Kesehatan   2023/06/18 12:52 WIB

Anggaran Wajib untuk Kesehatan Bakal Dihapus, 'Layanan Kesehatan akan Makin Buruk'

Anggaran Wajib untuk Kesehatan Bakal Dihapus, 'Layanan Kesehatan akan Makin Buruk'
Tenaga medis menggelar aksi teatrikal dalam unjuk rasa penolakan Omnibus Law RUU Kesehatan pada Senin (5/6/2023) di depan Gedung DPR.

JAKARTA - Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan akan menghapus kewajiban pemerintah untuk mengalokasikan anggaran kesehatan sebesar minimal 5% dari total APBN.

Kebijakan itu dikhawatirkan dapat “memperburuk layanan kesehatan” bagi masyarakat miskin dan rentan, khususnya di wilayah tertinggal, kata sejumlah organisasi masyarakat sipil.

Menurut CEO lembaga kajian Central for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI), Diah Saminarsih, banyak pelayanan dasar di fasilitas kesehatan daerah bergantung pada anggaran tersebut.

Misalnya untuk penyediaan obat, pemberian makanan bergizi untuk mencegah stunting, pembiayaan bantuan iuran kepesertaan BPJS, pembayaran insentif tenaga kesehatan, hingga program edukasi kesehatan.

“[Kebijakan] ini akan berdampak ke daerah-daerah, petugas puskesmas di daerah yang bergantung pada alokasi anggaran 5% itu. Ada obat-obatan ARV yang harus diakses untuk orang dengan HIV dan obat-obatan insulin untuk orang dengan diabetes. Itu banyak sekali yang dibebankan pada alokasi anggaran 5% tadi,” kata Diah Saminarsih seperti dirilis BBC News Indonesia.

Sebelumnya, draf RUU Kesehatan sempat memandatkan agar alokasi anggaran wajib itu dinaikkan menjadi 10% dari APBN.

Namun, belakangan, Panitia Kerja RUU Kesehatan justru sepakat agar alokasi anggaran itu tidak lagi ditetapkan angka minimalnya.

Ditanya terkait itu, Juru bicara Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmidzi, mengatakan penghapusan alokasi wajib anggaran kesehatan itu “sudah final”.

Dia beralasan, penetapan alokasi wajib itu dihapus karena “sering dipaksakan” imbas “perencanaan program pembangunan kesehatan yang tidak jelas dan tidak sinkron antara pemerintah pusat dan daerah”.

Isu ini adalah satu dari sejumlah kontroversi yang meliputi pembahasan omnibus law RUU Kesehatan yang ditentang oleh sejumlah organisasi profesi hingga koalisi masyarakat sipil. Mereka mendesak agar pemerintah menunda pengesahan RUU Kesehatan.

Masyarakat miskin di daerah 3T ‘paling terdampak’

Diah Saminarsih mengatakan alokasi anggaran wajib kesehatan ini penting untuk “menjaga komitmen pemerintah daerah” agar memprioritaskan program-program kesehatan sehingga mudah diakses oleh seluruh kalangan masyarakat. Terutama pada daerah-daerah dengan APBD kecil.

Dengan kewajiban itu pun, pemerataan pelayanan kesehatan masih jauh dari harapan.

Salah satu kasus terbaru yang diberitakan oleh BBC News Indonesia menggambarkan bagaimana RSUD Scholoo Keyen, Sorong Selatan, Papua Barat Daya yang “nyaris lumpuh” karena langkanya obat dan bahan medis habis pakai. Selain itu, para pekerja kontrak di rumah sakit terlambat digaji sehingga terancam diusir dari rumah kontrakan.

Diah mengatakan dihapuskannya alokasi anggaran wajib dapat berpotensi membuat fasilitas-fasilitas kesehatan di daerah terpinggir mengalami situasi serupa.

“Banyak daerah yang pendapatannya belum mencukupi. Kalaupun mencukupi, kesehatan tidak menjadi prioritas,” kata Diah sambil menekankan bahwa kesadaran untuk memprioritaskan kesehatan di daerah belum merata.

Anggaran yang disediakan dari APBD pun sejauh ini hampir 70%-nya disedot untuk membayar gaji dan insentif, sehingga tanpa alokasi anggaran wajib dari pusat, program-program kesehatan “dapat terabaikan”.

“Tidak semua rumah sakit pun, kalau APBD-nya kecil, bisa membiayai dirinya sendiri, jadi perlu ada subsidi supaya pelayanannya berkualitas, punya alat bagus. Ini yang disayangkan kalau mandatory spending ini benar-benar hilang,” jelas Diah.

Selain itu, apabila aturan ini benar-benar berlaku, fasilitas kesehatan dan pemerintah daerah harus mengajukan programnya lebih dulu untuk mendapatkan anggaran kesehatan.

“Ini tidak akan banyak berpengaruh pada program-program kesehatan di level nasional, tapi bayangkan kalau proses itu harus dilalui sampai oleh puskesmas-puskesmas di daerah, apa mereka sudah memiliki kapasitas untuk itu?” ujar Diah.

Pada akhirnya, komitmen untuk memprioritaskan anggaran kesehatan bergantung pada “kebaikan hati” dan “kesadaran” dari pemerintah daerah.

Bahkan dengan adanya kewajiban tersebut saja, CISDI mencatat masih ada 58 daerah dari total 518 kabupaten/kota yang proporsi anggaran kesehatannya masih kurang dari 10% pada 2021.

Masyarakat juga dia sebut masih harus merogoh uang pribadinya hingga 30-35% dari total biaya demi mendapatkan layanan yang lebih baik.

“Itu menyebabkan hanya orang-orang yang mampu yang mengeluarkan uang untuk layanan kesehatan yang berkualitas untuk dirinya,” kata Diah.

“Bayangkan kalau alokasi anggarannya semakin dikit, dan biaya tambahan yang harus dikeluarkan orang semakin meningkat lagi, bagaimana dengan orang-orang yang miskin bisa mengakses?” sambungnya.

'Bertentangan' dengan tujuan RUU Kesehatan

Peneliti dari The Institute for Ecosoc Rights, Sri Palupi, menilai langkah pemerintah ini justru bertentangan dengan semangat RUU Kesehatan yang diklaim ingin memperluas dan meratakan akses layanan kesehatan hingga ke daerah terpencil, tertinggal, dan terluar (3T).

Alih-alih memperluas, Palupi mengatakan kebijakan itu berkonsekuensi membuat "layanan kesehatan akan semakin buruk".

"Kalau pemerintah mau memperluas layanan, lalu duitnya dari mana? Dengan alokasi minimal saja situasinya seperti tadi," kata Palupi, merujuk pada curahan hati seorang dokter yang menceritakan bagaimana dokter spesialis sulit memberi pelayanan di daerah 3T karena minimnya fasilitas yang tersedia.

Apa alasan pemerintah?

Juru bicara Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmidzi, beralasan bahwa kewajiban untuk mengalokasikan anggaran sebesar minimal 5% itu pun terbukti “belum tentu menjamin” pelayanan kesehatan berjalan maksimal.

Menurutnya, pemanfaatan anggaran dari alokasi wajib itu sering kali “dipaksakan” dan tidak sejalan dengan rencana pembangunan kesehatan antara pemerintah pusat dan daerah.

Sebagai gantinya, pemerintah akan menganggarkan layanan kesehatan “sesuai kebutuhan di lapangan”. Artinya, anggaran baru akan dialokasikan berdasarkan program-program yang telah direncanakan.

“Kenapa kami tidak memberi angka? Karena bisa saja angka itu kurang atau lebih. Kalau seperti di Jakarta yang sudah cukup pembangunan kesehatannya, tidak perlu dipaksakan sampai akhirnya muncul program-program yang tidak diprioritaskan. Tapi bisa juga ada daerah-daerah yang butuh untuk menganggarkan lebih dari itu, akhirnya tidak bisa terpenuhi,” kata Nadia kepada BBC News Indonesia.

Soal kekhawatiran soal dampaknya bagi pelayanan kesehatan di daerah, termasuk kasus di RSUD Schoolo Keyen, Sorong Selatan, Nadia justru mengatakan, “dengan kita memberikan angka 5% saja itu masih terjadi, berarti ada sistem yang harus dibenahi”.

“Bukan berarti tidak akan kita kawal [anggaran dan program pembangunan kesehatan]. Kita akan mengawal dalam bentuk lain, memastikan hal-hal seperti di RS Papua itu tidak terjadi,” ujar Nadia.

“Karena apa yang terjadi di Papua itu bukan masalah uangnya enggak ada, tapi mekanisme pengelolaannya yang enggak betul,” sambungnya.

Pemerintah, kata dia, akan memperkuat sistem informasi dan perencanaan untuk mengawasi dan menyelaraskan program-program pembangunan kesehatan agar tetap diprioritaskan serta sesuai dengan kondisi dan urgensi di suatu daerah.

Isu-isu kontroversial lainnya

Di luar kekhawatiran soal anggaran kesehatan yang dihapus, RUU Kesehatan telah memantik penolakan luas dari beragam organisasi profesi dan masyarakat sipil.

Hal yang berulang kali disuarakan adalah terkait pembahasannya yang dianggap "tidak melibatkan partisipasi publik yang bermakna".

Ikatan Dokter Indonesia (IDI) juga telah menyuarakan kekhawatirannya soal pelemahan organisasi profesi, yang banyak fungsinya diambil alih oleh Kementerian Kesehatan.

IDI juga sempat menyuarakan kekhawatiran soal "kriminalisasi dokter", karena terdapat pasal 462 yang mengatur bahwa tenaga kesehatan dapat dihukum pidana apabila melakukan kelalaian.

Terkait hal itu, Juru bicara Kemenkes Siti Nadia Tarmidzi mengatakan bahwa klausul pidana itu sebelumnya telah tertuang di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

"Kami hanya merujuk pada KUHP, hanya menyelaraskan," kata dia.

Dia mengklaim bahwa RUU Kesehatan justru "menambah perlindungan hukum bagi nakes", salah satunya dengan memastikan tenaga kesehatan tidak langsung berhadapan dengan penegak hukum sebelum ada penyelesaian di luar pengadilan.

Peluang bagi dokter asing untuk berpraktik di Indonesia juga sempat menuai polemik, di mana IDI meminta agar pemerintah menerapkan syarat dan kualifikasi yang lebih ketat.

Dalam forum dengar pendapat pada Maret lalu, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sempat menyuarakan agar ada kualifikasi yang lebih detil terkait tenaga medis asing yang bisa berpraktik di Indonesia. Kehadiran mereka pun diminta “sesuai kebutuhan” dan “mengutamakan dokter lokal terlebih dahulu”.

Isu terkait dokter asing ini juga disorot oleh peneliti dari The Institute for Ecosoc Rights, Sri Palupi yang menganggap bahwa ini kontradiktif dengan target pemerintah sendiri untuk memperbanyak jumlah dokter di dalam negeri.

“Kita bisa bayangkan apa yang terjadi, justru bukannya terjadi pemerataan pelayanan kesehatan, justru akan memperburuk ketimpangan layanan kesehatan,” kata Palupi.

Sementara itu, CISDI juga menggarisbawahi isu lainnya yang belum diakomodasi di dalam RUU Kesehatan.

Pemerintah dan DPR dinilai belum memberikan insentif yang layak dan pengakuan kepada kader-kader kesehatan yang dinilai berperan besar dalam program kesehatan di akar rumput, seperti menggerakkan program vaksinasi.

Kontroversi juga timbul terkait penetapan tembakau dalam kategori "zat adiktif". CISDI sepakat dengan penetapan itu, namun serikat pekerja rokok dan tembakau menolak penyamarataan produk tembakau dengan alkohol, narkotika dan psikotropika.

Di tengah beragam kontroversi itu, banyak pihak telah menyuarakan agar pemerintah "tidak terburu-buru" mengesahkan RUU Kesehatan dan mencermati masukan publik.

"Apakah Indonesia perlu perbaikan Undang-Undang Kesehatan? Tentu. Apalagi Undang-Undang yang berlaku sekarang usianya sudah 36 tahun, perlu diperbarui dan dibuat relevan dengan situasi saat ini," kata Diah Saminarsih.

"Tapi tentu prosesnya harus baik. Ada naskah akademik yang disusun dengan baik, dan menampung masukan berbagai pihak," sambungnya. (*)

Tags : anggaran wajib kesehatan, anggaran wajib kesehatan bakal dihapus, layanan kesehatan, layanan kesehatan makin buruk, kesehatan,