diusir oleh para penebang. Malah saya diancam bunuh. Namun saya berhasil kabur dan pulang ke kampung," kisah Amran mengenangnya. 

Meski begitu, Amran tak kapok menegur para pembalak liar. Jika bertemu para pembalak di warung kopi di kampungnya, dia akan menyilangkan tangan pada mereka, tanda tak setuju dengan penebangan hutan.

"Sampai rambut memutih ini, saya akan tetap mencintai lutung dan satwa lainya akan bolak-balik ke hutan untuk melihat kondisi mereka," kata Amran, sambil meletakkan tangannya di dada. (*)

Tags : Alam Liar, Lingkungan, Lutung, Sungai Rawa, Inhil, Sorotan, Pelestarian Alam di Riau,