Batam   2025/10/11 18:15 WIB

Angka Pengangguran di Kota Industri Batam Peringkat ke Dua Secara Nasional 

Angka Pengangguran di Kota Industri Batam Peringkat ke Dua Secara Nasional 

BATAM - Angka pengangguran di Kota Batam masih menjadi yang tertinggi di Provinsi Kepulauan Riau (Kepri). Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) per Februari 2025, tingkat pengangguran terbuka (TPT) Kepri menempati posisi kedua tertinggi secara nasional, yakni 6,89 persen.

"Angka pengangguran masih tertinggi di Batam, Kepri." 

“Secara keseluruhan, pengangguran di Batam memang menurun dari 87.903 orang pada 2020 menjadi 50.431 orang di tahun 2024. Namun, tantangan pengangguran tetap nyata, terutama jika dilihat dari tingkat pendidikan dan jenis kelamin,” kata Kepala BPS Kota Batam, Eko Aprianto, Jumat (10/10).

Tingkat pengangguran terbuka di Batam tahun 2024 tercatat sebesar 7,68 persen. Artinya, dari setiap 100 angkatan kerja, terdapat sekitar tujuh hingga delapan orang yang belum memiliki pekerjaan.

Eko Aprianto, mengatakan meski angka pengangguran mengalami penurunan dibandingkan beberapa tahun sebelumnya, tantangannya tetap besar.

Dari total pengangguran 2024, sebanyak 29.977 orang merupakan laki-laki dan 20.454 orang perempuan. Menariknya, TPT perempuan tercatat lebih tinggi, yakni 8,49 persen, dibandingkan laki-laki yang berada di angka 7,20 persen.

Berdasarkan data BPS Batam, lulusan sekolah menengah atas (SMA) masih mendominasi angka pengangguran di kota industri ini. Hingga 2024, jumlahnya mencapai 26.162 orang, atau lebih dari separuh total pengangguran Batam.

“Selama lima tahun terakhir, lulusan SMA selalu berada di puncak angka pengangguran,” ungkap Eko.

Fenomena ini menunjukkan ketidakseimbangan antara jumlah lulusan dengan lapangan kerja yang tersedia. Lulusan SMA dianggap masih rentan terhadap pengangguran karena minim keterampilan teknis maupun keahlian khusus.

Sementara itu, pengangguran dari kalangan lulusan perguruan tinggi juga mengalami tren peningkatan.

Di 2024, jumlahnya tercatat 7.125 orang, naik signifikan dibandingkan 3.412 orang pada 2023 dan 2.754 orang pada 2022.

“Kenaikan ini mencerminkan bahwa jumlah lulusan sarjana terus bertambah, namun penyerapannya belum optimal,” jelasnya.

Adapun pengangguran lulusan SMP ke bawah tercatat sebanyak 14.144 orang. Angka ini sudah menurun dari 20.757 orang pada 2021, menandakan sektor informal dan padat karya masih menjadi penopang bagi kelompok ini.

Menariknya, jika dilihat dari tingkat pendidikan, TPT tertinggi justru terjadi pada kelompok pendidikan SD ke bawah, yakni sebesar 11,77 persen.

“Kondisi ini memperkuat fakta bahwa pendidikan menjadi syarat penting dalam seleksi dunia kerja di Batam,” kata Eko.

Selain pengangguran terbuka, BPS juga mencatat setengah pengangguran yakni penduduk yang bekerja kurang dari 35 jam per minggu namun masih mencari atau bersedia menerima pekerjaan lain mencapai 20.182 orang atau 3,33 persen pada 2024. Angka ini naik 1,79 persen poin dibandingkan tahun sebelumnya.

“Setengah pengangguran ini sering luput dari perhatian. Padahal fenomena ini juga menggambarkan kualitas pekerjaan, dan paling banyak terjadi pada mereka yang berpendidikan SD,” tambahnya.

Tingginya angka pengangguran di Batam, Eko Aprianto menjelaskan bahwa kondisi ini juga dipengaruhi oleh karakteristik kota tersebut sebagai daerah tujuan pencari kerja.

“Banyak pencari kerja yang datang ke Batam, namun di sisi lain, peluang pekerjaan cukup terbatas. Selain itu, ada pekerjaan yang membutuhkan tenaga kerja dengan spesifikasi tertentu, yang mungkin berbeda dengan kompetensi pencari kerja yang ada,” tuturnya.

Sementara itu, Ketua Pimpinan Cabang Serikat Pekerja Logam Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (PC SPL FSPMI) Kota Batam, Suprapto, menilai tingginya angka pengangguran di Batam merupakan ironi yang harus menjadi perhatian serius pemerintah dan DPRD.

“Jika angka pengangguran di Batam tinggi, itu hal yang sangat memalukan. Karena indeks kesempatan kerja di Batam justru tinggi. Secara provinsi, Kepri berada di posisi tiga teratas untuk indeks kesempatan kerja, dan 60 persen di antaranya berasal dari Batam,” sebut Eko Aprianto.

Menurutnya, kondisi tersebut memperlihatkan ada yang tidak berjalan dengan baik antara peluang kerja yang tersedia dan serapan tenaga kerja lokal.

“Kalau kesempatan kerja tinggi tapi pengangguran juga tinggi, berarti perlu dipertanyakan kinerja pemerintah dan DPRD Batam dalam mengawal industri. Apakah lulusan lokal benar-benar terserap atau tidak? Jika tidak, di mana masalahnya?” ujarnya.

Suprapto juga menyoroti efektivitas Perda Nomor 2 Tahun 2024 tentang Penempatan Tenaga Kerja Lokal yang digagas DPRD Batam.

“Kalau pengangguran masih tinggi, berarti perda itu hanya isapan jempol. Di mana fungsi pemerintah dan DPRD terhadap masyarakat? Ini sangat disayangkan,” katanya.

Ia mendorong adanya sinkronisasi antara sekolah dan kawasan industri, agar lulusan sekolah di Batam sesuai dengan kebutuhan pasar kerja.

“Jangan hanya mendirikan sekolah tanpa memperhatikan kualitas dan arah lulusannya. Harusnya sekolah menghasilkan lulusan yang memang dibutuhkan industri,” tegasnya.

Suprapto menambahkan, persoalan pengangguran ini juga akan berdampak pada pembahasan upah minimum kota (UMK) ke depan.

“Tingginya pengangguran akan berpengaruh pada posisi tawar buruh. Karena itu, masalah ini harus segera dibenahi,” pungkasnya. (rp.ant/*)

Tags : angka pengangguran, batam, kota industri, batam peringkat ke dua secara nasional angka pengangguran ,