
Pengaturan umrah mandiri dalam pasal dinilai membuka peluang umrah non-prosedural.
AGAMA - Asosiasi Muslim Penyelenggara Haji dan Umrah Republik Indonesia (AMPHURI) meminta Komisi VIII DPR RI tidak memasukkan pengaturan umrah mandiri dalam Revisi Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah.
Ketua Dewan Kehormatan AMPHURI Zaenal Abidin dalam Mukernas AMPHURI 2025 di Yogyakarta, Ahad (20/7/2025), menilai pencantuman pengaturan umrah mandiri dalam pasal justru membuka peluang masuknya pelayanan umrah non-prosedural.
"Oleh karena tidak dilarang, maka tidak perlu diatur, 'enggak' perlu muncul dalam UU," ujar dia.
Meski demikian, Zaenal juga tidak menuntut adanya pelarangan umrah mandiri karena hal itu bisa dianggap mencederai hasrat masyarakat yang ingin beribadah secara pribadi.
"Kalau dilarang, itu mencederai hasrat orang. Katakan seorang ulama, seorang menteri mau umrah, kan bisa. Jadi, karena itu tidak dilarang, ndak usah diatur, ndak usah diatur," ujar dia.
Mengacu data dari Saudi Tourism Authority (STA), AMPHURI mencatat jumlah jamaah umrah asal Indonesia pada periode 2024–2025 mencapai 1,6 juta orang.
Padahal, data dari aplikasi Siskopatuh Kemenag RI hanya mencatat 1,4 juta orang. Artinya, terdapat selisih sekitar 200 ribu orang yang diduga menjalankan umrah di luar mekanisme resmi pemerintah.
Selisih inilah yang menjadi alasan AMPHURI menolak pengaturan umrah mandiri dalam revisi UU Haji, sebab dikhawatirkan justru membuka celah lebih luas bagi praktik umrah non-prosedural.
Ketua Umum DPP AMPHURI Firman M Nur berharap revisi UU Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah mampu memperkuat ekosistem layanan haji dan umrah nasional.
Terlebih, perubahan regulasi itu diikuti dengan hadirnya Badan Penyelenggara Haji yang bakal menggantikan peran Kemenag sebagai sektor utama penyelenggaraan haji.
Firman berharap DPR, khususnya Badan Legislasi dan Komisi VIII, memperhatikan keberlangsungan sektor swasta terkait layanan haji dan umrah dalam revisi UU tersebut.
"Umrah mandiri bukan berdampak pada kami secara signifikan sebetulnya, namun kami ingin memastikan ketentuan tentang penyelenggaraan layanan umrah melalui PPIU akan memberikan perlindungan kepada jamaah, kepastian hukum kepada jamaah," ujar dia.
Dengan tidak mengakomodasi payung hukum umrah mandiri dalam UU, menurut dia, perlindungan jamaah lebih terjamin sehingga Indonesia bisa menjaga nama baik bangsa di kancah internasional, juga Arab Saudi.
Firman menambahkan, AMPHURI juga akan mendorong agar peran asosiasi bisa dimasukkan secara eksplisit dalam RUU Penyelenggaraan Haji dan Umrah.
"Kami berusaha mengusulkan memasukkan unsur asosiasi sebagai bagian dari pengawasan dalam penyelenggaraan ibadah haji dan umrah dalam undang-undang yang baru, karena sampai saat ini belum ada pasal apapun yang memasukkan peran asosiasi. Itu salah satu poin yang akan kita perjuangkan," ujar dia.
Sementara itu, Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU) Kementerian Agama Hilman Latief menuturkan persoalan umrah mandiri bukan terletak pada boleh atau tidaknya, melainkan pada bagaimana sistem pengelolaan dan pengawasannya.
"Ini bukan soal boleh tidak boleh, tapi bagaimana sistem itu bisa dikelola, bisa dipantau, berbasis data, dan seterusnya," ujar Hilman.
Hilman menambahkan, salah satu aspek yang perlu diperkuat adalah kelembagaan dan pengawasan, mengingat masih ditemukan praktik penyalahgunaan visa hingga travel abal-abal.
"Kalau kami kuatkan kelembagaan, kita kuatkan pengawasan, maka penyalahgunaan baik dari sisi keimigrasian maupun travel-travel abal-abal bisa kita minimalisir," ujarnya. (*)
Tags : umrah mandiri, umroh mandiri uu haji, uu haji dan umroh, uu penyelenggaraan haji dan umrah, revisi uu haji dan umrah, revisi undang-undang haji, undang-undang haji umrah ,