AMSAKAR ACHMAD sebagai Wakil Wali Kota Batam, putera kelahiran Daik Lingga jauh sebelum mengemban amanah sudah dibekali sajadah.
Amsakar kecil yang dipanggil Milu, punya kisah haru sekaligus membuat semangat hidup terpacu.
“Ingat Lu (Milu, panggilan Amsakar Achmad kecil), kita ni orang susah. Tapi, kalau untuk sekolah, sekuat daya dan tenaga, Pak Ngah akan turuti apa yang terbaik untuk kalian,” Kalimat itu terus terngiang di benak Amsakar yang merupakan pesan dari sang ayah, Achmad bin Jubil, menjadi pemacu semangat dalam meraih masa depannya.
Amsakar tak segan menceritakan masa lalunya tersebut.
Sambil duduk di tangga Kantor Wali Kota Batam, Amsakar menuturkan kisah demi kisah yang ia alami hingga kesuksesan yang terukir sampai sekarang ini.
Amsakar Achmad adalah satu dari sekian banyak orang yang hidup dan tumbuh dari hiruk pikuk kehidupan, serta bertungkus lumus menjawab tantangan dan permasalahan kehidupan tersebut hampir pada setiap detak waktu yang dijalaninya.
Sejak dilahirkan dari rahim seorang Ibu bernama Halimah binti Muhammad, dia sudah ditempa dengan berbagai persoalan, yang menjadikannya makin banyak pengalaman.
Seiring dengan perjalanan waktu, Amsakar Achmad bergumul melewati masa kecilnya dengan berbagai keterbatasan.
Dengan kondisi itu pula, yang kemudian menjadikan Amsakar tumbuh menjadi kuat, teguh dan yakin, serta sangat mandiri.
“Ketika berusia 7 tahun, saya disuruh bapak mendaftar masuk SDN Nomor 37, hanya berdua dengan abang saya Djulbazar,” kenang Amsakar.
Tatkala berumur 11 tahun, Ia sudah terbiasa membantu mengumpulkan getah karet yang tertinggal di pohon, lalu dibuat seperti bola dan disimpan di bawah rumah nenek sampai terkumpul dan dijual setiap bulan.
Amsakar juga dilatih sang nenek mencangkul sepetak tanah untuk ditanami kacang panjang, daun kunyit, lengkuas, ubi jalar, kangkung, dan bayam.
Semua yang ditanami tersebut selanjutnya dijual ke berbagai kedai setelah diikat oleh sang nenek menjadi sayur rampai.
Belum cukup sampai di situ, Amsakar kecil juga terbiasa mengantar penganan talam, tepung kusoi, apam, dan tepung gomak ke kedai kopi ”Bah Dereme” setiap pagi sebelum berangkat ke sekolah, sedangkan siangnya kalau musim jambu.
Amsakar juga biasa mencocok lidi ke jambu untuk kemudian di titipkan di kedai Atai, Aceng dan Goho; sedangkan kalau masih ada waktu, Amsakar juga biasa mengail ikan di Malangkiah, Malangulo, kelong Betawi, Mengkalan Apo, dan Pulau Mubon.
“Begitulah, hari-hari yang dilalui sampai tamat SD sudah sangat terbiasa dengan mengambil pumpon untuk umpan, menyumek nos, mencari janek, dan menanjol udang di tepi pantai,” katanya.
Kendati ditempa dengan kehidupan yang berat, Amsakar berhasil menamatkan SD pada tahun 1981 tepat waktu, bahkan dengan predikat Juara III.
Atas prestasi yang diraih tersebut, Amsakar selanjutnya masuk ke SMP II Kelas Jauh Raya tanpa tes.
Pada masa inilah sebuah tempaan dan pembelajaran kehidupan dilalui dengan penuh keringat, air mata, kesedihan dan tentu saja, duka cita.
Dengan usia yang baru 13 tahun, Amsakar harus menempa diri mengayuh sepeda menempuh perjalanan 16 kilometer [km] jauhnya dari Kampung Suak Tangun, tempat tinggalnya, menuju ke sekolah.
“Kalau berangkat sekolah itu pukul 11.00 untuk mengejar masuk sekolah pukul 14.00. Banyak cerita saat SMP ini, meski ini waktu terberat, tapi saya berhasil menamatkan SMP tepat waktu,” ujarnya.
Tahun 1984, Amsakar meneruskan pendidikannya di SMA Negeri Dabosingkep.
Selama melanjutkan pendidikan di SMA ini, Amsakar tinggal di Kampung Baru dengan Pak Itam Buang dan Mak Itam Tasni.
Masa SMA bagi Amsakar, telah menorehkan kesan tersendiri, khususnya yang terkait dengan prestasi belajar yang memperlihatkan tren meningkat dari waktu ke waktu.
Bahkan, ketika tamat SMA, Amsakar berhasil menjadi Juara I di kelasnya.
Selepas SMA pada tahun 1987, Amsakar melanjutkan studi di Pekanbaru. Ayahanda, Achmad Jubil, merasa sangat heran dengan anaknya yang satu ini.
Suka ngebeng dan jago merokok, tapi di sekolah Juara Kelas, telah membuat Ayahandanya perlu mendiskusikan rencana ke depan anaknya ini.
Masih cukup terngiang di ingatan, kala itu hari Sabtu malam Minggu, Amsakar dipanggil untuk datang ke rumah. Sang Ayah memulai pembicaraan.
“Milu, Pak Ngah nak tahu, kau masih mau melanjutkan sekolah atau tidak? Kalau mau melanjutkan kemana rencananya, kalau tidak apa langkah kau berikutnya?” Amsakar menirukan pertanyaan sang Ayah.
Mendapat pertanyaan yang demikian itu, Amsakar langsung menjawab, “Saya nak kuliah ke Pekanbaru Pak Ngah. Itu jawaban saya kala itu,” ujarnya mengenang.
Lalu, terjadilah sebuah peristiwa yang tidak pernah diduga-duga sebelumnya. Sang Ayah masuk kamar dan mengambil sebuah pelampung, yang ternyata isinya tabungan uang seratus dan lima puluh rupiah.
Pelampung besar yang berat dan penuh tersebut dibelah, lalu uang recehan itupun dihitung.
Jumlahnya mencapai Rp793.000. Uang itu ternyata sengaja disimpan dari waktu ke waktu demi pendidikan Amsakar.
Uang itu pun dirasa cukup untuk mendaftar, membeli tilam bantal, kompor, serta untuk makan selama tiga bulan sambil menunggu pengumuman dan membayar SPP jika lulus tes saat itu.
Amsakar Achmad
Kemudian, sang Ayah masuk kembali ke kamar mengambil sebuah koper yang sudah dipersiapkan. Lalu, koper dibuka. Isinya; satu buah sejadah, satu stel baju kurung dan sebilah keris.
Dengan air mata berlinang karena rasa haru yang dalam, Amsakar pun menyembah Ayahanda Achmad Jubil dengan setulus-tulusnya sembah anak terhadap orang tua.
“Saya menangis sejadi-jadinya. Terisak-isak memikirkan kalimat yang keluar dari mulut tua ayahanda dan memikirkan barang-barang di koper yang telah dipersiapkan olehnya," sebutnya.
"Sekiranya detak waktu dapat diputar mundur, maka saya akan katakan kepada dunia, bahwa segala jerih yang dikemas dengan tulus dan ikhlas dari orang tua terhadap anak, kelak akan memberi laluan yang baik dan mengesankan bagi anak tersebut,” ujar Amsakar.
Tatkala tekad sudah bulat disertai dengan bekal sebingkai hikmah dari orang tua, Amsakar pun menjemput masa depannya di Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Riau, Pekanbaru.
Selama kuliah, anak kampung yang terbiasa bertungkus lumus ini mulai menunjukkan tanda kecemerlangannya.
Meskipun untuk tahun pertama di kirimi wesel Rp40.000 per bulan buat makan, buku dan belanja rokok, Amsakar dapat menorehkan sejarah cukup penting di kampus.
Selesai teori 3,5 tahun, pernah Juara I Lomba Karya Tulis Ilmiah (LKTI) Tingkat Fakultas, Juara I LKTI Tingkat Universitas, Juara I LKTI Tingkat Sumatera dan Kalimantan Barat yang berlangsung di Universitas Jambi, Juara II LKTI Tingkat Nasional yang berlangsung di Universitas Lampung.
Bahkan, Amsakar merupakan satu-satunya yang tercatat sebagai Juara LKTI sampai ke tingkat Nasional selama UNRI berdiri. Ia pun sebagai Mahasiswa Berprestasi I Tingkat FISIPOL UNRI dan Mahasiswa Berprestasi III Tingkat Universitas.
Kecemerlangan silih berganti karena mulai tingkat II sampai tingkat III, Amsakar mendapatkan beasiswa Supersemar selama 2 tahun.
Wesel Rp60.000 dan beasiswa Rp40.000, menjadi laluan penting bagi Amsakar untuk memperoleh buku-buku bermutu.
Di kehidupan organisasi pun, Amsakar juga tidak kalah cemerlangnya diantaranya;
Di tengah kecemerlangan yang demikian itu, Amsakar juga memiliki catatan dan tantangan terberat dalam hidupnya sebagai mahasiswa.
Setelah menyelesaikan perkuliahan dengan indeks prestasi 3,08; Amsakar kemudian di wisuda pada bulan Oktober 1994.
Pasca Wisuda, Amsakar melalui hidupnya dengan luntang-lantung, bekerja ke sana kemari mengais rezeki. Namun, dengan bekal prestasi dan seperangkat rekomendasi mulai dari Rektor UNRI, Dekan Fisipol sampai Ketua Jurusan Sosiologi, Amsakar kemudian diminta menjadi Asisten.
Sejak saat itu, Amsakar resmi mendaftarkan diri menjadi Dosen Luar Biasa, istilah untuk menyebut Dosen Honor di Sosiologi Fisipol UNRI.
Mata kuliah yang dipegang antara lain Teori Sosiologi Klasik, Teori Sosiologi Modern, Sosiologi Kontemporer, Pengantar Sosiologi, Sosiologi Indonesia, Capita Selecta Sosiologi, dan Sosiologi Keluarga.
Disamping mengajar di Fisipol UNRI, Amsakar juga diminta membantu mengajar di PPKn FKIP UNRI dengan memegang mata kuliah Pengantar Sosiologi.
Di luar dari kegiatan mengajar, Amsakar juga diminta oleh Prof. Dr. Ashaluddin Jalil, MS [masa menjabat Rektor UNRI] untuk membantunya di Pusat Penelitian Industri dan Perkotaan UNRI.
Selanjutnya, setelah 2 tahun lebih mengajar, Amsakar belum juga mendapat kesempatan untuk diangkat sebagai dosen tetap.
Hal ini disebabkan karena selama kurun waktu tersebut, Fisipol UNRI hanya menerima masing-masing 1 orang dosen untuk tahun pertama jurusan Administrasi Niaga dan tahun kedua jurusan Hubungan Internasional.
“Karena itu, tatkala pada tahun 1997 ada pembukaan tes PNS, saya mencoba mendaftar dan alhamdulilah diterima sebagai staf Mawil Hansip Kota Batam,” kata dia.
Lelaki yang memiliki tinggi 168 cm dan berat tak lebih dari 50 kg ini, selanjutnya mulai memamah dunia kerja sebagai birokrat.
Meskipun pada masa awal terlintas dipikiran untuk tidak menerima pengangkatan sebagai pegawai di Mawil Hansip, tapi atas saran dari almarhum ayahnda dan mertua, jalan hidup yang sebenarnya berseberangan dengan hati nurani tersebut, akhirnya tetap di pilih.
Amsakar pun berangkat seorang diri ke Batam dengan meninggalkan istri dan dua orang anak tercinta [Suci Handini lahir di Pekanbaru, 4 November 1991 dan Aprilia Dwiningrum lahir di Pekanbaru, 14 April 1996].
Petualanganpun dimulai. Sekali lagi kehidupan bertungkus lumus seolah-olah menjadi sisi tak tergantikan dan selalu menyertai perjalanan kehidupan lelaki kurus ini.
Merasa gaji PNS tak cukup untuk membiayai kehidupan di Batam, Amsakar akhirnya mengontrak rumah di Belakang Padang.
Setelah dua bulan diangkat sebagai PNS, Amsakar mengikuti Latihan Pra Jabatan [LPJ} di Pekanbaru.
Seiring dengan selesainya pelaksanaan LPJ tersebut, Amsakar nekad memboyong istri dan dua orang anaknya untuk dibawa berangkat ke Belakang Padang dengan terlebih dahulu menjual satu buah kendaraan roda dua [Astrea Star] dan TV Samsung yang diperoleh selama melaksanakan penelitian di PPIP UNRI dengan sedikit tambahan bantuan dari mertua.
Amsakar memberanikan diri memulai penataan hidup yang sesungguhnya. Hasil penjualan Astrea Star dan TV tersebut, digunakan untuk membayar kontrakan setengah tahun.
Hari-hari tinggal di Belakang Padang mesti diisi dengan kebiasaan mengangkat air selepas pulang kerja.
Dan dari dua tahun tinggal di Belakang Padang, selama 1 tahun rumah sewa tersebut tak memiliki TV. Rasa malu sebagai seorang lelaki senantiasa mengusik hari-harinya oleh karena ketidakmampuan untuk memenuhi harapan anak bini.
Tapi, karena Allah Maha Pemurah, istri yang dicintai juga dengan segala sabar dan maklum, senantiasa memberi motivasi.
Akhirnya dengan tungkus lumus mengais rezeki, Amsakar pun dapat membeli 1 buah TV second dengan harga segunung [saat itu Indonesia sedang dihantam krisis moneter] demi memenuhi hobi istri dan anak yang ketika itu harus sering menonton telenovela Rosalinda di rumah tetangga.
Begitulah hidup, siapa yang sanggup melawan tantangan, pasti akan memanen hasil yang mengesankan. Siapa yang tak mudah menyerah, pasti akan memanen berkah.
Pada akhirnya sadarlah kita, bahwa manusia hanya punya rencana, tetapi Tuhan lah yang memutuskan.
Setelah dua tahun menetap di Kampung Jawa Belakang Padang, Kantor Walikota Batam selanjutnya pindah ke Batam Centre.
Sejak saat itu Amsakar dan keluarga juga harus pindah ke Batam karena jarak kantor semakin jauh sehingga tidak mungkin lagi jika setiap hari harus berulang naik boat pancung dari Belakang Padang ke Batam.
Amsakar Achmad
Kembali lagi, Amsakar harus menyewa rumah di Batu Aji.
Perjalanan karir lelaki inipun tergolong cemerlang dan mengesankan. Setelah pindah dari Mawil Hansip, 21 Juni 2000 sampai 3 September 2001, Amsakar dipercaya sebagai Kasubag TU Pimpinan dan Keuangan Setdako Batam, dari 4 September 2001 sampai 27 Januari 2002 dipercaya sebagai Kasubag Perlengkapan, kemudian dari 28 Januari 2002 sampai 6 Februari 2004 diangkat sebagai Kasubag Perundang-Undangan Bagian Hukum, selanjutnya dari 7 Februari 2004 sampai 31 September 2005 dipercaya sebagai Kasubag Rumah Tangga Bagian Umum, dan dari 1 Oktober 2005 diberi amanah untuk menjadi Kepala Bagian Umum. Selanjutnya menjadi Kepala Dinas UKM hingga Kepala Disperindag ESDM dan berkakhir untuk mendampingi Muhammad Rudi di percaturan politik Batam sebagai Wakil Wali Kota Batam.
Selama mengarungi karir di birokrasi, Amsakar pernah terpilih sebagai Pegawai Golongan III Teladan pada tahun 2001.
Dan pada tahun 2002, Amsakar diberikan kesempatan untuk mendapatkan beasiswa belajar di Program Strata II Universitas Airlangga Surabaya.
Perkuliahan untuk mengambil master ini akhirnya diselesaikan setelah pada tanggal 21 April 2005 Amsakar Achmad diwisuda. Tesis yang berjudul: ”Pengaruh Gaya Kepemimpinan terhadap Motivasi dan Produktivitas Kerja Pegawai Pada Pemerintah Kota Batam” berhasil dipertahankan dengan Nilai A di tempat duduk.
Kini, ia akan kembali berjuang untuk kembali menjadi kepala daerah, mendampingi Wali Kota, Muhammad Rudi, yang lima tahun ini telah bersamanya membangun Batam sehingga seperti sekarang ini.
Ia juga yakin, segala permasalahan di kota tercinta ini akan diselesaikan, asalkan semua pihak mau bekerja sama dan terus mengupayakan yang terbaik.
“Saya percaya, kita bisa bekerja lebih dari biasa,” kata Amsakar, menukil kalimat penyemangat yang kerap ia lontarkan. (rilis)
Sumber: inilahkepri
Editor: Surya Dharma Panjaitan
Tags : Wakil Walikota Batam Amsakar Achmad, dibekali sajadah, Amsakar Achmad Mengemban Amanah, Sosok Wakil Walikota Batam Amsakar Achmad,