Terminologi mandiri dinilai berisiko membuka peluang percaloan.
AGAMA - Asosiasi Muslim Penyelenggara Haji dan Umrah Republik Indonesia (Amphuri) meminta terminologi 'mandiri' yang ada dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Perubahan atas UU Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Haji dan Umrah yang tengah dibahas untuk dihapus.
"Pengaturan mengenai jamaah umrah mandiri dalam RUU ini tidak memiliki definisi, batasan, maupun mekanisme perlindungan yang jelas," ujar Ketua Litbang Amphuri Ulul Albab di Jakarta, Sabtu (2/8/2025).
Ulul mengatakan, keberadaan pasal tersebut justru kontra produktif dengan tujuan utama perubahan undang-undang, yakni membentuk tata kelola haji dan umrah yang lebih baik, adaptif, dan akuntabel.
Di sisi lain, kata dia, terminologi mandiri ini berisiko membuka peluang percaloan, penyelenggaraan liar, serta merusak tatanan ekosistem penyelenggaraan umrah yang selama ini diatur melalui Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) resmi.
"Terminologi 'mandiri' harus dihapus dari batang tubuh RUU. Umrah harus diselenggarakan secara profesional dan bertanggung jawab melalui lembaga resmi PPIU," kata Ulul.
Menurut dia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 menempatkan jamaah sebagai subjek yang harus dilindungi, konsep 'mandiri' justru mendorong mereka untuk menjadi pihak yang berjuang sendiri, tanpa perlindungan hukum, jaminan layanan, atau kejelasan tanggung jawab.
"Jika tetap dipertahankan, pemerintah justru membuka ruang legalisasi praktik liar yang tidak bisa diawasi, tidak bisa dijamin, dan tidak bisa dimintai pertanggungjawaban," kata Ulul.
Ia berharap Komisi VIII dan Pemerintah dapat mempertimbangkan kembali dengan matang pasal-pasal yang menyangkut umrah mandiri agar tidak menimbulkan dampak negatif yang lebih luas.
Amphuri juga menyampaikan sikap kritis terhadap draf revisi Rancangan Undang-Undang (RUU) No 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, khususnya terkait ketentuan kuota haji khusus yang dinilai merugikan jamaah dan penyelenggara.
Firman M Nur juga menyoroti ketentuan dalam Pasal 8 Ayat (4) yang menyebutkan "kuota haji khusus paling tinggi 8 persen".
Menurut Firman, frasa paling tinggi tersebut sangat elastis, tidak mengikat. Rancangan pasal tersebut menjadi pasal karet yang bisa dimanipulasi sesuai kepentingan tertentu.
"Jangan ada pasal karet. Karena, dalam pasal 8 Ayat 4, kuota haji khusus disebut paling tinggi delapan persen," ujar Firman kepada wartawan.
Menurut Firman, pasal tersebut dapat menciptakan ketidakpastian hukum dan mengancam keberlangsungan layanan haji khusus yang selama lebih dari satu dekade berjalan profesional dan tanpa gangguan.
Dia menjelaskan, selama ini kuota haji khusus memang terealisasi di angka 7-8 persen dari total kuota nasional, dan dikelola oleh Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK) secara profesional. Namun, jika frasa "paling tinggi" tetap dipertahankan, maka peluang pengurangan sepihak bisa terjadi dan berdampak pada hak jamaah dalam memilih layanan haji yang sah dan berkualitas.
Amphuri mengusulkan agar frasa tersebut diubah menjadi "kuota haji khusus ditetapkan sekurang-kurangnya 8 persen dari kuota nasional. "Dengan rumusan tersebut, negara tetap memiliki ruang pengawasan, memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi jamaah dan penyelenggara," ucap Firman.
Senada dengan itu, Ketua Dewan Kehormatan Amphuri Zainal Abidin mengingatkan, regulasi saat ini telah menyebabkan Indonesia kehilangan peluang menambah kuota jamaah.
Dia mencontohkan pada 2022 lalu, saat Kerajaan Arab Saudi menawarkan tambahan kuota haji, Indonesia tidak dapat menyerapnya karena terbentur ambang batas maksimal haji khusus 8 persen sesuai UU yang berlaku.
“Padahal haji reguler tak mampu memanfaatkan tawaran itu karena kendala teknis, sementara haji khusus tidak bisa mengambilnya karena sudah dibatasi undang-undang. Akhirnya kesempatan itu hilang," kata Zainal.
Dia menilai hal tersebut sebagai bukti bahwa UU No 8 Tahun 2019 gagal mengantisipasi dinamika di lapangan, khususnya ketika menghadapi lonjakan antrean jamaah dan peluang kuota tambahan dari Saudi.
Zainal menegaskan perlunya revisi substansial terhadap pasal tersebut. “Mestinya DPR belajar dari ketidakberdayaan UU No 8 tahun 2019 tentang penyelenggaraan haji dan umrah. Dan itu bukti bahwa UU tersebut gagal mengakomodir peluang tambahan kuota di tengah antrean panjang yang terus bertambah," jelas Zainal.
AMPHURI berharap agar pemerintah dan DPR terbuka terhadap masukan dari para pelaku industri dan menjadikan revisi UU ini sebagai momentum untuk menghadirkan regulasi yang lebih adil, fleksibel, dan berpihak pada kepentingan jamaah. (*)
Tags : ruu penyelenggaraan haji dan umrah, ruu haji dan umrah, penyelenggaraan haji dan umroh, amphuri, asosiasi haji asosiasi haji dan umroh, munas amphuri, firman m nur, umrah mandiri, jamaah haji mandiri, ruu haji dan umrah, revisi ruu haji dan umrah, revisi uu haji dan umrah, amphuri soal revisi ruu haji dan umrah,