BATAM - Area permukiman, kolam ikan, dan ladang milik warga berada di dalam kawasan hutan Taman Buru Rempang, Batam, Kepulauan Riau, kini sudah banyak yang rusak.
"Tetapi berdasarkan data dari Konsevasi Sumber Daya Alam (KSDA) Wilayah II Batam, sekitar 70 persen dari 16 ribu hektar luas wilayah hutan Taman Buru Rempang beralih fungsi menjadi permukiman, lahan perkebunan, dan lahan pertanian secara ilegal."
"Perkampungan Tua itu bukan tak berpenghuni, masyarakat Rempang-Galang tak bisa direlokasi begitu saja demi Rempang Eco-City," kata Larshen Yunus, Ketua Umum (Ketum) Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Gabungan Rakyat Prabowo Gibran (GARAPAN)
Menurut Relawan Prabowo Gibran ini, Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Hutan, penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan di dalam kawasan hutan produksi dan kawasan hutan lindung (Pasal 32).
"Pemerintah yang hendak melakukan pengembangan proyek Rempang Eco-City di Pulau Rempang perlu terlebih dulu mengubah status kawasan hutan lindung di Pulau Rempang menjadi Hutan Produksi yang dapat Dikonversi (HPK) atau Areal Penggunaan Lain (APL) agar dapat digunakan untuk kepentingan pembangunan," sebutnya.
Hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK), kata Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjend) KNPI Pusat Jakarta ini adalah kawasan hutan yang secara ruang dicadangkan untuk digunakan bagi pembangunan di luar kegiatan kehutanan.
"Agar suatu kawasan hutan produksi dapat digunakan untuk pembangunan di luar kegiatan kehutanan, maka diperlukan pelepasan kawasan hutan, yaitu perubahan kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi menjadi bukan kawasan hutan, misalnya menjadi areal perkebunan," sebutnya.
Sementara itu, Areal Penggunaan Lain (APL) adalah areal hutan yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan Provinsi, atau berdasarkan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) menjadi bukan kawasan hutan.
Tetapi ini, harusnya masih mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021, pada dasarnya, perubahan peruntukan kawasan hutan dapat dilakukan secara parsial atau untuk wilayah provinsi (Pasal 54).
Perubahan secara parsial dilakukan melalui pelepasan kawasan hutan (Pasal 55) yang hanya dapat dilakukan pada hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK) yang tidak produktif (Pasal 58).
Menurutnya, salah satu tujuan pelepasan kawasan hutan dilakukan untuk proyek strategis nasional, sehingga dalam konteks proyek Rempang Eco-City yang sudah menjadi PSN, diperlukan pelepasan kawasan hutan yang berstatus hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK) yang tidak produktif menjadi areal penggunaan lain (APL).
"Tetapi pemerintah saat ini sedang gencar mengupayakan alih fungsi lahan di Pulau Rempang agar dapat digunakan untuk kepentingan pembangunan proyek Rempang Eco-City," kata dia.
Apa yang dikeluhkannya tentang perubahan status kawasan hutan di Pulau Rempang tanpa sosialisasi dan pengecekan yang mumpuni dibuktikan dengan publikasi sejarah perubahan kawasan hutan di Kepulauan Riau itu dapat diakses melalui website Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Khusus bagian Kepulauan Riau, sebutnya lagi, setidaknya sudah ada 10 Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang dikeluarkan terkait perubahan status kawasan hutan di Kepulauan Riau sepanjang 10 tahun sejak tahun 2011 hingga 2021.
Dimulai dengan Keputusan Menteri Kehutanan tentang kawasan hutan Provinsi Kepulauan Riau tanggal 30 Desember 2011, mayoritas keputusan mengenai perubahan peruntukan kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan, perubahan fungsi kawasan hutan, serta perkembangan pengukuhan kawasan hutan.
Salah satu yang menarik perhatian yaitu Keputusan Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup Nomor 272/MenLHK/Setjen/PLA.0/6/2018 tanggal 6 Juni 2018 tentang Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan Lindung di Pulau Batam menjadi Bukan Kawasan Hutan seluas 330 hektar dan Perubahan Fungsi Kawasan Hutan dari Kawasan Taman Buru Pulau Rempang seluas 7.560 hektar menjadi Kawasan Hutan Produksi yang Dapat Dikonversi di Provinsi Kepulauan Riau.
Prosesnya, kata Larshen, sudah berlangsung sejak 2015, diawali dengan penyampaian permohonan persetujuan perubahan peruntukan kawasan hutan yang berdampak penting dan cukup luas serta bernilai strategis (DPCLS) seluas 23.872 hektar yang berasal dari Kawasan Suaka Alam, Kawasan Pelestarian Alam, dan Taman Buru, seluas 8.620 hektar, serta Kawasan Hutan Lindung seluas 15.252 hektar dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan kepada Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) / Koordinator Bidang Industri Pembangunan.
Tiga tahun kemudian, barulah Wakil Ketua DPR / Koordinator Bidang Industri dan Pembangunan menyetujui permohonan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tersebut secara parsial, terdiri dari:
(1) perubahan peruntukan Kawasan Konservasi Taman Buru Pulau Rempang yang semula diusulkan menjadi APL (DPCLS) seluas 7.560 hektar disetujui menjadi Hutan Produksi yang dapat Dikonversi (HPK);
(2) perubahan peruntukan Kawasan Hutan di Batam untuk kepentingan fasilitas umum dan infrastruktur pemerintah yang masuk dalam kategori DPCLS seluas 330 hektar.
Persetujuan oleh DPR tersebut ditindaklanjuti oleh Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan hingga akhirnya keluar penetapan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 272/MenLHK/Setjen/PLA.0/6/2018 tentang Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan Lindung di Pulau Batam menjadi Bukan Kawasan Hutan seluas 330 hektar dan Perubahan Fungsi Kawasan Hutan dari Kawasan Taman Buru Pulau Rempang seluas 7.560 hektar menjadi Kawasan Hutan Produksi yang Dapat Dikonversi (HPK) di Provinsi Kepulauan Riau.
Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tahun 2018 tersebut setidaknya menjadi bukti keluhan bahwa memang Kawasan Hutan Konservasi (Taman Buru) dan Kawasan Hutan Lindung di Batam dan Pulau Rempang telah diubah peruntukannya.
"Perubahan status Taman Buru yang menjadi bagian dari Kawasan Hutan Konservasi menjadi Hutan Produksi yang dapat Dikonversi ini telah membuat pemerintah selangkah lebih maju dalam mewujudkan kelancaran proyek pembangunan Rempang Eco-City," terangnya.
Buntut panjang berikutnya mengenai nasib Perkampungan Tua terjadi pada awal tahun 2002, warga menuturkan pada tahun itu keluar Surat Edaran Walikota Batam Nomor 09/TP/I/2002 tentang Tertib Pertanahan (Larangan Transaksi Tanah) di Pulau Batam, Rempang, dan Galang, ditujukan kepada seluruh camat, kepala desa, dan lurah. Ada tiga hal yang disampaikan dalam Surat Edaran itu.
Pertama, untuk sementara waktu tidak diperbolehkan mengeluarkan surat keterangan atas tanah kepada siapapun baik badan hukum maupun perseorangan; kedua, tidak dibenarkan mengetahui pelepasan hak atau ganti rugi atas sebidang tanah; dan ketiga, agar para camat menginstruksikan hal tersebut kepada lurah/kepala desa di wilayah masing-masing.
"Pulau Rempang, Pulau Galang, Pulau Galang Baru, dan pulau sekitarnya ditetapkan sebagai daerah status quo. Tapi sejak tahun 1999 masyarakat Kecamatan Galang ditawari gabung ke pemerintah Kota Batam, dan setidaknya sejak saat itu, terkhusus masyarakat Kampung Tua, sudah menyadari pentingnya legalitas lahan di tempat itu. Mereka belum memiliki surat-surat tanah, seperti surat tebas, alas hak, tapi tidak bisa kami urus karena ada Surat Edaran Walikota Batam tersebut," ujar Larshen.
Menurutnya, tahun 2022, lurah sudah memberitahukan kepada RW, RT, dan warga tempatan mengenai program TORA (Tanah Objek Reforma Agraria), yang kemudian masyarakat diminta meng-copy surat-surat tanah dan kebun sesegera mungkin dan dikumpulkan di kantor Pemerintah Kota Batam.
Program TORA yang dimaksud diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria, yaitu tanah yang dikuasai oleh negara dan/atau tanah yang telah dimiliki oleh masyarakat untuk diredistribusi atau dilegalisasi (Pasal 1 Angka 4).
Jadi menurut Larshen, sebagai gambaran, program TORA memiliki dua tahapan yang terdiri dari perencanaan reforma agraria dan pelaksanaan reforma agraria (Pasal 3). Kegiatan perencanaan meliputi perencanaan terhadap penataan aset, penataan akses, peningkatan kepastian hukum, penanganan sengketa, dan kegiatan lain yang mendukung reforma agraria (Pasal 4). Sementara itu, kegiatan pelaksanaan terdiri dari tahap penataan aset dan penataan akses (Pasal 5). Tahap penataan aset ini yang diduga sedang dilakukan di Pulau Rempang tahun 2022 kala itu yang membuat masyarakat senang.
Tetapi kini pihak kejaksaan negeri Batam telah melakukan penyidikan telah terjadi dugaan korupsi alih fungsi hutan Rempang ini.
“Ya saat ini, masih berkoordinasi dengan BPK mengenai kerugiaan negara. BPK adalah ahli yang kami minta untuk memastikan berapa nilai kerugiaan negara dalam dugaan ini,” kata Kepala Kajari Batam, I Ketut Kasna Dedi didepan media, Sabtu ini.
Kasus dugaan tindak pidana korupsi yang menjerat PT SMS atas alih fungsi hutan lindung Rempang masih bergulir di Kejaksaan Negeri Batam.
Saat ini, penyidik pada bidang pidana khusus Kajari Batam masih mengumpulkan bukti untuk proses penetapan tesangka.
I Ketut Kasna Dedi mengatakan saat ini pihaknya masih berkoodinasi dengan Badan Perhitungan Keuangan sebagai ahli untuk memastikan kerugiaan negara. Sebab, perusahaan bergerak dibidang peternakan ini telah beroperasi sekian tahun tanpa izin.
Dia mengemukakan kerugiaan negara adalah salah satu alat bukti dari dua alat bukti yang dibutuhkan untuk penetapan tersangka.
"Kita masih melakukan berkoodinasi dengan BPK, dan masih mengumpulkan bukti lain dari keterangan saksi. Ya kami masih kumpulkan bukti dari keterangan saksi juga,” sebut Kasna.
I Ketut Kasna Dedi mengatakan, sampai saat ini pihaknya sudah memeriksa lebih dari 20 saksi. Ke 20 saksi yang diperiksa itu terdiri dari pihak perusahaan PT SMS, Dinas Kehutanan, KPHL, Dinas Ketahanan Pangan, BP Batam hingga ahli kerugiaan negara.
“Untuk saksi sudah lebih dari 20 orang, diantaranya 7 saksi dari perusahaan tersebut,” imbuhnya.
Lalu bagaimana terkait penetapan tersangka, menurut Kasna masih berproses. Sebab untuk penetapan tersangka harus memiliki dua alat bukti yang kuat.
“Untuk ini, kami sedang mengumpulkan alat bukti,” tegas Kasna.
Diketahui, Kejaksaan Negeri Batam mulai mendalami untuk mencari dua alat bukti atas dugaan korupsi perusahaan yang melakukan kegiatan usaha di wilayah Pulau Rempang, Batam. Yang mana perusahaan yang bergerak di bidang pembibitan hewan ternak ini melakukan pemanfaatan kawasan hutan secara ilegal.
PT SMS diduga telah beroperasi sejak empat tahun lalu. Aktifitas perusahaan itu diduga telah merugikan negara miliaran rupiah. (*)
Tags : batamkepulauan riauhutan taman buru rempang ,