JAKARTA - Analis politik mengatakan, “koalisi besar” partai-partai politik kemungkinan akan terbentuk sebagai ancang-ancang Pemilu 2024. Peran Joko Widodo dan nama capres dinilai menjadi hal yang paling menentukan.
Meski begitu, koalisi besar masih tetap punya sandungan, terutama dalam menentukan pasangan capres-cawapres 2024.
Apa itu koalisi besar dan siapa saja di dalamnya?
Awal bulan ini, Presiden Joko Widodo bertemu dengan lima ketua umum partai politik (parpol) di Kantor Dewan Pimpinan Pusat Partai Amanat Nasional (PAN) di kawasan Warung Buncit, Jakarta, Minggu (02/04).
Kelimanya merupakan pentolan parpol pendukung pemerintahan Jokowi, yaitu Prabowo Subianto (Gerindra), Muhaimin Iskandar (PKB), Airlangga Hartarto (Golkar), Zulkifli Hasan (PAN), dan Mardiono (PPP).
Namun pertemuan ini tanpa kehadiran Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri, dan Ketua Umum NasDem, Surya Paloh.
Dalam pertemuan yang berlangsung tertutup kurang lebih satu jam, Jokowi mengatakan pertemuan ini dalam rangka membahas “komitmen kebangsaan dan keberlanjutan pembangunan ke depan.”
Saat itu, Jokowi juga menanggapi gagasan penggabungan Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR) koalisi dan Koalisi Indonesia Baru (KIB).
KIR adalah koalisi Gerindra-PKB, sementara KIB merupakan gabungan Golkar-PAN-PPP. Kedua koalisi terbentuk dalam dinamika jelang pemilu 2024.
"Cocok. Saya hanya bilang cocok. Terserah kepada ketua-ketua partai atau gabungan partai. Untuk kebaikan negara, kebaikan bangsa, kebaikan rakyat hal yang berkaitan bisa dimusyawarahkan akan lebih baik," kata Jokowi kepada awak media.
Siapa pertama kali mencetuskan koalisi besar?
Ketua Umum Partai Golkar, Airlangga Hartarto.
Airlangga merespons kemungkinan koalisinya bergabung dengan KIR (Gerindra-PKB) saat menghadiri buka puasa bersama di Nasdem Tower, Jakarta, Sabtu (25/03).
”Koalisi besar di mana-mana menguntungkan Indonesia. Jadi, kita tunggu tanggal mainnya,” kata Airlangga kepada wartawan.
Seberapa besar peluang koalisi besar ini terbentuk?
“Besar, sangat mungkin.”
Setidaknya itu hasil pengamatan Direktur Eksekutif Parameter Politik, Adi Prayitno, kepada media.
Menurut Adi konsolidasi koalisi besar akan lebih mudah karena parpol yang terlibat merupakan pendukung Jokowi.
“Tetapi yang jelas, kalau lihat dari irisan politik, visi-misi, kepentingan, saya kira memang secara normatif, poros ini akan terbentuk,” kata Adi.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI), Djayadi Hanan, mengemukakan koalisi besar akan lebih mudah terbangun “kalau PDI Perjuangan tidak turut bergabung”.
“Kalau PDIP tidak masuk, maka KIB-KKIR, bisa terbangun lebih mudah, dengan catatan Jokowi menjadi pemimpin koalisi,” kata Djayadi.
Sejauh ini, PDIP memastikan tetap mengusung calon presiden dari kadernya sendiri, seperti disampaikan Ketua Umum Megawati Soekarno Putri dalam pidato politik HUT ke-50 PDI Perjuangan, Januari lalu.
Di sisi lain, menurut Djayadi, pertemuan elit parpol pendukung Jokowi awal April lalu sudah mengerucut kepada Prabowo Subianto sebagai bakal capres yang diusung.
“Karena mereka nampaknya sudah sepakat presidennya. Calon presidennya Prabowo. Jokowi juga sudah meng-endorse Prabowo,” katanya sambil menambahkan, “kalau PDIP masuk, justru bisa jadi pecah.”
Bagaimana posisi Jokowi?
Djayadi juga mengamati, kehadiran Jokowi bersama lima ketua parpol awal bulan ini sebagai entitas "politik pribadi”, bukan mewakili PDI Perjuangan. Tapi di sini, Jokowi memiliki peran sentral.
“Walau pun dia nggak punya partai di dalam situ, tapi posisi dia sebagai presiden yang masih berkuasa dengan tingkat approval rating yang masih tinggi, serta memiliki relawan yang cukup solid.
“Maka posisi tawar Jokowi lebih tinggi dari posisi tawar partai dalam posisi ini,” kata Djayadi.
Ditambah lagi, hampir seluruh ketua umum parpol, baik dari KKIR dan KIB, merupakan menteri Jokowi di Kabinet Indonesia Maju.
Mereka adalah Prabowo Subianto sebagai menteri pertahanan, Airlangga Hartarto memimpin kementerian koordinator perekonomian, dan Zulkifli Hasan sebagai menteri perdagangan.
Apa kelebihan koalisi besar?
Jika Jokowi memainkan peran sentral di dalamnya, "peluang menang jadi besar."
"Selain kekuatan partai, mereka punya kekuatan relawan Jokowi yang masih kuat," jelas Djayadi.
Selain itu, kata dia, dengan posisi Jokowi sebagai presiden, akses logistik dan kekuasaan menjadi lebih mudah. "Partai-partai ini akan lebih suka bergabung ke situ. Sepanjang yang pimpin Jokowi," katanya.
Kekuatan kampanye juga akan lebih masif hingga ke akar rumput, kata Adi Prayitno.
"Konsolidasi oleh banyak partai ini akan diikuti oleh konsolidasi-konsolidasi pada level grassroot pada masing-masing pendukung partai," katanya.
Apa kekurangan koalisi besar?
Kerumitan dalam menentukan bakal capres-cawapres.
Adi Prayitno mengatakan, masing-masing parpol di KKIR dan KIB sudah memiliki calonnya masing-masing.
“Di situ akan terjadi kesulitan-kesulitan, karena menyatukan enam partai politik dalam satu poros besar, di mana di antara elite mereka yang mematok harga mati persoalan capres itu bukan perkara gampang,” kata Adi.
Bagaimanapun, menurut Djayadi, kerumitan ini masih bisa diselesaikan, selama Jokowi punya keinginan untuk memimpin koalisi besar.
“Jokowi dalam hal ini sebagai deal maker atau deadlock breaker. Dengan posisi Jokowi seperti itu, maka cawapres partai-partai itu saling ngotot nggak ketemu. Paling diserahkan ke Jokowi. Siapa pilihannya,” kata Djayadi.
Bagaimana posisi PDI Perjuangan?
PDI Perjuangan belum menentukan sikap apakah masuk atau tidak di koalisi besar, termasuk belum ada nama bakal capres yang akan diusung.
Dalam pernyataannya, Ketua DPP PDI Perjuangan Puan Maharani, mendukung wacana pembentukan koalisi besar yang dikemukakan lima ketua umum parpol di Kantor DPP PAN, Minggu (02/04).
“Nggak ada persyaratan kalau PDI Perjuangan harus RI-1. Namun, di sini saya sampaikan bahwa saat ini jumlah suara PDI Perjuangan memungkinkan untuk PDI Perjuangan untuk memajukan calon sebagai RI-1,“ kata Puan Maharani seperti dilaporkan Kompas TV.
Sejauh ini, belum ada pembicaraan mengenai syarat seperti apa yang diajukan PDI Perjuangan terkait dengan penjajakan berkoalisi.
"Ke depannya ini masih ada waktu kami dari PDI Perjuangan. Insyaallah akan melakukan silaturahmi atau mengajak bersilaturahmi dengan partai politik yang lain,“ kata Puan.
Mengapa koalisi besar menjadi magnet?
Setelah Pertemuan Warung Buncit antara Presiden Jokowi dengan lima ketua parpol, sejumlah elite partai politik lain mulai membuka komunikasi, khususnya kepada Prabowo Subianto.
Ketua Umum Perindo, Hary Tanoesoedibjo, menyatakan menyambut baik undangan Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto untuk masuk ke Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya.
"Ke depan tentunya nanti dari Partai Gerindra dan dari kami Partai Perindo akan melanjutkan diskusi-diskusi ini. Mudah-mudahan, ke depan kerja sama politik ini bisa berjalan baik untuk kepentingan NKRI," kata Hary Tanoe usai pertemuan di kediaman Prabowo Subianto, di Kertanegara, Jakarta, Rabu (05/4).
Sehari kemudian, giliran Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB), Yusril Ihza Mahendra, yang melakukan pertemuan dengan Prabowo. "Ini pertemuan kawan lama,“ kata Prabowo.
Partai Solidaritas Indonesia (PSI) juga menyatakan kesediaannya untuk bergabung dengan koalisi besar.
"Saat ini sudah mulai makin menemukan bentuknya koalisi dari partai pendukung Pak Jokowi, di situ ada KKIR, KIB, ada koalisi besar yang terus mencari bentuknya. Kami PSI memutuskan untuk membangun komunikasi lebih intens sebagai partai pendukung Pak Jokowi," kata Wakil Ketua Dewan Pembina PSI Grace Natalie saat konferensi pers, Rabu (5/4).
Di sisi lain, Koalisi Perubahan yang terdiri dari NasDem, Demokrat dan PKS belum berubah mengusung bakal capres Anies Baswedan.
Seperti apa pengalaman koalisi besar sebelumnya?
Koalisi besar tak bisa menjamin sepenuhnya bakal menjadi pemenang pemilu. Setidaknya hal ini pernah terjadi dalam pemilu 2004 dan 2014.
Pada Pemilu 2014, strategi koalisi besar pernah dilakukan parpol-parpol yang mendukung pasangan Prabowo-Hatta Radjasa.
Saat itu, pasangan ini diusung Koalisi Merah Putih dari Partai Gerindra, Partai Golkar, PKS, PAN, PPP, dan PBB. Gabungan ini menempati mayoritas kursi di DPR, yaitu 52%. Koalisi makin gemuk dengan bergabungnya Partai Demokrat, kekuatannya menjadi 63% kursi parlemen.
Namun, saat pemilu presiden koalisi ini gagal.
Begitupun saat Pemilu 2004. Pasangan SBY-JK kalah dominan dengan koalisi Megawati-Hasyim Muzadi. Namun, setelah pemilu diselenggarakan, dominasi parpol yang berkoalisi terbukti tidak jadi jaminan.
Direktur Ekseskutif Parameter Politik, Adi Prayitno menilai koalisi besar tidak akan berdaya tanpa calon yang benar-benar kuat secara elektabilitas.
“Percuma koalisinya besar, percuma partai politiknya besar, percuma di-endorse oleh jokowi, kalau capres-cawapres yang diusung itu elektabilitasnya rendah… bahkan mendapat penolakan dari rakyat,” kata Adi. (*)
Tags : koalisi besar, pemilu 2024, koalisi besar mulai ancang-ancang di pemilu, politik, pemilu 2024,