KESEHATAN - Sebanyak tiga anak di wilayah Jawa Timur dan Jawa Tengah dilaporkan menderita lumpuh layu akut (acute flaccid paralysis/AFP) yang disebabkan oleh Virus Polio Tipe 2. Selain itu, dari hasil lab di wilayah sekitar mereka, terdapat sembilan anak lain yang dinyatakan positif walau tidak menunjukkan gejala.
Untuk menanggulangi Kejadian Luar Biasa (KLB) polio itu, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menggelar sub Pekan Imunisasi Nasional (PIN) polio secara serentak di seluruh wilayah Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Kabupaten Sleman, Yogyakarta, mulai 15 Januari 2024.
Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kemenkes, Maxi Rein Rondonuwu, mengatakan kemunculan KLB polio ini disebabkan oleh rendahnya cakupan imunisasi, lingkungan yang tidak bersih, dan perilaku masyarakat yang tidak sehat.
Rendahnya cakupan imunisasi vaksin polio itu, menurut epidemiolog dari Universitas Gadjah Mada, Riris Andono Ahmad, juga tidak lepas dari pengaruh dinamika sosial dan politik yang menyebabkan terjadi penolakan di beberapa kelompok masyarakat, lalu diikuti pandemi Covid-19, serta menurunnya kampanye vaksin polio ke masyarakat.
Kementerian Kesehatan melaporkan tiga anak mengalami lumpuh layu akut akibat polio di Klaten, Jawa Tengah; serta di Sampang dan Pamekasan, Madura, Jawa Timur.
Kasus pertama dialami anak perempuan, NH, enam tahun, di Klaten, Jawa Tengah yang menurut pengakuan orang tua mengalami lumpuh pada 20 November 2023. NH memiliki riwayat imunisasi polio tetes (OPV) sebanyak dua kali.
Kasus kedua dialami anak laki-laki berusia satu tahun sebelas bulan, MAF, di Jawa Timur. MAF mengalami lumpuh pada 22 November 2023 dengan riwayat imunisasi telah lengkap tapi mengalami malnutrisi.
Terakhir adalah MAM, anak laki-laki berusia tiga tahun satu bulan yang mengalami lumpuh pada 6 Desember 2023. Anak yang tinggal di Jawa Timur itu telah mendapatkan imunisasi polio tetes (OPV) empat kali dan polio suntik (IPV) satu kali.
Dirjen P2P Kemenkes, Maxi Rein Rondonuwu, mengatakan, dari sekitar 30 sampel anak sehat di Sampang, sembilan anak dinyatakan positif VDPV (virus polio vaksin/sabin yang bermutasi) Tipe 2 walaupun mereka belum menunjukkan gejala.
“Berarti sudah terjadi sirkulasi di Sampang. Di Klaten kita masih menunggu hasil,” kata Maxi dalam konferensi pers daring Penanganan KLB Polio di Jateng dan Jatim, pada media, Jumat (12/01).
Bagaimana kronologi kasus itu?
Subkoordinator Surveilans Karantina Kesehatan dan Imunisasi Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan (Dinkes) Klaten, Mentes Hartanti, menuturkan kasus ini bermula dari hasil laboratorium biofarma RS Sardjito Yogyakarta dan Kemenkes pada 18 Desember 2023 terhadap anak tersebut.
Dinkes Klaten dan Puskesmas Manisrenggo lantas melakukan pemeriksaan dan mengunjungi sekitar 200 rumah, serta mengambil 30 sampel anak-anak dari teman sekolah dan tetangga sekitar pasien yang positif polio itu. Hasilnya negatif.
"Jadi kasus ini kecil kemungkinan tertular di sini (daerah Klaten)," kata Mentes Hartanti.
Tim dari Kemenkes, WHO, dan sejumlah lembaga kemudian melakukan investigasi dan penyelidikan epidemologi (PE).
Mereka menemukan bahwa keluarga pasien positif polio itu selama 1,5 bulan berada di Sampang, Madura, antara September – November 2023.
"Jadi penularannya bukan dari lokasi, tapi karena punya riwayat perjalanan dari Sampang, Madura," kata Mentes.
Dirjen P2P Kemenkes, Maxi Rein Rondonuwu, mengatakan ketiga anak itu kini menjalani perawatan di rumah masing-masing dan dalam kondisi baik.
“Jadi yang dilakukan adalah supaya bisa fungsi kakinya, ototnya, karena menyerang syaraf. Bisa agak lebih baik dengan cara rehabilitasi, tapi tidak mungkin sembuh,” kata Maxi seperti dirilis BBC News Indonesia.
Apa itu penyakit polio dan bagaimana penyebarannya?
Maxi menjelaskan polio adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus dan menyebabkan gangguan syaraf seperti terjadinya kelumpuhan permanen terutama pada bagian tubuh tungkai bawah, disebut sebagai lumpuh layu.
Penyakit ini terutama menyerang anak-anak, khususnya mereka yang belum mendapat imunisasi lengkap.
Virus Polio terdiri dari 3 strain (tipe) yaitu strain-1 (Brunhilde), strain-2 (Lansig), dan strain-3 (Leon), termasuk family Picornaviridae.
Virus polio yang ditemukan dapat berupa virus polio vaksin/sabin, virus polio liar/WPV (Wild Poliovirus) dan VDPV (Vaccine Derived Poliovirus) yaitu virus vaksin yang bermutasi.
Maxi menambahkan virus ini bereplikasi di usus (saluran pencernaan) dan dapat keluar melalui tinja yang kemudian bertahan hidup selama beberapa waktu di air dan tanah.
“Jika tinja itu menyebar di lingkungan secara sembarangan dan anak-anak bermain di situ atau menggunakan air [tertular] sebagai sumber minum, maka bisa menginfeksi anak yang tidak memiliki kekebalan tubuh [belum mendapatkan imunisasi polio atau imunisasinya tidak lengkap],” kata Maxi.
Ketua Komnas Pengkajian dan Penanggulangan Kejadian Ikutan Pasca-Imunisasi (Komnas PP KIPI) Hinky Hindra Irawan Satari mengatakan jika feses itu tidak dikelola dengan baik maka akan menciptakan lingkungan yang membuat virus berkembang dan bahkan bermutasi.
“Jika terkena anak-anak yang tidak kebal maka akan jadi sumber persemaian virus lagi,” ujar Hinky.
Masa inkubasi virus polio biasanya memakan waktu tiga hingga enam hari, dan kelumpuhan terjadi dalam waktu tujuh hingga 21 hari, di mana kebanyakan orang yang terinfeksi (90%) tidak menunjukkan gejala.
Jenis virus polio apa yang menginfeksi ketiga anak itu?
Kemenkes melaporkan virus polio yang menyerang ketiga anak itu adalah jenis VDPV Tipe 2. Maxi mengatakan VDPV ini berasal dari virus yang dilemahkan dan digunakan untuk vaksin polio oral.
“Ketika virus yang dilemahkan itu pindah-pidah, mengalami mutasi, dan ke pada anak yang kekebalan tidak kuat maka bisa terkena [polio],” kata Maxi.
Selain menyerang anak di Jawa, virus jenis ini juga pernah muncul di wilayah lain.
Pada Oktober 2022, seorang anak laki-laki berusia tujuh tahun, AK, di Pidie, Aceh menderita polio, dan terdapat empat anak sehat positif VDPV2 di wilayah itu.
Kemudian pada Januari 2023, dua anak laki-laki, MF dan MR, terjangkit polio di Aceh Utara dan Bireuen, Aceh.
Sebulan kemudian, Februari 2023, anak perempuan empat tahun, NA, menderita polio di Purwakarta di mana di sana juga ditemukan tujuh anak sehat positif VDPV2.
Selain di Indonesia, Ketua Komnas PP KIPI Hinky Hindra mengatakan sirkulasi kasus polio VDPV Tipe 2 juga terjadi di seluruh dunia.
Menurutnya dari tahun 2016 terdapat 76 kasus virus ini di dunia. Hinky mengatakan, virus ini mulainya terindikasi ada di Nigeria Utara dan kemudian menginfeksi 18 negara lalu meluas di 70% wilayah Afrika.
“Virus yang sirkulasi di kita juga ada di Inggris, Israel dan juga Amerika Serikat. Ini problem dunia,” kata Hinky.
Saat ini masih terdapat dua negara endemis yang melaporkan penularan polio, yaitu Afganistan, dan Pakistan.
Mengapa virus polio kembali muncul?
Indonesia sempat dinyatakan bebas polio oleh WHO pada tahun 2014. Namun, polio kembali muncul.
Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan munculnya virus polio di Indonesia. Pertama adalah rendahnya cakupan vaksin polio di masyarakat.
Data Kemenkes pada tahun 2020 menunjukkan cakupan pemberian vaksin polio oral empat dosis (OPV4) rata-rata 86,8%, di bawah target nasional sebesar 95%.
Aceh menjadi provinsi terendah dengan 51,7%, lalu Sumatra Barat 57,9%. Sementara itu, cakupan untuk vaksin polio suntik (IPV) jauh lebih rendah yaitu hanya 37,7%.
Cakupan OPV4 kembali menurun di tahun 2021, yaitu sebesar 80,2%, sementara IPV meningkat menjadi 66,2%. Tingkat imunisasi OPV4 di Jawa Tengah sebesar 77,2% dan Jawa Timur 81,1%.
Maxi mengatakan dua tahun pandemi Covid menjadi salah satu penyebab cakupan imunisasi menjadi rendah.
Senada dengan itu, Chief of Research and Policy CISDI, Olivia Herlinda melihat dampak pandemi Covid-19 menyebabkan banyaknya kemunduran capaian target kesehatan Indonesia, terutama soal vaksinasi rutin.
“Dari survei puskesmas yang dilakukan CISDI, ini bisa akibat beberapa alasan, seperti berhentinya layanan, berubahnya metode dan jadwal layanan, takut terinfeksi, minimnya petugas yang melakukan vaksinasi karena layanan dialihkan ke vaksinasi Covid-19 dan upaya pengendalian Covid-19 lainnya.”
“Kemudian, begitu kasus Covid-19 mulai mereda pun, cakupan belum pulih sepenuhnya. Bisa jadi masih ada dampak dari pandemi yang menyebabkan masyarakat masih ragu ataupun menolak karena persepsi yang terbentuk dan misinformasi yang beredar selama proses vaksinasi Covid-19 kemarin,” kata Olivia.
Selain dipengaruhi oleh pandemi Covid, epidemiolog Riris melihat dinamika politik dan sosial ternyata juga berkontribusi atas rendahnya imunisasi, seperti terjadinya keterbelahan politik pascapemilu 2014 dan 2019 di masyarakat.
“Kalau dilihat daerah-daerah di mana wilayahnya tidak cukup tinggi dukungan ke presiden maka itu juga berdampak pada cakupan imunisasi. Ada penolakan cukup kuat terhadap program-program pemerintah, terutama vaksinasi. Daerah-daerah itu [rendah imunisasi] juga kalau dlihat relatif secara religius lebih kuat dibandingkan yang lainnya,” kata Riris.
Kemudian, tambah Riris, juga dipengaruhi semakin berkurangnya program Pekan Imunisasi Nasional (PIN) untuk polio.
“Di tahun 1990 dan 2000an, kita mengenal PIN yang fokus mengejar cakupan polio. Sekarang ini bukan menjadi rutin lagi karena kita memang pernah dinyatakan bebas polio. Ketiadaan kampanye rutin itu mempengaruhi coverage,” ujarnya.
Penyebab kedua mengapa polio kembali muncul, menurut Hinky dari Komnas PP KIPI, adalah karena perilaku bersih hidup sehat tidak dilaksanakan secara memadai.
“Nomor satu cakupan makin lama makin turun, kemudian perilaku bersih hidup sehat tidak dilaksanakan secara mantap. Akhirnya ditemukan kasus di wilayah barat hingga sekarang sampai ke tengah, Jawa Timur,” ujarnya.
Bagaimana cara terhindar dari penyakit polio?
Epidemiolog Riris menegaskan bahwa imunisasi adalah alat yang paling utama untuk terhindar dari polio.
Setiap anak harus mendapatkan empat kali vaksin oral dan dua kali vaksin suntik, sebelum usia satu tahun, sehingga kekebalan tubuh melawan polio terbentuk.
Untuk itu, Dirjen P2P Kemenkes Maxi berharap agar setiap orang tua di wilayah Jawa Tengah, Jawa Timur dan Kabupaten Sleman, Yogyakarta membawa anaknya menerima imunisasi dalam sub-PIN yang digelar dalam dua putaran, yaitu pada 15 Januari 2024 dan 19 Januari 2024..
“Sasaran adalah anak usia 0-7 tahun tanpa memandang status imunisasi sebelumnya, sekalipun sudah lengkap harus diberikan lagi imunisasi. Tempat pelayanan di puskesmas, posyandu, PAUD, TK, SD, dan pos imunisasi lainnya di bawah koordinasi puskesmas,” kata Maxi.
Selain itu, masyarakat juga diminta untuk menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat, termasuk buang air besar di jamban, cuci tangan dengan sabun sebelum makan serta setelah buang air.
Apakah vaksin polio aman bagi anak?
Ketua Komnas PP KIPI Hinky Hindra Irawan Satari mengatakan vaksin yang digunakan dalam Sub-PIN ini bernama Novel Oral Polio Vaksin tipe 2 atau nOPV2.
Hinky mengatakan, data keamanan vaksin ini telah dikaji oleh oleh Global Advisory Committee on Vaccine Safety (GACVS) dan Global Polio Eradication Initiative (GPEI).
“Vaksin nOPV2 telah dikembangkan sejak tahun 2011 dan mulai diberikan sejak 2021 dengan izin WHO Emergency Use Listing setelah dibuktikan efikasi dan keamanannya,” kata Hinky, yang menambahkan vaksin ini juga telah mendapat izin edar dari BPOM.
Hingga Desember 2023, Hinky mengatakan, kurang lebih satu miliar dosis vaksin telah diberikan di lebih dari 35 negara dan tidak ada resiko berbahaya pasca-pemberian vaksin.
Di Indonesia, sekitar tujuh juta dosis vaksin telah diberikan sejak KLB polio di Aceh, Sumatra Utara, dan Jawa Barat.
“Ada beberapa laporan KIPI serius, namun ternyata tidak terkait vaksin, tapi karena campak, demam dengue, dan infeksi bakteri. Jadi vaksin ini aman,” katanya.
Reaksi dari vaksin, ujarnya, berlangsung singkat dan dapat sembuh tanpa pengobatan. Menurut data berdasarkan uji klinik oleh produsen vaksin, efek yang muncul adalah menangis, mengantuk, demam, revel, hilang nafsu makan, dan muntah.
“Ini berlangsung 1-2 hari setelah pemberian dan menghilang dengan atau tanpa pengobatan,” ujarnya. (*)
Tags : anak lumpuh akibat polio, kesehatan, gejala polio, penelitian medis, kesehatan perempuan, anak-anak,