SEJUMLAH komunitas dan organisasi menggelar aksi Jeda Iklim Global (Global Climate Strike) secara serentak di berbagai kota di Indonesia pada Jumat (23/09). Aksi serupa juga digelar di berbagai kota di dunia untuk mendesak para pemimpin memprioritaskan masyarakat yang akan paling terdampak perubahan iklim.
Salah satu peserta aksi di Jakarta, Rafaela Xaviera, 23, mengaku cemas setiap kali membayangkan seperti apa kehidupannya di masa depan di tengah ancaman krisis iklim.
Tanda-tanda perubahan iklim yang telah dia rasakan antara lain kondisi cuaca ekstrem yang kerap memicu bencana alam seperti banjir hingga kenaikan harga pangan.
Belum lagi kualitas udara buruk yang sehari-hari dia hirup sebagai imbas kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada lingkungan.
“Ini bikin khawatir, di masa depan kami [generasi muda] mau gimana, Jakarta kan disebut akan tenggelam, terus nanti mau tinggal dimana? Harga pangan juga naik, gagal panen duluan karena faktor cuaca, kalau krisis pangan nanti kita mau makan apa?” kata Rafaela seperti dirilis BBC News Indonesia, Jumat (23/09).
Kecemasan yang dialami Rafaela juga dialami oleh banyak anak muda lainnya di Indonesia. Survei Indonesians & Climate Change yang diadakan oleh Purpose Climate Lab menunjukkan 89% responden “sangat khawatir” akan dampak perubahan iklim.
Kekhawatiran Rafaela juga beralasan. Investigasi BBC pada 2018 menunjukkan bahwa potensi tenggelamnya Jakarta bukan omong kosong biasa.
Riset tim peneliti geodesi Institut Teknologi Bandung (ITB) menunjukkan bahwa penurunan tanah di Jakarta Utara mencapai 25 cm setiap tahunnya.
Apabila tidak ada kebijakan yang dilakukan untuk mencegahnya, maka 95% wilayah Jakarta Utara berada di bawah laut pada 2050.
Ancaman terhadap ketahanan pangan seperti yang dikhawatirkan Rafaela juga nyata.
Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) pada akhir 2021 menyatakan bahwa harga pangan global naik lebih dari 30% dibanding tahun sebelumnya dan mencapai level tertinggi dalam lebih dari satu dekade terakhir.
Salah satu pemicunya adalah perubahan iklim yang menyebabkan gagal panen di banyak tempat.
Di Indonesia, Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) pada Juni lalu menyampaikan bahwa tren kenaikan harga pangan telah terjadi sejak akhir 2021 hingga pertengahan 2022 di hampir seluruh komoditas.
Cuaca ekstrem akibat perubahan iklim disebut memengaruhi produktivitas pangan, sehingga ketahanan pangan Indonesia berpotensi terpengaruh apabila sistem pertanian tidak disiapkan menghadapi ancaman itu.
Di tengah segala ancaman itu, Rafaela mengatakan bahwa generasi muda dan generasi yang akan datang lah yang bakal paling terdampak.
“Kalau kami generasi muda aja sudah terdampak, generasi setelah kami akan lebih parah lagi, dan itu sangat enggak adil. Waktu kecil aku bisa merasakan hidup yang lebih baik, makanan ada, air ada, udara lebih bersih, anak-anak yang baru lahir ke depannya gimana?” tuturnya.
Deklarasi darurat iklim
Dalam aksi bertajuk #PeopleNotProfit itu, Rafaela dan peserta aksi lainnya mendesak agar pemerintah memprioritaskan kepentingan masyarakat dan lingkungan dalam setiap kebijakan.
Mereka mendesak agar pemerintah Indonesia mendeklarasikan darurat iklim, sehingga kebijakan-kebijakan yang berpihak pada lingkungan menjadi prioritas.
Dampak perubahan iklim sendiri sebetulnya telah disadari oleh pemerintah.
Pada 8 Agustus 2022, Presiden Joko Widodo mengutip sejumlah data yang mengindikasikan krisis iklim dan mengatakan: “Perlu penanganan yang komprehensif, antisipasi sedini mungkin, secepat-cepatnya dan sebaik-baiknya, dampak perubahan iklim ini sangat serius.”
Kemudian pada pekan lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengungkapkan bahwa perekonomian Indonesia bisa merugi sebesar Rp112 triliun pada 2023 akibat krisis iklim.
Namun Rafaela berpendapat kebijakan pemerintah saat ini justru menunjukkan sebaliknya dan cenderung eksploitatif. Salah satunya pembangunan ibu kota Nusantara.
“IKN kan butuh deforestasi, walaupun digadang-gadang sebagai kota hijau tapi manufakturnya masih mengandalkan energi fosil,” tuturnya.
“Kita enggak bisa bertahan dengan solusi yang ada sekarang. Ini tentang masa depan kita, banyak orang yang terancam,” lanjut dia.
Apa itu ‘Global Climate Strike’?
Global Climate Strike atau Jeda Iklim Global merupakan aksi yang digelar serentak di berbagai kota di dunia untuk menyuarakan persoalan-persoalan terkait perubahan iklim.
Gerakan yang juga dikenal sebagai Friday For Futures itu bermula pada 2018, ketika Greta Thunberg yang saat itu berusia 15 tahun berunjuk rasa di depan gedung parlemen Swedia.
Thunberg membawa spanduk bertuliskan “Mogok sekolah demi iklim”. Aksi itu menginspirasi anak-anak muda di berbagai belahan dunia lainnya untuk menggelar aksi serupa.
Aksi Global Climate Strike pada 2019 diikuti oleh lebih dari 6 juta orang di seluruh dunia.
Di Indonesia, aksi serupa juga telah dilakukan beberapa kali.
Pada Jumat (23/09), aksi ini digelar di belasan kota antara lain Jakarta, Yogyakarta, Bali, Medan, Makassar, dan Jayapura.
Rafaela mengatakan mereka akan terus turun ke jalan dan menggelar aksi sampai pemerintah mengambil tindakan nyata untuk mencegah perubahan iklim.
Dia juga menyadari bahwa masih ada pihak yang belum menyadari betapa gentingnya krisis iklim.
“Kami akan tetap bersuara dan bergerak dengan harapan bisa menarik perhatian publik dan mendorong perubahan kebijakan pemerintah,” tutur dia. (*)
Tags : Perubahan Iklim, Anak Muda Cemas dengan Perubahan Iklim, Perubahan Iklim Ancam Krisis Pangan,