SENI BUDAYA - Berawal dari ritual kuno untuk menyembah arwah leluhur, mangongkal holi kini disebut sebagai tradisi tertinggi untuk menunjukkan identitas Batak Toba beserta nilai-nilai luhurnya.
Mangongkal holi, atau dibaca “mangokkal holi”, secara harfiah berarti “menggali tulang”. Dalam tradisi ini, masyarakat Batak Toba membongkar kembali makam leluhur untuk mengumpulkan tulang-belulang mereka.
Setelah dibersihkan dan ditata ke dalam peti baru, tulang-belulang ini kemudian dimasukkan ke dalam makam kolektif keluarga berupa tugu, dipersatukan dengan generasi sebelumnya dari garis leluhur yang sama.
Konon, orang Batak Toba sudah melakukan mangongkal holi sejak zaman megalitikum, saat kepercayaan mereka masih merupakan campuran animisme dan dinamisme.
"Pada awal 1900-an, mangongkal holi pun sempat dilarang karena dianggap ‘kafir’."
Dalam rangkaiannya, mangongkal holi penuh dengan upacara adat yang bisa berlangsung berhari-hari. Biaya penyelenggaraannya tentu tak murah, bahkan bisa mencapai ratusan juta rupiah.
Belakangan, Ketua DPD I Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Riau, Larshen Yunus menceritakan tentang adat istiadat keluarga Batak Toba menjalankan mangongkal holi ini.
Sebagai generasi muda Batak Toba yang sudah lahir di Pekanbaru, kemudian besar di Riau dan bekerja di Jakarta ini, Larshen Yunus mencari tahu, apakah tradisi ini masih relevan di masa kini.
"Saya memegang potongan tengkorak nenek saya yang berselimut tanah dengan hati-hati, lantas menyikatnya hingga bersih."
Di sebelah, saudara saya menyikat tengkorak kakek.
“Ih, ada gigi emas!” teriaknya sambil mengacungkan sebuah benda kecil dari tumpukan tanah dan tulang-belulang di hadapan kami.
Sontak, belasan saudara lain berkerumun.
“Kantongin aja. Lumayan, bisa dijual buat ganti biaya mangongkal holi,” kata salah satu saudara, disambut tawa kerabat lainnya.
Celetukan itu hanya bercanda, tentu saja. Namun, untuk menggelar acara ini, keluarga besar bapak saya memang mengeluarkan dana yang tak sedikit, lebih dari Rp350 juta.
"Semua itu demi acara selama dua hari pada 10 tahun lalu," sebutnya.
"Intinya, keluarga besar kami menggali kubur kakek dan nenek di Siantar, Sumatra Utara, kemudian membawa tulang-belulangnya sejauh 102 kilometer ke di pesisir Danau Toba," ungkapnya.
"Di sana, tulang-belulang itu dimasukkan ke tugu pemakaman keluarga, dipersatukan dengan nenek moyang marga generasi sebelumnya."
"Sejak kecil, saya biasa melihat Bapak dan Mama ke acara Batak, tapi baru kali ini mendengar soal mangongkal holi," katanya.
"Ternyata, beberapa jurnal malah menyebut mangongkal holi sebagai tradisi tertinggi Batak Toba."
Tetapi salah satu penelitian itu bertajuk Mangongkal Holi as the Highest Level of Tradition in Batak Toba Society yang ditulis oleh Charles Silalahi dan diterbitkan di majalah ilmiah Methoda pada 2015 bahkan dibaca jutaan penduduk.
Larshen Yunus yang juga sebagai Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjend) KNPI Pusat Jakarta ini bilang mangongkal holi mengandung setidaknya sembilan nilai luhur, yang utamanya adalah saling menghormati berdasarkan falsafah dalihan na tolu.
“Nilai-nilai itulah yang membentuk identitas Batak. Ibaratnya, kalau mau lihat Batak itu seperti apa, lihat mangongkal holi,” katanya dalam bincang-bincangnya.
Namun, sebagai milenial kelas pekerja di Jakarta, saya sempat menganggap menghabiskan uang sebesar itu untuk sebuah acara adat, hampir tak masuk akal. "Banyak tanya menjejali kepala," sebutnya.
Kalau memang mangongkal holi begitu penting dan harus dilestarikan, mungkinkah upacara ini disederhanakan?
Walau pun bisa, apakah anak muda di perantauan harus dan akan tetap melanjutkan tradisi ini di tengah kesibukan dan kondisi ekonomi seperti sekarang?
"Ternyata, saya tak sendiri. Banyak anak muda Batak lain juga mempertanyakan hal yang sama," katanya.
Pengalamannya yang Ia ceritakan tentang menggali kuburan kakek dan neneknya.
"Saya tidak pernah bertemu mereka. Bapak hanya pernah beberapa kali bercerita tentang kakek saya, dan nenek saya," ungkapnya.
"Ompung saya orang hebat," kata Bapak diulang Larshen.
"Bapak saya merantau ke Riau tanpa bekal, dia berhasil hidup yang sederhana tanpa bantuan keluarga."
"Setelah Ompung meninggal dunia, kewalahan. Kerja serabutan pun dilalui."
“Bayangin. Dari situ saja, ompung boru [nenek] harus jualan beras di pasar,” cerita Bapak, di satu pagi ketika saya masih SMA.
“Malu, tapi tetap harus kerja, sampai bisa membiayai Bapak kuliah. Memang, Bapak dapat beasiswa, tapi untuk biaya hidup di Riau kan berat juga.”
Sayang, Ompung tak sempat merasakan hasil jerih payahnya menyekolahkan Bapak.
Ia meninggal dunia pada 1974, beberapa tahun sebelum Bapak lulus kuliah dan bekerja di salah satu perusahaan multinasional.
"Berkat cerita-cerita Bapak, sejak kecil saya tahu kedua ompung saya adalah pekerja keras. Saya tidak mungkin bisa 'hidup enak' seperti sekarang ini tanpa kerja keras mereka."
“Masa mau mangongkal holi untuk kasih penghormatan terakhir buat mereka (Ompung) aja, masih mikir boros?” pikir saya.
Kembali pada soa tradisi mangongkal holi, yang prosesi diawali dengan kebaktian singkat oleh pendeta, yang kemudian mencangkul kubur Ompung secara simbolis.
Sebagai penghormatan, penggalian secara simbolis dilanjutkan oleh pihak keluarga dari ibu Ompung, lalu keluarga Ompung.
“Ini untuk menghargai pihak perempuan yang melahirkan kedua ompung. Di adat Batak, pihak perempuan harus dihormati karena kalau tidak ada mereka, tidak akan ada keturunan yang melanjutkan marga,” kata Larshen menceritakan kembali pesan Bapak nya.
“Kalau tidak ada perempuan, satu marga akan punah begitu saja.”
Setelah rangkaian prosesi simbolis selesai, para penggali bayaran melanjutkan proses pembongkaran kuburan hingga setidaknya tulang belulang ompung terlihat.
Karena sudah dikuburkan puluhan tahun silam, sangat sulit menemukan tulang-belulang ompung. Hampir satu jam menggali, tulang tak kunjung terlihat.
Hingga akhirnya, satu teriakan memecah keheningan.
“Itu tengkorak ompung!”
Saya langsung berlari ke arah kubur.
Sekitar 3-4 meter di bawah sana, terlihat tempurung kepala dengan syal melingkar di bawahnya.
“Itu syal ompung,” ucap Bapak sambil membendung air mata.
Di sebelah Bapak, saya hanya bisa menganga.
Selama ini, saya hanya mengenal kedua ompung saya melalui foto. Di dalam otak saya, Ompung adalah sosok yang tangguh.
Namun kini, saya hanya bisa melihat tulang-belulang mereka, remuk ditelan waktu. Rasanya campur aduk.
Tak bisa berlama-lama larut dalam haru, Bapak langsung sibuk mencari orang dan Dua sepupu laki-laki saya langsung masuk ke dalam liang lahat.
Saya bingung. Boru dalam bahasa Batak berarti anak perempuan, tapi kenapa yang turun malah sepupu laki-laki saya?
Bapak bilang, sepupu saya itu adalah keturunan dari tante saya, yang berarti anak perempuan dari Ompung.
Dalam acara ini, mereka datang sebagai perwakilan pihak boru.
Di setiap acara batak, pihak boru memang bertugas bekerja. Di acara mangongkal holi, pihak boru lah yang harus mengumpulkan tulang-belulang ompung dari liang lahat.
Mereka kemudian menyerahkan tulang-belulang itu ke keluarga ibu Ompung dan keluarga Ompung yang sudah menanti dengan dua baki beralas ulos di tangan mereka.
“Horas, ompung!” teriak kami ketika tulang tersebut dimasukkan ke dalam baki.
Karena sudah terkubur puluhan tahun, tulang-belulang ompung tak lagi utuh.
Selain potongan tengkorak, hanya ditemukan sejumlah tulang yang tidak diketahui lagi dari bagian tubuh mana.
Saya dan sepupu-sepupu dari pihak boru kemudian mencuci tulang-belulang itu dan memasukkannya ke dalam peti untuk dibawa ke Laguboti itu juga.
Peti-peti itu diinapkan di gereja sebelum dimasukkan ke dalam tugu pemakaman keluarga esok hari.
Apa itu dalihan na tolu?
Prosesi mangongkal holi, sebenarnya sudah terlihat salah satu nilai luhur pembentuk identitas Batak, yakni saling menghormati.
Namun, yang masih belum saya pahami, mengapa keluarga dari pihak ibu atau istri sangat dihormati, tapi boru harus bekerja?
“Itu sebenarnya ada bentuk penghormatannya juga karena dalihan na tolu, atau tungku berkaki tiga," kata Larshen.
"Itu falsafah hidup orang Batak yang penerapannya paling terlihat di mangongkal holi."
Kehidupan orang Batak diibaratkan seperti satu tungku yang punya tiga kaki penyangga. Tiga kaki itu terdiri dari dongan tubu, hula-hula, dan boru. Semua ini dilihat dari kacamata laki-laki, jelasnya.
Sebagai contoh, Bapak saya bermarga Simamora, menikah dengan Mama, yang lahir dari keluarga (boru Silaban)
Semua saudara laki-laki yang satu marga dengan Bapak disebut dongan tubu, termasuk abang saya.
Sementara itu, hula-hula adalah keluarga pihak istri, berarti keluarga.
Terakhir, ada pihak boru, yaitu anak perempuan.
Agar kehidupan orang Batak dapat berjalan dengan baik, ketiga pihak itu harus seimbang, saling menghormati dengan cara masing-masing.
“Somba marhula-hula, elek marboru, manat mardongan tubu.”
Artinya, menyembah atau hormat kepada hula-hula, membujuk/mengayomi anak perempuan, dan berhati-hati kepada orang yang semarga.
“Keluarga Bapak harus hormat sama hula-hula Bapak—yaitu keluarga Mama, karena sudah memberikan anak perempuan mereka—yaitu Mama—untuk menikah, sampai punya anak yang bisa meneruskan marga Simamora,” kata Larshen.
Sementara itu, pihak boru atau anak perempuan juga harus dihormati karena dalam adat Batak, mereka lah yang bekerja dan memberikan dana jika ada acara, atau bahkan dalam keseharian.
“Elek itu secara harfiah mengelus dagu. Maksudnya, kita harus baik-baikin boru. Harus dihormati, supaya mereka mau kerja dengan senang hati,” ujarnya.
Terakhir, manat mardongan tubu, yaitu berhati-hati dengan yang semarga.
Semua orang Batak pasti akan mengalami berada di ketiga posisi tersebut, tergantung dia sedang dalam acara apa, sebagai apa.
Misalnya, kalau Bapak sedang berada di acara yang digelar keluarga Simamora, dia di sana sebagai pendamping Mama, yang berarti datang dari pihak boru.
“Bapak kalau di acara Simamora, ya angkat-angkat bir. Mau sampai Luhut [Binsar Pandjaitan] juga kalau dia lagi ke acara keluarga istrinya, pasti dia kerja,” katanya.
“Batak enggak peduli dia siapa, jabatannya di luar apa."
Pada akhirnya, semua orang Batak harus saling menghormati karena kami diyakini berasal dari satu nenek moyang, yaitu Si Raja Batak.
Larshen mengatakan bahwa penerapan penghormatan dalam dalihan na tolu paling kental terlihat dalam prosesi mangongkal holi karena begitu banyak generasi yang terlibat.
Selain saling menghormati, Larshen juga menemukan delapan nilai luhur lain yang terkandung dalam mangongkal holi.
“Yang utama itu rasa hormat, tanggung jawab, dan gotong royong. Semua terangkum dalam prosesi mangongkal holi ini,” ucap Larshen.
Dalam adat Batak, para menantu lah yang bertanggung jawab membawa peti ompung menuju tugu dengan cara diusung di atas kepala.
“Petinya berat banget, dan walaupun itu berupa tulang-belulang, tapi ada rasa tanggung jawab besar untuk membawanya sampai ke tugu,” ucapnya.
"Saya dapat pengakuan Bapak, menantu dipilih karena jadi simbol yang menggantikan peran ibu dalam keluarga. Jadi Mama berperan mengabadikan jejak ompung, sekaligus menambah keturunan marga,” tuturnya.
Larshen menjelaskan bahwa bagi orang Batak, marga adalah identitas.
Maka, orang Batak memikul tanggung jawab untuk memastikan silsilahnya tercatat dengan baik, dan keturunannya terus berlanjut agar marganya tidak punah.
Mangongkal holi merupakan upaya tertinggi untuk mencapai kedua tujuan itu.
Silsilah tercatat dengan baik karena para leluhur dipersatukan di satu tugu, dan nama mereka diukir di tembok monumen itu.
Dalam upacara ini, pihak keluarga istri dari beberapa generasi marga juga diberikan penghormatan karena memegang peran kunci untuk menambah keturunan dan memastikan keberlanjutan marga.
Sebagai simbolisasi, Mama menerima kehormatan sekaligus tanggung jawab untuk membawa peti itu di atas kepala dan mengantarnya hingga sampai ke tugu.
Di dalam tugu ini, tersimpan tulang-belulang leluhur keluarga saya dari regenerasi marga Simamora.
Dengan pendampingan pendeta, tulang-belulang Ompung akhirnya dimasukkan ke dalam tugu, menambah satu lagi generasi Simamora yang diabadikan.
“Horas! Horas! Horas!” teriak sanak saudara merayakan keberhasilan bersama ini.
Dari kejauhan, kemudian terdengar suara gondang dan seruling mengiringi seorang penyanyi melantunkan lagu.
“Molo marujung ma. Muse ngolukku, sai ingot ma. Anggo bangkeku, disi tanomonmu, disi udeanku sarihon ma...”
“Ketika saya meninggal, ingatlah, ini jasadku, tolong dikubur di sini [Pulau/kampung halaman],” kira-kira begitu arti lirik lagu ciptaan musisi kenamaan lagu-lagu Batak, Nahum Situmorang.
Dikuburkan di kampung halaman memang impian banyak orang Batak, termasuk Ompung saya.
Kini, impian itu tercapai dan tujuh generasi saudara jauh berkumpul untuk merayakannya dalam “ulaon na gok” atau “pesta adat besar” yang sudah dipersiapkan di kampung tempat tugu keluarga kami berdiri.
Sanak saudara hadir, termasuk rombongan hula-hula Ompung, ditambah hula-hula dari beberapa generasi di atasnya.
Selain itu, hula-hula dari tiap anak laki-laki Ompung juga hadir.
Bapak sendiri sudah mengundang perwakilan Simamora sebagai keluarga Mama untuk hadir di acara itu.
“Banyak sekali generasi hula-hula yang datang. Bisa dibilang, ini prosesi penghormatan terhadap hula-hula yang paling besar dalam adat Batak,” kata dia.
Usai berbagai prosesi adat, keluarga kecil kami menghampiri rombongan hula-hula dari keluarga Simamora. Kedatangan mereka sangat berharga buat Mama.
Karena itu, Bapak mencari keluarga Mama di Sumatra yang masih satu leluhur dengan Mama.
Seumur hidup, baru kali ini saya bertemu dengan mereka. Begitu pula Mama.
Namun, waktu kami menghampiri mereka, Mama dan perwakilan keluarga itu berkaca-kaca membendung air mata.
“Ini boru-ku ini,” kata pemimpin rombongan sembari memeluk Mama.
Saya agak kaget melihat pemandangan itu. Bagaimana bisa orang yang tidak pernah bertemu sebelumnya, langsung seperti keluarga dekat yang sudah lama tak berjumpa?
Di titik itu, saya juga baru menyadari, bagaimana bisa Bapak menelusuri dengan cepat keluarga yang masih satu leluhur dengan Mama?
Bapak bahkan bisa sampai mengundang perwakilan keluarga ibu dari empat generasi di atas Ompung.
“Ya, itu semua bisa terjadi karena orang Batak Toba masih memegang sistem pencatatan silsilah yang ketat dan menerapkan penghormatan sesuai dalihan na tolu dengan ketat,” kata Larshen, yang juga sebagai Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Gabungan Rakyat Prabowo Gibran (GARAPAN) ini.
Jadi Larshen melihat keberadaan mangongkal holi beserta nilai-nilainya yang penting bagi kebudayaan Batak, Ia pun berharap generasi muda dapat melestarikan tradisi tersebut.
“Nilai-nilai itulah yang membentuk identitas Batak, jadi harus dilanjutkan. Batak itu saling menghormati. Batak itu bertanggung jawab. Batak itu semua nilai-nilai yang terkandung di dalamnya,” ucapnya.
“Kalau tidak punya identitas lagi, siapa kita?”
Mengapa muda-mudi ogah mangongkal holi?
"Keluarga saya saja menghabiskan total dana Rp355.136.000 untuk menggali kuburan orang yang sudah meninggal."
Namun, Larshen menganggap duit sebanyak itu seharusnya bisa dipakai untuk banyak hal lain.
“Gila. Mending buat orang yang masih hidup enggak, sih?” ucap Larshen saat saya memberi tahu pengeluaran kami.
Menurutnya, penilaian anak muda Batak terhadap mangongkal holi sangat penting untuk menentukan keberlanjutan tradisi ini.
“Sekarang ini, nasib mangongkal holi itu akan dilanjutkan atau tidak, ada di generasi milenial dan gen z yang tinggal di bumi ini, yang secara umum lebih mapan,” kata dia.
Tetapi dalam penilaiannya, kemungkinan 41,1 persen responden menyatakan tradisi mangongkal holi masih relevan, sementara 58,9 persen lainnya menganggap tidak relevan lagi.
Namun, dari keseluruhan responden, hanya 12,5 persen yang ingin melakukan mangongkal holi.
"Hal ini juga tercermin dalam obrolan saya dengan teman, salah satu generasi muda Batak kelahiran 1998, yang tinggal di Jakarta sejak lahir. Dimana dia (teman) bercerita, ayah dan ibunya masih sangat aktif mengikuti pesta-pesta adat. Ia pun tahu tentang mangongkal holi dan betapa penting ritual itu."
Larshen mengakui bahwa banyak orang Batak Toba yang tinggal di perantauan berpikiran seperti teman tadi yakni tidak melakukan mangongkal holi.
Namun menurutnya, mangongkal holi justru bisa jadi solusi masalah krisis lahan kubur di kota-kota besar.
Pada 2021 lalu, misalnya, media-media nasional melaporkan bahwa dari 83 tempat pemakaman umum yang dikelola Dinas Pertamanan dan Hutan Kota DKI Jakarta, 68 di antaranya sudah terisi di atas 90 persen atau hampir 100 persen.
Alhasil, kini hanya tersedia model pemakaman tumpang.
“Kalau kita lakukan mangongkal holi, misalnya satu orang sudah meninggal lalu dikubur, delapan tahun kemudian tulang-belulangnya dipindahkan ke tugu. Tempat kuburan dia yang lama bisa dipakai lagi,” ujar Larshen.
“Kalau ziarah, seberapa sering sih kita mau ziarah? Banyak yang sekali [dalam] setahun pun tidak. Justru dengan ditaruh di tugu, ada alasan untuk kembali ke kampung halaman, mengingat asal muasal kita.”
Namun, dari beberapa anak muda yang saya temui, ada pula yang masih ingin melanjutkan tradisi mangongkal holi.
“Dulu juga bapak mangongkal holi ompung. Biayanya enggak sebesar itu kok. Acara intinya kan hanya sampai masukin tulang ke tugu aja. Enggak perlu pesta besar juga,” ujar pria kelahiran Pekanbaru ini. (*)
Tags : mangongkal holi, hak perempuan, sejarah, indonesia, perempuan, seni budaya, anak muda batak toba, tradisi tertinggi batak toba,