"Untuk pertama kali dalam kurun waktu lima tahun terakhir terjadi alih fungsi hutan mendorong harimau turun ke permukiman penduduk"
onflik harimau-manusia di Riau, sudah teridentifikasi sejak pertengahan Februari hingga saat ini. Kamera jebakan merekam harimau yang terdiri dari satu induk dan dua pra dewasa. tim Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) kerap melihat harimau berkeliaran diwilayah pemukiman warga dan memangsa ternak.
Sepanjang tahun 2020 misalnya, sudah tercatat delapan kasus konflik antara harimau dan manusia seperti di provinsi Aceh, angka yang tinggi dibandingkan sembilan kasus yang terekam sepanjang 2019.
Warga takut keluar rumah
Hingga saat ini, warga yang berada di wilayah jejak harimau masih harus berdiam diri di rumah dan belum berani untuk kembali bekerja di kebun.
Mereka berharap agar pihak terkait dapat segera menangkap harimau yang berkeliaran disekitar wilayah pemukiman penduduk.
"Ada sejumlah ternak seperti sapi dan kambing yang dimakan oleh harimau, karena kondisi ini kita masih belum berani untuk kembali berkebun," kata Solihin, Warga Peranap, Inhu.
Sementara Didi, warga Siberida mengaku sudah beberapa kali melihat keberadaan harimau di kawasan perkebunan sawit, namun baru satu anak harimau yang ditangkap. Sementara itu, satu induk, satu jantan dan satu anaknya lagi yang belum ditangkap mengamuk.
"Yang jelas harimau itu tidak berbahaya bagi manusia, karena manusia tidak mengganggu dia. Tapi kudengar satu sudah ditangkap, seharusnya tiga lagi juga harus segera ditangkap, kalau tidak bisa berbahaya bagi manusia," kata Didi.
Didid menjelaskan, peristiwa harimau memakan ternak dianggap wajar lantaran itu adalah makanannya.
"Yang salah itu pemilik ternak yang membiarkan peliharaannya bermain bebas tanpa pengawasan."
Di Desa Singgersing, dan Darul Makmur di Kecamatan Sultan Daulat, Kota Subulussalam, Provinsi Aceh, warga disini jugamengalami hal sama.
"Kami sudah melakukan berbagai upaya dari patroli dan imbauan kepada masyarakat, namun harimau itu masih berkeliaran, satu di antaranya mengalami luka jerat di kaki bagian depan," kata Agus Arianto Kepala BKSDA Aceh Sabtu (7/3) lalu.
Agus mengatakan, sampai saat ini masyarakat secara swadaya bersama dengan tim penyelamatan harimau masih berupaya menangkap dua harimau yang masih berkeliaran dekat permukiman warga dengan menggunakan perangkap kandang. Satu di antaranya terluka di bagian kaki yang diduga karena jerat.
"Secara jujur kita mengatakan belum memiliki data (terbaru) jumlah harimau, namun data terakhir tahun 2015 (menunjukkan) sekitar 90 populasi harimau di wilayah konservasi," jelas Agus Arianto.
Agus menyatakan tim penyelamatan BKSDA berencana melepasliarkan satu harimau yang sudah berhasil ditangkap. Sebelum pelepasliaran, pihaknya masih mengecek kesehatan harimau tersebut.
"Kita masih berupaya untuk menangkap yang kakinya luka. Selain faktor alih fungsi lahan yang mengganggu habitat satwa, luka kaki ini juga bisa menjadi faktor harimau turun ke pemukiman, karena pergerakan yang lambat, makanya mereka mencari makanan yang mudah dimangsa," terang Agus.
Alih fungsi hutan
BKSDA Aceh telah mencatat delapan kasus konflik harimau dan manusia dalam periode waktu kurang dari tiga bulan sejak Januari sampai Maret 2020. Angka ini dianggap tinggi, mengingat sepanjang tahun 2019 badan tersebut mencatat sembilan kasus.
Data dari Yayasan Hutan, Alam, dan Lingkungan Aceh (HAkA), menyebutkan rata-rata 1.200 ha hutan di Aceh rusak setiap bulannya. Secara akumulatif, dalam tahun 2019 tercatat seluas 15.140 ha hutan beralih fungsi menjadi kelapa sawit dan lainnya.
"Alih fungsi dari gunung berhutan menjadi kelapa sawit, mungkin menjadi salah satu penyebab terjadinya konflik ini. Menurut data daerah ini memang teritori harimau karena sejak 2018 warga sudah sering melihat harimau yang melintas tapi tidak mengganggu," kata Istafan Najmi, manajer lapangan Forum Konservasi Lauser, yang dirilis BBC News Indonesia, Senin (09/03).
Alih fungsi lahan kerap terjadi untuk perkebunan sawit, lanjutnya, padahal secara area tersebut merupakan lintasan satwa seperti harimau, gajah, beruang dan satwa lainnya di wilayah konservasi Leuser.
Hadi Sofyan, Kepala Seksi Konservasi Wilayah Subulussalam, mengatakan konflik harimau di Singgersing sudah terjadi sejak 20 Februari, namun harimau baru berhasil ditangkap pada 7 Maret. Sementara ini, pihaknya masih berupaya untuk menangkap satu harimau lagi yang mengalami luka di bagian kaki.
"Secara medis harimau yang sudah ditangkap sehat dan sudah bisa dilepaskan kembali ke habitatnya yang jauh dari warga, tapi kita masih berupaya menangkap satu ekor lagi yang kakinya sakit, agar bisa melepasliarkan secara bersamaan," kata Hadi.
Ancaman pemburu liar
Harimau di rimba Sumatera, benteng terakhir Indonesia terus terancam dan menuju ambang kepunahan.
Mantan pemburu liar mengaku menjerat kaki harimau dengan kawat baja, lalu membunuhnya dengan cara ditembak atau dipukul dengan kayu. Tak berhenti, mereka mengulitinya dengan tangan dan pisau untuk memisahkan kulit, tulang dan daging.
Terkadang, beberapa dari mereka memakan daging harimau.
Bagian tubuh harimau itu kemudian beredar di pasar gelap dalam bentuk obat tradisional hingga koleksi pribadi para "pemilik mobil mewah".
Sebaliknya, jika selamat, umumnya harimau berakhir cacat yang berujung di jeruji besi taman safari dan kebun binatang.
Ini adalah pengalaman dari mantan pemburu liar yang kecanduan menghabisi ratusan harimau (panthera tigris) di rimba Sumatra.
Juli lalu, sekitar 20 pemburu harimau di rimba Sumatra berikrar tobat. Para mantan penjagal itu mengatakan bertanggung jawab atas lenyapnya lebih dari 200 harimau Sumatra.
Mawi memegang senjata api dan sling baja yang digunakan untuk membunuh harimau.
Jumlah itu mendekati setengah populasi harimau yang hidup di alam liar Indonesia, yang berkisar di angka sekitar 371 hingga 600-an ekor.
Sebagai upaya penebusan dosa masa lalu, mereka kini membersihkan hutan dari perangkap jerat dan menyadarkan pemburu lain untuk berhenti.
Salah satu mantan pemburu itu adalah Mawi.
Dia mengaku telah memusnahkan ratusan harimau di wilayah Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) - Situs Warisan Dunia UNESCO yang melintasi empat provinsi di Sumatra.
"Saya telah membunuh harimau kurang lebih 150 ekor. Boleh dibilang terbanyak di sini," katanya.
Jumlah itu lebih besar dari total perkiraan harimau yang masih hidup di TNKS, sekitar 93-130 ekor, dan menjadi habitat terbesar predator puncak itu di Pulau Sumatra.
Mawi dan mantan pemburu lain kini menanti rangkulan tangan pemerintah, yang mengatakan telah menyiapkan program pemberdayaan, agar tidak lagi kembali ke dosa masa lalu.
Jejak-jejak darah perburuan liar adalah salah satu ancaman terbesar yang membawa harimau Sumatra berada di ambang kepunahan.
Dua saudaranya, di Jawa dan Bali telah menjadi korban yang kini tinggal sejarah dan dikenang lewat kulit hingga tulang di museum.
Dalam tiga tahun terakhir, setidaknya sepuluh harimau Sumatra meregang nyawa akibat ulah manusia. Tiga di antaranya adalah seekor induk dan dua anaknya yang tewas mengenaskan akibat jerat di Aceh Timur, April lalu.
Belum lagi, mereka yang mati dalam sunyi.
Selain perburuan liar, harimau Sumatra juga harus menghadapi kerusakan hutan, konflik dengan manusia, hingga berkurangnya jumlah mangsa.
Harimau Sumatra, yang melebur dalam identitas masyarakat lokal dan ikon Indonesia di dunia, kini semakin tersudut di rumahnya sendiri dan ancaman kepunahan disebut berada di depan mata.
Para mantan pemburu itu melihatkan pertobatan mereka dan bagaimana upaya perlindungan harimau Sumatra dari jerat pembunuh.
'Kecanduan membunuh harimau'
Sorot matanya terlihat tenang dan sesekali memancarkan senyuman, berbeda dengan rangkaian foto dari empat tahun lalu yang saya lihat - sangat tajam dan dingin.
"Nama saya Mawi," ia memperkenalkan diri. Para pemburu yang lain biasa menyebutnya 'datuk', sebutan untuk orang yang dituakan.
Mawi di Sarolangun, Jambi, Jumat 5 Agustus lalu, berbincang di rumahnya berkali-kali menggaruk kedua kakinya yang gatal dan terlihat jelas ruam.
"Sudah segala obat dipakai, namun tidak sembuh. Mungkin ini karma akibat pasang jerat harimau yang melukai kaki," katanya.
Awalnya, ia mengaku membunuh harimau untuk melindungi desa dari serangan binatang tersebut.
Namun dalam perkembangannya, Mawi jadi kecanduan. Apalagi, ia tergoda dengan penghasilan dari penjualan harimau.
Mawi melakukan patroli sapu jerat di kawasan penyanggah TNKS.
"Saya telah membunuh harimau kurang lebih 150 ekor. Boleh dibilang saya adalah mantan pemburu terbanyak yang masih hidup di sini," katanya.
Mawi mengaku menjagal harimau dari tahun 1971, hingga akhirnya berhenti di akhir tahun 2017.
Terbanyak, dalam satu bulan, dia mengingat, pernah membunuh enam harimau. Bahkan, dalam satu tahun sekitar 20 ekor harimau tewas di tangannya.
Lalu apa buktinya? Mawi menjawab, "Jika tidak percaya, silakan tanya orang-orang kampung, dan saya jelaskan semua yang saya tahu."
Dengan lancar Mawi menjelaskan sebagian besar pengalamannya. Ia merinci nama pembeli, tempat penjualan, hingga proses memburu dan menguliti harimau.
"Saya menjual kulit, tulang dan taring harimau dari harga Rp30.000 hingga terakhir Rp17 juta," ujarnya sambil menyebut nama-nama oknum dari wilayah Sumatra Selatan, Jambi, hingga Bengkulu.
Terakhir kali di tahun 2017, Mawi mengaku menjual kulit, tulang, hingga taring harimau ke seseorang dari Curup, Bengkulu.
"Orang yang mau harimau banyak sekali. Terakhir, ada petugas yang melarang berburu dan melindungi harimau, malah membeli dari saya," kata Mawi.
Mawi telah menjual hasil buruannya kepada beberapa pengepul dan toko yang ada di Bengkulu, Sumatra Selatan, dan Jambi.
"Kulit harimau direndam dalam spiritus agar tidak busuk lalu dibawa ke pembeli," katanya.
Malam semakin larut dan udara dingin menggigit kulit, kami pun mengakhiri perbincangan.
Keesokan harinya, Sabtu (06/08), saat mengikuti Mawi, beberapa mantan pemburu lain, dan perwakilan dari LSM Lingkar Inisiatif, lembaga yang fokus dalam kegiatan konservasi satwa langka dilindungi di wilayah TNKS dan sekitarnya.
Kami tiba di Desa Muara Kuis, Kabupaten Musi Rawas Utara, Sumatra Selatan, yang menjadi titik awal patroli sapu jerat ke hutan.
Di sini, Mawi dan teman-temannya juga sehari-hari mencari ikan untuk diasap sebagai alternatif penopang hidup usai berhenti berburu.
Dengan menggunakan kapal kayu selebar satu meter, Mawi mengajak saya menyusuri sungai memasuki kawasan penyangga TNKS.
Kera hitam Siamang, kicauan burung, dan deru mesin kapal menemani perjalanan selama dua jam.
Udara segar yang dihembuskan barisan pohon-pohon rindang menyejukkan panas terik siang itu.
Di tengah jalan, kapal menepi. Mawi lalu menunjuk tumpukan batu yang memecah aliran sungai.
"Di sana orang dimakan harimau, sisa paha saja dan ditaruh di atas batu itu. Lalu, warga meminta saya melindungi kampung," kata Mawi mengenang kejadian pada 1971.
Dalam satu tahun itu, kata dia, lima warga desa dibunuh harimau.
Ini adalah titik awal Mawi, yang saat itu masih remaja tanggung, mulai berburu harimau.
Mawi memburu harimau pertamanya bersama sahabatnya, Rahmad Sentosa Abadi, yang kini diabadikan menjadi sebuah patung di Desa Sebelat, Rejang Lebong, Bengkulu.
Harimau itu, lanjut dia, dibunuhnya dengan hantaman kayu ke kepala. Lalu, Mawi menggunakan tangan untuk melepas kulit yang menempel dengan daging.
Mawi juga menggunakan sebilah pisau untuk memisahkan tulang dari daging harimau.
Hasilnya, berupa kulit dan tulang, dijual dengan harga Rp30 ribu di Pasar Rupit, Musi Rawas Utara.
Selang beberapa waktu, Mawi dan Abadi berpisah. Sejak itu, Mawi kemudian seorang diri berburu di hutan.
Dalam perjalanannya, Mawi menjadi ketagihan. Bahkan, dia mengaku pernah tinggal di dalam hutan selama satu tahun untuk berburu harimau.
Mawi tidak akan pulang ke kampung sebelum membunuh harimau. "Saya makan daging harimau untuk bertahan di hutan saat itu," kenangnya.
Kapal yang kami tumpangi terus menyusuri sungai, beberapa kali melawan arus air, lalu bersandar di pinggir sungai, dekat sebuah gubuk kayu.
Tim patroli dengan sigap memotong bambu, mendirikan tenda, dan memasak makan malam di sana.
Gelap pun menghampiri. Deru air sungai bersahutan dengan suara serangga menemani malam.
Beberapa kunang-kunang menghampiri tenda yang diterangi api unggun.
Ditemani kopi hangat, Mawi mengaku tidak pernah diserang harimau, dan tidak ada sedikit pun rasa takut saat menghadapi hewan itu.
Sebaliknya, dia merasa sangat bergairah dan bahagia saat bertemu harimau.
"Seperti [melihat] tumpukan uang yang bergerak," kenangnya.
Usai berbincang-bincang, dibantu senter kecil, Mawi dan rekan pemburu lain menyisir sungai dengan kapal untuk menebar jala ikan dan mengambilnya esok pagi.
"Ikannya diasap dan dijual ke kampung. Hasilnya, ya tidak seberapa," katanya yang juga menggantungkan hidup pada madu Sialang.
Awal pertobatan dan harapan pada negara
Matahari naik perlahan menuju puncak, Minggu 7Agustus 2022. Suara monyet, serangga dan burung memanggil dari dalam hutan.
Mawi dan rekan-rekan berkemas untuk memulai patroli.
Di sepanjang jalan setapak yang terus menanjak dan licin, Mawi melangkah dengan cepat dan kokoh. Saya tertinggal jauh di belakang.
Tua tidak terlihat dalam gerak dan wajah Mawi. Kartu tanda penduduk miliknya menunjukkan usia 70 tahun, walau ia memperkirakan umurnya kurang dari itu, sekitar 65 tahun.
Setiap masuk ke hutan, Mawi tidak pernah menggunakan baju dan pelindung kaki.
Padahal pacet, duri, dan ranting-ranting tajam mengintai dari atas tanah dan batang pohon.
Sambil sesekali mengisap rokok di tangan kanannya, ia mengaku, badannya terasa panas.
Mungkin, katanya, karena dahulu sering memakan daging harimau untuk bertahan hidup di dalam hutan.
Melintasi hutan, Mawi menceritakan perjalanan awal pertobatannya.
Saat itu, kenangnya, Mawi bertemu seorang pria yang ingin membeli harimau. Dia adalah Iswadi dari Lingkar Inisiatif.
"Awalnya dia ikut ke hutan, pura-pura beli, suruh berburu. Kemudian dia minta saya berhenti dan dibawa berhenti. Saya dikasih alternatif kegiatan, dan dibawa patroli," katanya.
Butuh dua tahun bagi Mawi untuk menanggalkan semua alat perburuannya, mulai dari senapan hingga jerat sling baja.
Salah satu alasan terberatnya meninggalkan dunia perburuan adalah kehilangan mata pencaharian.
Berhenti berburu, Mawi mengaku kini tidak memiliki pendapatan.
Petugas melakukan otopsi terhadap harimau Sumatra yang tewas akibat jerat.
Kemampuan satu-satunya yang dimiliki Mawi hanyalah tentang harimau, mulai dari teknik dan pola pikir para pemburu, medan di dalam hutan, hingga tingkah laku harimau.
Mawi pun berharap agar pilihan hidup yang telah dia ambil dapat dipikirkan dan dipertimbangkan secara utuh oleh negara.
"Kalau minta [ke negara] saya tidak berani, tapi kami minta tolong diperhatikan."
"Saya takut pemburu lain yang telah bertobat akan kembali lagi berburu. Percuma saya bertobat kalau yang lain kembali berburu. Harimau akan punah," katanya.
Jalan tobat pemburu dan pengepul lainnya
Sebagai sosok yang dituakan, Mawi memiliki peran penting dalam pertobatan sekitar 20 pemburu harimau lain.
Para mantan pemburu itu mendeklarasikan komitmen mereka di acara Seminar Nasional Perlindungan Harimau Sumatra dengan Pendekatan Norma dan Agama yang dilaksanakan di Bengkulu, Rabu (20/07).
Dalam momen itu, para mantan penjagal itu menyerahkan senapan dan sling baja alat berburu mereka.
Salah satu di antara mereka adalah Mus Mulyadi, yang telah membunuh harimau dari tahun 2006 hingga 2021.
Mulyadi tinggal di pinggir Kota Sarolangun. Rumahnya berdinding kayu, beratap seng, dan beralas semen. Dia juga memelihara ayam di samping rumahnya.
Di usia yang baru menginjak 39 tahun, Mulyadi telah menghabisi sekitar 20 ekor harimau.
"Pertama dijual Rp15 juta. Terakhir Rp35 juta dan pembelinya tidak kenal datang ke rumah," katanya.
Usai bertobat kini, Mulyadi tidak memiliki pekerjaan tetap. Sesekali ia menjadi pengemudi ojek dengan pendapatan Rp20 ribu sehari.
Kemudian ada juga Yie, pemburu harimau dari tahun 2001 hingga 2017.
Yie yang mengaku telah membunuh tujuh harimau mengatakan, alasan berburu karena tuntutan ekonomi dan tidak adanya pilihan lain pekerjaan di kampungnya.
"Seperti sekarang, setelah berhenti, saya tidak bekerja. Lalu pendapatan saya dari mana?" katanya.
Saya bertanya, apakah ada kemungkinan ia kembali menjadi pemburu harimau?
"Mungkin [kembali berburu lagi] saja itu ada, kalau tidak ada pekerjaan, walau sangat kecil. Pilihannya kan antara keluarga saya makan atau kami kelaparan," katanya.
Mantan pemburu ini menaruh harapan kepada pemerintah untuk memberikan alternatif pekerjaan yang dapat memenuhi kebutuhan hidup keluarga mereka sekaligus juga melestarikan harimau.
Di balik pengalaman mereka, Mulyadi dan Yie mengakui bahwa Mawi adalah pemburu yang telah menghabisi banyak harimau dibandingkan rekan lain di wilayahnya.
Selain pemburu, Mawi juga membawa pengepul yang sering membeli harimau darinya untuk bertobat.
Dia adalah Heriansya Putra, 35 tahun, yang kini bekerja sebagai supir travel.
Heriansya mengaku, aktif membeli harimau dari tahun 2013 hingga akhir 2020 dengan total 13 ekor yang terdiri dari kulit, tulang, dan kumis.
"Saya beli dari pemburu Rp12-14 juta. Lalu saya jual ke pembeli lain yang dengan harga lebih tinggi, berkali-kali lipat," katanya.
Pengalaman terakhirnya menjual harimau terjadi di tahun 2019. Ia bertemu dengan pembeli di Muara Rupit, Sumatra Selatan.
"Para pembeli itu bermobil mewah dan berani harga mahal. Kami bertemu di pinggir jalan, transaksi cepat, lalu pergi. Mereka dari Jambi, Bengkulu, Sumatra Selatan," katanya.
Bukan hanya membeli, Heriansya juga dulu aktif menyuplai pasokan kepada para pemburu, seperti menyediakan jerat dan perbekalan selama di dalam hutan.
"Pas ada hasil, pemburu hubungi saya. Mau bagi hasil, bayar utang atau bagaimana, yang penting saya dapat lebih dari mereka," katanya.
Pertobatan Mawi dan pemburu lain tidak lepas dari upaya Iswadi, 42 tahun, Ketua Yayasan Lingkar Inisiatif Indonesia yang dimulai sekitar tiga tahun lalu.
Iswadi yang berpengalaman di investigasi perdagangan satwa awalnya ingin menangkap Mawi.
Namun saat berinteraksi dengan Mawi, dia mengubah rencana.
"Mawi punya karakter baik dan berburu karena keterpaksaan ekonomi," ujarnya.
Selain itu, berkaca dari pengalaman, kata Iswadi, penjara tidak menimbulkan efek jera bagi para pemburu.
Dalam empat tahun ke depan, Iswadi berharap dapat merangkul seluruh pemburu di lanskap TNKS.
Saya bertanya, bukankah itu terlalu ambisius? "Memang," jawab Iswadi.
"Tapi itu bisa dicapai dengan memanfaatkan jejaring dan pengaruh pemburu yang bertobat. Mimpi kami, setidaknya ancaman harimau bukan lagi dari perburuan liar," katanya.
"Bayangkan, satu orang membunuh lebih dari 100 harimau. Ketika mereka menjadi pelindung maka akan sangat efektif dalam menjaga, bahkan menaikan populasi harimau," tambahnya.
Kunci penting dalam merangkul para pemburu, tambah Iswadi, adalah dengan memberikan alternatif kegiatan yang dapat memberikan pemasukan ekonomi bagi mereka.
"Kepada pemerintah ayo kita kolaborasi. Kita bina mantan pemburu, lalu berdayakan mereka secara ekonomi dan lainnya. Mereka adalah orang yang paling dekat dengan habitat harimau Sumatra," ujar Iswadi.
Terkait dengan harapan dari para mantan pemburu, Kepala Bidang Wilayah III Provinsi Bengkulu dan Sumsel TNKS, Zainudin mengatakan, pemerintah akan bertemu dengan mereka guna membentuk kelompok kemitraan.
"Untuk membimbing mereka supaya membantu perlindungan harimau dan juga mendapatkan penghasilan ekonomi dari pemanfaatan hasil hutan bukan kayu, seperti madu, minyak dari buah kepayang dan lainnya," katanya.
Perangkap jerat, 'pembunuh mengerikan harimau'
Kembali ke dalam hutan, Mawi bersama tim Lingkar Inisiatif mengatakan telah membongkar 10-15 jerat di hutan sejak insaf.
Harry Siswoyo dari Lingkar Inisiatif yang menemani saya dalam patroli mengatakan, terdapat belasan jenis perangkap harimau di dalam hutan.
Dan, yang digunakan Mawi adalah jenis jerat lontar.
"Sling baja diikat ke pohon sebagai lontar. Lalu sling dihubungkan ke dalam lubang di tanah. Jika lubang terinjak kaki harimau, maka ia akan tergantung dan terikat," katanya.
"Semakin kuat harimau berontak, semakin kakinya terikat dan terluka. Jika lepas, kemungkinan kakinya putus. Jerat adalah pembunuh mengerikan harimau," ujar Harry.
Harry menambahkan, para pemburu akan memasang lebih dari satu jerat, bahkan mencapai puluhan, jika menemukan jejak harimau di wilayah itu.
Menurut Manajer Lapangan Program Pelestarian Harimau Sumatra TNKS Nurhamidi mengatakan, jumlah jerat yang telah diungkap oleh tim patroli di kawasan TNKS sepanjang 20 tahun terakhir berjumlah 449 jerat.
Lebih dari separuhnya, 249 jerat, ditemukan di periode tahun 2013-2016.
"Maraknya jerat saat itu terjadi karena kenaikan harga harimau tiga kali lipat dan permintaan yang tinggi," kata Nurhamidi.
Kemudian dari tahun 2017-2019, jumlah yang dibongkar menurun drastis menjadi 23 jerat.
Penyebabnya, kata Nurhamidi karena patroli yang semakin rutin dan banyak pemburu yang ditangkap.
Jumlah jerat yang ditemukan selanjutnya semakin berkurang hingga sekarang. Dalam tiga tahun terakhir, sembilan jerat aktif yang diamankan.
"Dipengaruhi pandemi Covid-19, pasar harimau terbesar di China ditutup, dan jalur perdagangan internasional ditutup," katanya.
Walau demikian, dikutip dari beragam pemberitaan, terdapat setidaknya sembilan harimau tewas akibat perangkap jerat dalam beberapa tahun terakhir.
Kemudian, dari tahun 2000 hingga sekarang, tim Balai Besar TNKS telah mengungkap 43 kasus kejahatan harimau dengan 71 orang menjadi terpidana.
Tim pun menyita 33 barang bukti mulai dari kulit, tulang, hingga taring harimau.
Indonesia peringkat tiga dunia
Menurut data Traffic.org, LSM internasional yang mengupas praktik perdagangan satwa ilegal, terdapat sekitar 2.359 harimau yang disita di seluruh dunia sepanjang tahun 2000 hingga 2018.
Dalam rentan waktu 19 tahun itu, Indonesia menempati posisi tiga teratas di dunia dengan menyumbang 266 (11,3%) ekor harimau, baik dalam bentuk kulit maupun tulang.
Populasi harimau, tahun 2018, diperkirakan hanya tersisa 3.890 individu di seluruh dunia.
Untuk di Indonesia, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, di tahun 2018, memperkirakan jumlah harimau di alam liar kurang lebih 603 individu yang tersebar di lanskap Sumatra.
Menurut daftar merah IUCN, harimau Sumatra yang masuk dalam status terancam punah berjumlah di antara 441-679 ekor di hutan.
Uniknya, pada tahun 1990, bersamaan dengan diberlakukannya UU tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, pemerintah mendaftarkan izin 1.081 opsetan kulit harimau di mana 600 dimiliki secara pribadi oleh pejabat pemerintah dan pengusaha.
Berdasarkan penelitian Traffic tahun 2002 di delapan provinsi di Sumatra, ditemukan 117 toko dan pedagang yang menjual bagian tubuh harimau, terutama taring dan kuku.
Merujuk data Balai Besar TNKS dari tahun 2010 hingga sekarang, terdapat 32 ekor tewas terkena jerat, dari prediksi total harimau di antara 93 hingga 130 ekor.
Terbanyak terjadi pada 2013-2014 di mana 14 ekor harimau meregangkan nyawa.
Untuk melihat seberapa mematikan dampak jerat, Pusat Rehabilitasi Harimau Sumatra Dharmasraya (PRHSD) Yayasan Arsari di Sumatra Barat ada dokter hewan Patrick Flagellata.
PRHSD telah merehabilitasi 14 individu harimau yang terlibat konflik dengan manusia.
Tujuh telah dirilis kembali ke hutan, empat meninggal, dan tiga sedang menjalani rehabilitasi.
Dari jumlah tersebut, empat harimau direhabilitasi akibat perangkap jerat. Mereka bernama Palas, Inung Rio, Corina, dan Lanustika.
Palas adalah harimau jantan berusia lima tahun yang menjalani rehabilitasi akibat terkena jerat di Desa Huta Barbot, Kabupaten Padang Lawas pada Juli 2019 lalu.
Patrick mengatakan, di kaki kanan depan Palas terdapat luka jerat yang parah dan menimbulkan myasis atau belatungan.
Telapak kakinya pun telah membusuk. Lalu, bagian mulut Palas berlubang dan dipenuhi belatung.
"Jerat menjadi pemicu beragam penyakit, lalu kerusakan fungsi tubuh, harimau tidak mau makan dan sakit. Sehingga ia tidak bisa bertahan hidup, seperti Palas," katanya.
Selain itu ada juga harimau jantan, Inung Rio yang berusia tiga tahun. Ia terkena jerat di kaki depan kirinya di Kabupaten Pelalawan, Riau, Maret 2019.
Rio hanya mampu bertahan sekitar 20 hari di pusat rehabilitasi, dan mati akibat gangguan pernapasan yang disebabkan infeksi sistemik.
Selain kabar duka, Lanustika, harimau betina, terhindar dari kematian dan telah dikembalikan ke hutan.
Lanustika berasal dari Teluk Lanus, Riau. Ia terkena jerat pada keempat jarinya di kaki kanan depan dan menderita myasis.
Apa yang membuat Lanustika berbeda? Patrick mengatakan, karena lukanya tidak parah.
"Kalau bisa diobati, bisa dilepasliarkan. Namun kalau lukanya dalam dan parah maka harus diamputasi yang menyebabkan cacat. Akhirnya harimau tidak akan pernah kembali lagi ke hutan."
"Jadi tergantung seberapa besar luka akibat jerat. Namun, rata-rata korban jerat jarang yang bisa dilepasliarkan kembali," katanya.
Dua harimau Indonesia yang tinggal kenangan
Selama abad ke-20, dunia telah kehilangan tiga spesies harimau - dua di antaranya berasal dari Indonesia.
Berdasarkan data IUCN tahun 2008, mereka adalah harimau Bali yang punah pada tahun 1940-an, disusul harimau Jawa pada dekade 1970-an.
Harimau ditemukan di dekat kawasan hutan lindung. Image copyright by KLHK
Padahal, berdasarkan fosil tertua yang ditemukan, harimau telah hidup di tanah Jawa jutaan tahun lalu.Buku berjudul "AUM! Atlas Harimau Nusantara", yang disusun oleh Forum HarimauKita tahun 2019, di antaranya, mengupas perjalanan kepunahan dua harimau Indonesia itu yang begitu cepat. (*)
Tags : Alih Fungsi Hutan, Harimau Turun ke Permukiman, Santapan Pemburu Liar, Rumah Harimau Terusik,