Pemerintah Provinsi (Pemprov) Riau menganggarkan dana sejumlah Rp9,6 miliar untuk lapangan tenis yang dinilai sudah melakukan pemborosan dan sama sekali bukan prioritas untuk kebutuhan masyarakat Riau.
PEKANBARU - Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Riau mengungkapkan, anggaran lapangan tenis sejumlah Rp9,6 miliar sebaiknya dialihkan untuk kebutuhan masyarakat.
"Pemprov Riau menganggarkan dana sebesar Rp9,6 miliar dari APBD untuk pembangunan tiga lapangan tenis."
"Kebijakan alokasi anggaran ini, juga jauh dari upaya Pemerintah Riau untuk membawa Riau lebih baik kedepan. Apa hubungan membangun lapangan tenis dengan misi Riau Lebih Baik?," kata Koordinator Fitra Riau Triono Hadi pada media, Minggu (12/6).
Lapangan tenis yang akan dibangun Pemprov Riau itu yakni, lapangan tenis Kejati Riau senilai Rp4,4 miliar, lapangan tenis Pengadilan Agama senilai Rp1,9 miliar dan lapangan tenis tertutup senilai Rp3,1 miliar.
Triono Hadi mengatakan, kebijakan alokasi anggaran untuk membangun lapangan tenis ini merupakan bentuk perilaku pemerintah yang tidak tahu malu, memboroskan anggaran untuk belanja yang sama sekali bukan prioritas dan kebutuhan masyarakat Riau.
Justru anggaran-anggaran semacam inilah yang menyandera kebutuhan prioritas masyarakat yang semestinya mendapatkan perhatian dan dukungan anggaran secara memadai.
"Alokasi anggaran ini mencerminkan tingkat sensitifitas pemerintah daerah terhadap masalah yang dihadapi warga sangat rendah. Warga sedang berupaya untuk pemulihan ekonominya akibat Covid-19," sebutnya.
"Warga sedang berperang dengan harga bahan pokok yang tinggi, yang seharusnya menjadi prioritas daerah untuk ditangani," tambah Triono.
"Tapi justru pemerintah tidak sensitif bahkan lebih membelanjakan uangnya untuk kebutuhan yang pastinya bukan masyarakat kecil. Siapa yang akan olahraga itu? Tentu bukan warga kecil," sambungnya.
Berapa banyak fasilitas olahraga yang telah dibangun namun tidak difungsikan, Triono menuturkan, bahkan sebagian telah rusak parah. Dan seberapa besar anggaran yang akan digunakan untuk pemeliharannya. Kenapa ini tidak menjadi dasar dalam merumuskan dan menetapkan anggaran?.
"Anda tahu? Anggaran Rp9,6 miliar itu sama dengan membangun 160 unit Rumah Layak Huni (RLH). Artinya jika anggaran itu digunakan membantu warga untuk membangun RLH maka sudah 160 rumah tangga miskin di Riau yang bisa menempati rumah layak. Kenapa lebih memilih untuk bangun sarana olahraga, yang sebenarnya sudah tidak kurang lagi di Riau?," tanya dia.
Gubenur Riau, sebut Triono, punya misi mulia bagaimana masyarakat di kampung, sekitar hutan meningkat ekonominya, dengan skema Perhutanan Sosial sebagai bagian dari kebijakan Riau Hijau.
Namun, berapa alokasi anggaran yang diberikan untuk membantu masyarakat mengelola hutan yang telah mendapatkan izin, atau mengakses izin? Pemerintah hanya bisa mengalokasikan anggaran kurang dari Rp1 miliar.
"Alokasi anggaran justru tidak proporsional antara yang semestinya diprioritaskan untuk dibiayai, namun justru digunakan untuk belanja yang sama sekali tidak ada urgensinya," sebutnya.
Jika Rp9,6 miliar diberikan untuk mendukung perhutanan sosial Rp100 juta satu kelompok pengelola, jelas Triono, maka 96 Kelompok PS di Riau tidak lagi sibuk cari pinjaman uang untuk modal pengelolaan awal. Namun, sayangnya itu tidak menjadi pertimbangan dalam rencana anggaran ini. Masih banyak kebutuhan-kebutuhan lainnya yang seharusnya lebih diutamakan oleh pemerintah.
"Masih ada kesempatan, untuk itu Gubenur Riau harus mempertimbangkan ulang dan harus membatalkan alokasi anggaran tersebut. Dan merelokasikan untuk kebutuhan-kebutuhan yang mendesak yang diharapkan masyarakat. Belanja daerah harus diprioritaskan untuk membiayai kebutuhan yang sejalan dengan misi Gubenur Riau untuk mencapai mimpi Riau lebih baik," ujarnya.
"Begitu juga dengan Kejati Riau, Pengadilan Agama Pekanbaru sebagai penerima hibah pembangunan sarana olahraga ini, atau apalah skemanya. Perlu sama-sama kita ingatkan Gubenur Riau agar membelanjakan ABPD-nya untuk kepentingan masyarakat yang lebih penting dan mendesak.Tolak anggaran pembangunan lapangan tenis itu, dan minta alihkan untuk kebutuhan masyarakat yang lebih penting," tegasnya.
'Ada upaya pencucian uang'
Penganggaran dana sejumlah Rp9,6 miliar untuk lapangan tenis itu justru ada upaya melakukan 'pencucian uang'. Jadi bukan saja melakukan pemborosan uang.
"Ini memang bukan prioritas untuk kebutuhan masyarakat Riau. Sebaiknya Pemprov Riau lebih memikirkan kebutuhan masyarakat yang sampai hari ini masih terimbas pandemi (Covid-19)," kata H. Darmawi Wardhana Bin Zalik Aris, Ketua Lembaga Melayu Riau (LMR) Jakarta Pusat dalam menyikapi itu melalui WhatsApp (WA), Senin (13/6/2022).
Dia menceritakan demo kasus dugaan korupsi dana hibah Kabupaten Siak tahun anggaran 2011-2015 dan 2016-2019 oleh GPMPPK dan Pemuda Pancasila mendesak Gubernur Riau Syamsuar untuk memberikan klarifikasi, tetapi beliau tidak juga menjelaskan kebenaran itu.
"Jika tidak memberikan klarifikasi membuat semakin banyak publik meyakini bahwa mantan Bupati Siak itu kemungkinan besar diduga terlibat dalam pemberian dana hibah secara terus-menerus kepada beberapa OKP yang dipimpin oleh kroni-kroninya," kata Darmawi.
"Maka jika saya melihat kasus dugaan korupsi dana hibah Kabupaten Siak, ada dugaan pengalihan dana untuk dijadikan membangun lapangan tenis," sebutnya yang Ianya pun mengaku semakin yakin, bahwa Syamsuar diduga terlibat dalam membiarkan sejumlah OKP yang diurus oleh orang-orang Syamsuar mendapatkan dana hibah secara terus menerus yang jelas tidak boleh dilakukan.
Jadi Darmawi juga meminta Kejaksaan Tinggi (Kejati) Riau tidak lantas alergi terhadap desakan untuk membuka kasus dugaan korupsi dana hibah Kabupaten Siak itu. (*)
Tags : Anggaran APBD Riau, APBD untuk Lapangan Tenis, Pemborosan Anggaran APBD, Pemprov Riau Anggarkan Dana Lapangan Tenis,