DITENGAH tuduhan tingkat literasi rendah, beberapa anak muda membuat inisiatif untuk mendekatkan banyak orang dengan buku. Tapi apakah itu cukup?
Setiap bulan, beberapa orang datang berkumpul di satu tempat di Jakarta, membawa buku bacaan mereka masing-masing.
Pada pukul 10 pagi, tanpa aba-aba, mereka mengeluarkan buku - atau e-reader - dari tas mereka, dan mulai membaca dalam senyap.
Satu jam kemudian, mereka foto bersama, kemudian bubar.
Itulah yang terjadi di setiap sesi 'Baca Bareng', sebuah klub buku yang dirancang sebagai ruang aman untuk membaca — apapun bukunya.
Tidak seperti klub buku pada umumnya, mereka tidak mensyaratkan keanggotaan, tidak menentukan buku yang harus dibaca, dan tidak mengharuskan sosialisasi.
“Baca Bareng itu komunitas yang bukan komunitas beneran ya karena di 'Baca Bareng' itu tidak mengikat, “ kata insiatornya, Hestia Istivani saat sesi Baca Bareng di Taman Literasi Martha Christina Tiahahu di kawasan Blok M, Jakarta, awal Mei lalu.
Hestia terinspirasi dari gerakan baca senyap atau silent book club (SBC) di San Fransisco, Amerika Serikat. Sang “bookfluencer” menginisiasi Baca Bareng pada Agustus 2019 sebagai salah satu cabang SBC pertama di Indonesia.
Perempuan berusia 30 tahun asal Surabaya itu bermaksud membuat gerakan membaca yang inklusif. Artinya, peserta bebas untuk membaca apapun yang mereka mau entah itu novel, komik, buku non-fiksi, bahkan katalog produk.
“Inklusivitas itu ingin mengenalkan bahwa membaca itu terbuka untuk siapapun, enggak ada batasan kelas, enggak ada batasan gender, enggak ada batasan usia, dan kalaupun membaca hanya untuk hiburan cuma buat melepas penat itu juga enggak apa-apa,” kata Hestia yang sudah delapan tahun merantau di Jakarta.
Inklusivitas itu juga dicerminkan dari pilihan tempat untuk sesi baca senyap. Taman Literasi Martha Christina Tiahahu, yang baru dibuka kembali pada September 2022 setelah direvitalisasi, adalah lokasi yang terbilang strategis karena dekat dengan halte Transjakarta dan stasiun MRT.
Selama satu jam, orang-orang khusyuk membaca dengan latar belakang suara lalu lintas, sesekali diselingi deru knalpot kendaraan bermotor.
Fadli, 26 tahun, jauh-jauh datang dari Depok ke Jakarta Selatan untuk ikut sesi Baca Bareng, dan menamatkan novel On Earth We’re Briefly Georgious dari penulis Ocean Vuong.
Ia mengatakan kepada BBC bahwa membaca bersama orang lain membuatnya lebih semangat untuk menambah halaman bacaannya. “Karena kita kan ngumpul bareng-bareng, orang yang memang hobi atau suka baca buku,” ujarnya.
Klub-klub buku bermunculan seiring membaca buku kembali menjadi tren di kalangan anak muda. Media sosial disebut sebagai pendorongnya.
Laporan What Kids Are Reading, yang menyurvei anak-anak di Inggris dan Irlandia, mengatakan bahwa tren media sosial seperti #booktok di TikTok mengajak anak-anak muda untuk membaca buku.
Indonesia tidak ketinggalan. Survei The Digital Reader pada 2020 menunjukkan warga Indonesia menghabiskan rata-rata enam jam setiap minggu untuk membaca buku. Data dari Perpustakaan Nasional RI (Perpusnas) juga menunjukkan bahwa minat baca masyarakat cenderung meningkat dari tahun ke tahun.
Beberapa klub buku dibentuk untuk melawan anggapan tentang minat baca rendah. Salah satunya Bookclan, yang berkumpul setiap hari Sabtu di lapangan Banteng, Jakarta Pusat. Klub yang baru dibentuk pada awal 2023 itu juga menyebut dirinya sebagai kelompok yang inklusif.
Bagi Bookclan, sosialisasi dan rasa kekeluargaan antara sesama pembaca buku adalah hal yang penting untuk menjaga minat baca. Satu jam pertama pertemuan Bookclan diisi dengan sesi perkenalan dan sosialisasi, diikuti dengan satu jam membaca senyap.
“Aku enggak mau kita buat klub buku yang cuma baca kemudian bubar. Aku pengen ada kekeluargaan, ada komunitas yang terbentuk... Kalau kita mau ningkatin minat baca ya, satu orang dengan orang lain harus kenal supaya merasa tergerak juga untuk baca lebih lagi,” kata inisiator Bookclan, Reynaldi.
Rutin bertemu setiap pekan, Reynaldi menyatakan Bookclan tidak pernah libur sejak didirikan bahkan pada tanggal merah. Jadwal pertemuan yang rutin itu terinspirasi dari gerakan-gerakan lingkungan.
“Kita kan secara data minat baca kita sangat rendah tapi gerakan soal pendidikan itu enggak segreget gerakan lingkungan. Karena itu aku buat tiap minggu, berapa banyak pun orang yang datang,” ungkapnya.
‘Bukan minat baca yang rendah, tapi akses pada buku yang rendah’
Anggapan bahwa minat baca masyarakat Indonesia rendah telah dibantah oleh banyak pegiat literasi. Mereka mengatakan problem sebenarnya adalah minimnya akses terhadap buku-buku berkualitas.
“Sebenarnya minat baca tinggi tapi aksesnya minim, bahkan sampai enggak ada. Itu yang akhirnya membuat orang-orang terlena dengan membaca yang ‘ya udah [membaca] kalau buku ada aja’ ... Gimana mau baca? Bukunya enggak ada,” kata Adi Sarwono, inisiator gerakan literasi Busa Pustaka di Provinsi Lampung.
Awalnya terdorong untuk membantu anak-anak korban narkoba, Adi mendirikan Busa Pustaka pada 2019. Dia mengubah rumah dua lantainya menjadi perpustakaan untuk anak-anak dan remaja, serta menggunakan mobilnya sendiri untuk perpustakaan keliling yang ia bawa ke daerah-daerah pelosok di Lampung.
Foto-foto yang diunggah Adi di media sosial menunjukkan anak-anak bersemangat menyambut perpustakaan keliling.
“Antusiasme satu sekolah baca buku di koridor kelas jadi penyemangat perjalanan,” kata Adi, yang sering tampil di publik dengan kostum Mario dari Super Mario Brothers.
Kendati di Indonesia sudah ada penyedia buku digital, termasuk Perpusnas dengan aplikasi iPusnas, Adi berkata kebanyakan warga di daerah pelosok masih membutuhkan buku-buku fisik. Pasalnya, Indonesia masih punya masalah kesenjangan akses internet.
Sementara itu meskipun perpustakaan daerah di Lampung juga memiliki mobil untuk perpustakaan keliling, Adi menilai program tersebut "nyaris enggak jalan karena anggaran".
"Apalagi tupoksi sekarang kan perpustakaan daerah itu [berada di bawah] dinas kearsipan dan perpustakaan daerah. Perpustakaan nomor dua, yang pertama arsip ... Akhirnya yang utamanya aja masih keteteran dengan perpustakaan, ditambah lagi arsip ini. Itu akhirnya membuat keadaan kita kayak gini," ujarnya.
Perpustakaan Nasional RI menyediakan armada motor dan buku untuk perpustakaan keliling bagi pemerintah kabupaten/kota yang mengajukan.
Namun, kata seorang pejabat Perpusnas, fasilitas tersebut sifatnya stimulan; artinya pemerintah daerah diharapkan memberikan dukungan yang sama lewat APBD. “Karena yg tau medan/lokasi kan daerah,” katanya.
'Doctoral ignorance'
Kendati anggapan tentang minat baca rendah telah banyak dibantah, beberapa data mengindikasikan bahwa kemampuan membaca masyarakat Indonesia memang rendah.
Program Penilaian Pelajar Internasional (PISA) yang diselenggarakan oleh Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) pada 2018 menempatkan kemampuan membaca anak-anak berusia 15 tahun di Indonesia pada peringkat 71 dari 76 negara.
Dalam tes kemampuan membaca, Indonesia mendapat skor 371 poin – jauh lebih rendah dari skor rata-rata negara-negara OECD 487 poin.
Tes tersebut juga menunjukkan bahwa hampir 70% anak Indonesia memiliki kemampuan membaca di bawah Level 2. Itu berarti, kebanyakan anak Indonesia tidak mampu mengenali ide pokok dalam sebuah teks dengan panjang sedang.
Sementara anak-anak yang termasuk dalam top performers, mampu membaca pada Level 5 atau 6 (memahami teks panjang dan mengenali ide-ide yang relevan), hanya 0,1%.
Sebuah studi yang dilakukan oleh Connecticut University pada tahun 2016 bertajuk World’s Most Literate Nations Ranked, yang menggunakan data PISA, juga menempatkan Indonesia di peringkat kedua dari bawah, yaitu 60 dari 61 negara.
Orang dewasa tidak lebih baik. Pada 2014-2015, warga Jakarta secara sukarela mengikuti survei kompetensi yang dilaksanakan oleh OECD. Hasilnya, dipublikasikan dalam laporan bertajuk Skills Matter, menemukan 70% orang dewasa mendapatkan skor di level satu atau ke bawah dalam literasi; jumlah tersebut jauh lebih banyak dari negara/ekonomi lain yang berpartisipasi dalam survei tersebut.
Itu berarti sebagian besar orang dewasa di Jakarta hanya mampu membaca teks singkat tentang topik yang familier untuk menemukan satu informasi spesifik, tugas yang hanya membutuhkan perbendaharaan kata dasar tanpa perlu memahami struktur kalimat atau paragraf.
Data-data ini tampaknya mengonfirmasi kecurigaan selama ini bahwa kebanyakan orang Indonesia tertahan di kemampuan membaca tingkat dasar, walaupun barangkali mereka banyak membaca. Dalam dunia literasi, ini disebut doctoral ignorance – fenomena di mana seseorang banyak membaca namun gagal memahami.
"Doctoral ignorance ini disebabkan anak-anak sudah bisa ABCD, selepas itu mereka tidak lagi belajar cara membaca. Padahal buku yang kita pelajari itu makin makin rumit, makin dinamis... diperlukan satu kemampuan dan juga horizon of understanding yang makin luas," kata Yogi Theo Rinaldi, pegiat literasi dan pendiri toko buku Lubukata.
"Justru nanti ketika kita ketemu di sekolah tinggi, kita langsung disuruh untuk riset padahal kemampuan membaca kita masih sama seperti kemampuan SD. Cuma diasumsikan saja bahwa kita sudah lebih banyak membaca buku dari ketika SD, sehingga kita lebih piawai membaca, padahal tidak begitu."
'Literasi harusnya jadi tugas sekolah'
Yogi membaca kemunculan gerakan-gerakan literasi sebagai satu fenomena baru yang menunjukkan ada masalah dalam pendidikan.
Literasi, kata Yogi, semestinya menjadi tujuan utama pembelajaran karena jika siswa tidak bisa membaca maka tidak ada yang bisa dipelajari. Karena itu, mendorong anak-anak untuk tumbuh dengan semangat membaca seharusnya menjadi tugas sekolah.
"Kalau kita sudah puas dengan apa yang dicapai di pendidikan sekarang, sebetulnya enggak akan ada [gerakan literasi]," katanya kepada BBC News Indonesia.
Meskipun mengapresiasi gerakan-gerakan literasi yang ada, Yogi mengamati bahwa kebanyakan dari mereka berhenti di tataran euforia membaca.
Upaya mengakrabkan orang-orang dengan buku, menurut dia, baru sekadar memberikan akses pada informasi (access to information) tetapi belum tentu akses pada pemahaman (access to understanding).
"Sebagian besar wilayah di Indonesia paling terpencil, di pelosok-pelosok, access to information-nya enggak ada. Di kota seperti Jakarta itu access to information-nya lebih banyak, tapi yang belum dibenahi adalah access to understanding.
“Nah understanding is what reading is about, dan itu tidak bisa diberikan dengan buku tapi dengan pendidikan," ujarnya.
Pada akhir 2022, Yogi membuka Lubukata sebagai sebuah toko buku kecil di wilayah Pasar Minggu, Jakarta Selatan dengan buku-buku yang dikurasi bertema Islam, filsafat, sains, dan seni. Namun toko buku hanyalah bagian kecil dari visi gerakan literasinya.
Lubukata juga beroperasi sebagai klub buku dan rutin membuka kelas yang mengajarkan cara membaca buku, "How to Read a Book" — berdasarkan buku berjudul sama dari Charles van Doren dan Mortimer J. Adler, yang mencetuskan istilah doctoral ignorance.
Melalui kelas tersebut, Yogi berharap dapat membantu orang-orang dewasa untuk menguasai cara membaca tingkat lanjut, atau "melampaui sekadar membaca".
Doren dan Adler menjabarkan tiga tingkat kemampuan membaca: membaca tingkat dasar (elementary reading), membaca secara cepat dan sistematis (inspectional reading), membaca secara analitis (analytical reading), dan membaca sintopikal (syntopical reading).
Lubukata mengambil strategi top-down alih-alih bottom-up. Bukannya menyasar anak-anak muda seperti kelompok literasi pada umumnya, mereka justru menyasar orang-orang usia kuliah bahkan pascasarjana.
"Kalau yang atas sudah dididik, kita punya tenaga yang cukup, waktu yang cukup, keilmuannya juga sudah semakin cukup, untuk ngajar ke bawah," ungkapnya.
Bagaimanapun, bila Anda termasuk orang yang jarang membaca buku sama sekali, bergabung dengan klub buku atau sekadar menambah target bacaan adalah langkah awal yang baik.
Manfaat itu dirasakan oleh Lara, 27 tahun, yang bergabung dengan Bookclan. Awal tahun ini, ia memasang target membaca 20 buku. Sampai bulan Mei, ia sudah membaca 14 buku.
Lara mengaku sebelumnya dia terbilang jarang membaca buku, dan kesulitan menamatkan buku. "Dengan join Bookclan, aku bisa ketemu setiap minggu, bisa update bacaan tiap minggu, dan ngeliat teman-teman setiap minggu ganti buku bacaan aku juga tergerak untuk lebih cepat selesai baca buku," ungkapnya.
Namun, seperti kata Yogi, membaca buku baru langkah pertama. (*)
Tags : buku, pendidikan, anak muda buat insiatif, gerakan baca buku, gerakan baca buku ditengah literasi rendah,