"Talang Mamak sejak dulu sangat bergantung pada hutan sudah lama lingkungan tempat mereka hidup mulai berubah, kini terancam lebih merana menghadapi virus corona"
asyarakat adat Talang Mamak merupakan suku asli Indragiri Hulu dengan sebutan "Suku Tuha" yang berarti suku pertama datang dan lebih berhak atas sumber daya alam. Asal muasal Talang Mamak sulit dipastikan karena ada dua versi. Versi pertama, berdasarkan penelitian seorang Asisten Residen Indragiri Hulu di zaman Belanda, menyebutkan, Suku Talang Mamak berasal dari Pagaruyung, Sumatera Barat, yang terdesak akibat konflik adat dan agama. Versi kedua merupakan cerita yang akrab di dalam masyarakat adat itu.
Secara turun-temurun, masyarakat bercerita bahwa Talang Mamak merupakan keturunan Nabi Adam ke tiga. Cerita itu diperkuat bukti berupa tapak kaki manusia di daerah Sungai Tunu Kecamatan Rakit Kulim, Indragiri Hulu. Jejak itu diyakini sebagai tapak kaki tokoh masyarakat adat Talang Mamak. Keberadaan Talang Mamak sejak dulu sangat bergantung pada hutan. Lingkungan tempat mereka hidup diatur melalui hukum adat, dan keputusan pengelolaannya diatur oleh seorang Patih yang merupakan simbol kekuasaan tertinggi Talang Mamak di bawah Kesultanan Indragiri.
Kearifan lokal mereka dapatkan penghargaan pemerintah dengan menganugrahi Laman seorang tokoh masyarakat adat Talang Mamak. Pria berusia 90 tahun dan bersorban menatap pemandangan lahan di sekelilingnya yang gundul dan gersang yang dahulunya pernah membuat benteng buatannya untuk melindungi hutan adat (Rimba Puaka) Talang Mamak dari para perambah. "Lebih baik saya mati ditembak, daripada hutan adat habis," kata Laman dengan nada penuh kesedihan suatu hari pada media. Ia yang pernah penerima Kalpataru, penghargaan tertinggi di bidang pelestarian lingkungan, pada pemerintahan Presiden Megawati Soekarno Putri tahun 2003. Laman, yang saat itu masih menjabat Patih, dinilai berjasa dalam melestarikan hutan keramat (Rimba Puaka) Penyabungan dan Panguanan di Kecamatan Rakit Kulim seluas 1.813 hektare.
Masyarakat internasional juga ikut mengakui kearifan lokal Talang Mamak dan Laman pun mendapat "WWF Award" pada 1999 di Kinibalu, Malaysia. Musnah Namun, kini keadaan berbalik 180 derajat karena Rimba Puaka Talang Mamak telah luluh lantah, kondisi yang membuat Laman merasa tidak berdaya. Laman mengatakan, kerusakan akibat perambahan mulai terjadi di Rimba Puaka Penyabungan dan Panguanan kira-kira setahun setelah dirinya mendapat Kalpataru. Merananya suku pedalaman di Inhu ini melihat pemandangan hutan yang dahulu lebat kini gundul dan berganti dengan tanaman kelapa sawit. Kini Laman mengaku tak ada lagi kebanggaan dirinya ketika melihat hutan adat Talang Mamak berpindah tangan dan hancur.
"Buat apa Kalpataru untuk pengganti hutan adat, lebih baik dipulangkan ke pemerintah," ujar Laman. Ia mengatakan, perambahan Rimba Puaka tidak hanya terjadi pada Penyabungan dan Pangunanan. Di kawasan lingkungan tempat tinggal Talang Mamak yang tersebar di Kecamatan Rakit Kulim dan Rengat Barat, sebetulnya terdapat empat kawasan Rimba Puaka, yakni hutan Sungai Tunu seluas 104,933 hektare, hutan Durian Cacar seluas 98.577 hektare, dan hutan Kelumbuk Tinggi Baner 21.901 hektare. "Semuanya sudah habis," katanya.
Perambahan hutan Sungai Tunu juga mengancam peninggalan leluhur Talang Mamak, tempat jejak tapak kaki leluhur suku itu. Kawasan itu kini sudah berubah menjadi perkebunan kelapa sawit PT Selantai Agro Lestari (SAL). Meski tapak kaki peninggalan leluhur dibiarkan ada oleh perusahaan, masyarakat Talang Mamak tetap merasa terhina dan melakukan penolakan terhadap PT SAL sejak 2007. Namun, protes itu tak mengubah keadaan dan ribuan sawit tetap tumbuh subur menggantikan hutan hutan alami. "Habis hutan, habislah adat, kini kami menghadapi penyakit virus corona yang bertambah lengkap merananya suku disini," ujar Laman.
Gading (30), penerus gelar Patih di masyarakat Talang Mamak, mengakui bahwa kerusakan Rimba Puaka juga didalangi oleh oknum Patih Talang Mamak yang terdahulu. Bersama oknum Kepala Desa Durian Cacar, tetua adat yang lama itu mengobral Rimba Puaka ke warga pendatang dan perusahaan. Oknum Patih itu kini sudah dicabut gelarnya dan diasingkan dari masyarakat Talang Mamak. Namun, perjuangan masyarakat adat untuk mengambil kembali hak Rimba Puaka mereka tak pernah berhasil meski sudah menempuh jalur hukum.
Gading mengatakan, masyarakat Talang Mamak pernah menggugat PT Inekda ke pengadilan dan gagal. "Hakim mengakui hutan adat, tapi kami tetap kalah di persidangan. Seakan kami hanya diakui, tapi tidak dilindungi," ujar Gading. Merana Gading, yang pernah menjabat sebagai Kepala Desa Sungai Ekok, mengatakan, masyarakat Talang Mamak hingga kini ibarat berada di bagian bawah roda pembangunan di Indonesia yang sudah puluhan tahun merdeka.
Jalan penghubung di tujuh desa tempat masyarakat Talang Mamak tinggal di Kecamatan Rakit Kulim, Indragiri Hulu, hingga kini masih berupa tanah yang berubah jadi kubangan lumpur setiap datang hujan. Tidak ada tiang pancang di pinggir jalan untuk menghubungkan kabel listrik ke rumah warga yang mayoritas berbentuk panggung dan berdinding kayu. Mencari warung ataupun pasar sama sulitnya dengan mencari puskesmas di tempat itu. Lebih mudah menemukan kaum pria dan perempuan tanpa pakaian penutup bagian atas tubuhnya di sana. "Kami bukan suku tertinggal, tapi sengaja ditinggalkan pemerintah," kata Gading.
Menurut dia, Talang Mamak sebetulnya adalah masyarakat yang memiliki potensi sumber daya alam karena hutannya yang luas. Kawasan hutan Talang Mamak, lanjutnya, mencapai sekitar 48 ribu hektare dan sudah diakui sejak jaman penjajahan Belanda oleh Residen Indragiri pada 1925. Kala itu warga Talang Mamak bisa hidup makmur dari hasil pohon karet dan menanam padi di ladang berpindah. Namun kondisi kini berubah drastis, lanjut Gading, karena warga Talang Mamak tepaksa menjual getah karet lewat perantara empat tengkulak yang mengakibatkan harga jual sangat murah. "Hasil panen karet yang melimpah hanya dihargai Rp 3.000 sampai Rp 4.000 per kilogram. Padahal harga di pabrik sudah mencapai Rp 14.000 per kilogram," ujarnya.
Gading mengatakan, sekitar 1.800 kepala keluarga masyrakat adat Talang Mamak, yang tersebar di delapan desa di Kecamatan Rakit Kulim dan Rengat Barat, mayoritas masih hidup miskin dan berpendidikan rendah. Keberadaan belasan perusahaan kelapa sawit dan hutan tanaman industri di kawasan itu belum meningkatkan taraf hidup masyarakat adat Talang Mamak. Ia juga mengatakan, masyarakat adat Talang Mamak sudah jengah dengan janji-janji para kepala daerah yang hanya rajin mengunjungi mereka sebelum pesta demokrasi pemilihan umum. "Berulangkali pemilu dilewati, janji kepala daerah terucap, mengukur jalan katanya mau diperbaiki, tapi belum ada bukti. Talang Mamak seperti hanya dibutuhkan saat pemilu, selebihnya ditinggalkan," ujar Gading.
Peneliti masyarakat adat Melayu UU Hamidi pernah dalam bincang-bincangnya dengan riaupagi.com mengatakan, Suku Talang Mamak secara historis sudah memiliki sistem pengelolaan sumber daya alam yang seharusnya bisa mensejahterakan mereka dari generasi ke generasi. Talang Mamak, yang tergolong suku Melayu tua, menempatkan Rimba Puaka sebagai hutan simpanan yang terlarang untuk diperjualbelikan hingga untuk ditebang dan perburuan binatang juga terbatas. Rimba Puaka berfungsi sebagai sumber untuk obat-obatan alami, dan penyangga penting bagi keberlangsungan ekosistem tanah perkebunan dan ladang mereka. "Masyarakat adat dibantai sejak rezim Orde Baru dengan konsep perangkat desa dan pemberian izin HPH yang merusak aturan sosial dan hak terhadap hutan adat," ujarnya.
"Padahal masyarakat adat Melayu dari dulu sudah memiliki konsep paru-paru dunia, sebelum dirusak oleh pemerintah sendiri," lanjut Hamidi yang telah menulis 50 buku tentang masyarakat adat Melayu. Ia mengatakan, kondisi masyarakat adat Malayu di Riau umumnya sangat merana akibat pemaksaan konsep perangkat desa yang membuat peran tokoh adat jadi terpinggirkan. Tokoh adat seperti Laman dan Gading, kini berada dalam pilihan yang sulit untuk mempertahankan hukum adat mereka. Menurut dia, seharusnya pemerintah tak perlu malu untuk berkaca pada kebijakan kolonial Belanda yang mengakui keberadaan hutan adat. Ia mencontohkan ketetapan Residen Riau No 82 tanggal 20 Maret 1919, yang mengakui 26 rimba larangan dan padang gembala ternak di Kabupaten Kuantan Sengingi diberikan pada pemangku adat untuk dijaga kelestariannya. "Tapi setelah kemerdekaan, hutan adat itu semuanya sudah musnah," katanya.
Meski rezim pemerintah sudah berganti, lanjutnya, kebijakan pemerintah terhadap pemberdayaan masyarakat adat yang kerap dikatakan sebagai suku tertinggal belum juga berubah. Bahkan, banyak masyarakat adat pernah dilabeli sebagai suku tertinggal. Program pemerintah terhadap tanah ulayat, kata Hamidi, selalu tidak mendahulukan dengan inventarisasi hutan adat yang perlu dilestarikan. Program pemberdayaan juga dinilai tak efektif karena lemahnya identifikasi masalah dan penyusunan skala prioritas. "Saya pesimis pemerintah yang di belakangnya selalu ada cukong dan pemodal, dapat mempedulikan nasib masyarakat adat," ujarnya.
Tidak bisa gelar acara adat akibat covid-19
Lain lagi disebutkan Gilung, Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kabupaten Inhu mengatakan pandemi Covid-19 sangat berdampak pada acara-acara adat masyarakat Suku Talang Mamak. Padahal sisi kehidupan masyarakat Suku Talang Mamak tidak dapat dipisahkan dari adat. Pandemi Covid-19 membuat sejumlah acara-acara adat masyarakat Suku Talang Mamak terhenti, salah satunya adat pernikahan.
"Akibat pandemi Covid-19, para Batin tidak dapat membuat perjanjian untuk mengatur jadwal pelaksanaan acara adat pernikahan. Sebelum acara adat digelar, harus meminta izin dulu ke Batin. Prosesnya dari warga Suku Talang Mamak, menemui Ninik Mamak. Kemudian Ninik Mamak menemui Ketua Adat, lantas Ketua Adat ke Mangku, lalu Mangku menyerahkan pesirihan ke Batin. Dalam pesirihan yang diserahkan itu terdapat daun sirih, pinang, tembakau, gambir, dan kapur," ungkap Gilung.
"Apa yang sudah ditetapkan dengan perjanjian bersama para batin, tidak boleh diubah. Apabila diubah, maka akan ada efek buruknya ke depan."
Gilung berpendapat, tentang sakralnya sebuah perjanjian sebelum acara adat bagi Suku Talang Mamak. Karena pandemi Covid-19 yang semakin meluas, Pemerintah Pusat hingga Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Inhu beserta aparat berwenang, mengimbau warga agar tidak menggelar acara yang mengumpulkan orang dalam jumlah besar. Pembatasan itu juga berdampak pada ditundanya sejumlah acara adat Suku Talang Mamak.
Dia menceritakan beberapa waktu lalu ada acara adat di Rakit Kulim yang tetap digelar. Karena imbauan dari pemerintah itu terlambat diterima oleh masyarakat di sana, sementara itu mangku dan batin sudah berjanji maka acara tetap dilanjutkan. Walau acara adat pernikahan tetap dilanjutkan tapi warga tidak diperbolehkan berkumpul. Tetapi, setelah imbauan pemerintah tersebut diterima, maka seluruh tokoh adat Talang Mamak sepakat untuk menunda pelaksanaan acara adat. Namun khusus acara adat kematian tetap digelar dengan kehadiran beberapa tokoh adat. "Kalau acara kematian kan tidak bisa ditunda," kata Gilung.
Terkait larangan orang berkerumun dalam jumlah banyak, sudah dibuktikan melalui tindakan tegas yang dilakukan oleh aparat Kepolisian Polsek Batang Gansal. "Imbauan agar warga menghindari kerumunan atau berkelompok guna menekan penyebaran Covid-19 terus diumumkan, selain itu warga juga diimbau agar menjaga dan memelihara kesehatan dengan berolahraga yang cukup serta minum dan makan makanan yang mengandung nutrisi dan bervitamin untuk meningkatkan imun tubuh," cerita Gilung.
Cara suku pedalaman hadapi corona
Gilung pun menceritakan kepercayaan suku talang mamak dalam menghadapi virus corona dimana masyarakat adat mendatangi hutan keramat dengan membacakan mantera dan membawa persembahan kambing untuk meminta agar terhindar dari wabah virus covid-19. "Ritual pengobatan kampung dilakukan di Desa Talang Perigi, Kecamatan Rakit Kulim, Inhu pada hari Minggu (5/4/2020) lalu. Ini penting untuk melepas seekor kambing hitam ke dalam hutan keramat sebagai persembahan kepada arwah leluhur suku Talang Mamak," ungkapnya.
Dia mengakui, ada lebih dari 25 tokoh adat Talang Mamak yang berangkat ke dalam hutan keramat. Sesampainya di hutan keramat, Mangku mengatur syarat ritual pengobatan kampung. Menurutnya, sebelum prosesi pelepasan kambing, terlebih dahulu digelar sejumlah tahapan ritual. Para wanita Talang Mamak menyiapkan sejulah syarat ritual. Antara lain daun layur, limas asap, pinang, kapur, sirih, gambir, tembakau, beras kunyit, dan kemenyan. "Di dalam hutan keramat itu dulu para leluhur Suku Talang Mamak hilang (raip)," jelas Gilung.
Seluruh syarat kemudian dibawa oleh Batin, Mangku, Ketua Adat masyarakat Talang Mamak kedalam hutan keramat. Ritual diawali dengan membakar kemneyan. Selanjutnya, Batin memanjatkan doa kepada leluhur mereka dan dilanjutkan dengan melepas kambing hitam. Persembahan kambing hitam kepada leluhur itu dimaksud agar leluhur melindungi mereka dari segala wabah penyakit. "Setelah selesai ritual di hutan keramat, selanjutnya para tokoh adat pulang ke rumah Batin. Saat berada dirumah Batin, digelar acara penegakanhukum sesuai dengan adat Talang Mamak. Batin juga berdoa secara adat untuk membuang marabahaya yang masuk kedalam kampung," terang Gilung.
Gilug menambahkan, bahwa ritual tidak pernah dilakukan selama kurun waktu 40 tahun terkahir ini. "40 tahun lalu ada wabah (berupa sakit perut) yang menimpa suku Talang Mamak, dalam satu bulan itu sampai 100 orang meninggal dunia akibat wabah. Jadi waktu itu dilakukan pengobatan seperti ini," cerita Gilung.
Wabah Covid-19 hingga kini belum melanda tanah Talang Mamak. Namun ritual tetap digelar sebagai bentuk kesiapan masyarakat Suku Talang Mamak. "Memang Pandemi Covid-19 sangat berdampak pada acara-acara adat masyarakat Suku Talang Mamak," ungkapnya.
Kasus covid-19 bertambah
Sementara kasus Covid-19 di Inhu terus bertambah, penyebarannya pun masih sebatas dibeberapa pemukiman yang tak sampai menyentuh dilingkungan masyarakat adat Talang Mamak. Juru Bicara Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Kabupaten Inhu Jawalter S M.Pd mengatakan, total komulatif Kasus Konfirmasi hingga saat ini berjumlah 356 kasus.
Dia merincikan isolasi mandiri 69 orang, rawat di rumah sakit 17 Orang, sembuh 265 orang, dan meninggal dunia 5 orang. Berdasarkan update data terakhir yang dihimpun dari Dinas Kesehatan (Dinkes) Inhu tanggal 5 November 2020, terdapat total kumulatif Suspek sebanyak 2.082 kasus dengan rincian isolasi mandiri 666 orang, isolasi di Rumah Sakit 14 orang, selesai isolasi 1392 orang, dan meninggal dunia 10 orang. “Sementara itu, total kumulatif Kasus Konfirmasi hingga saat ini berjumlah 356 kasus dengan rincian yaitu isolasi mandiri 69 orang, Rawat di Rumah Sakit 17 Orang, Sembuh 265 orang, dan Meninggal dunia 5 orang,” paparnya melalui press releasenya, Jumat (6/11/2020).
Total kumulatif Kasus Konfirmasi hingga saat ini berjumlah 356 kasus dengan rincian yaitu isolasi mandiri 69 orang, rawat di rumah sakit 17 Orang, sembuh 265 orang, dan meninggal dunia 5 orang. Berdasarkan update data terakhir yang dihimpun dari Dinas Kesehatan (Dinkes) Inhu tanggal 05 November 2020, terdapat Total komulatif Suspek sebanyak 2.082 kasus dengan rincian isolasi mandiri 666 orang, isolasi di Rumah Sakit 14 orang, selesai isolasi 1392 orang, dan meninggal dunia 10 orang. Sementara itu, total kumulatif Kasus Konfirmasi hingga saat ini berjumlah 356 kasus dengan rincian yaitu isolasi mandiri 69 orang, Rawat di Rumah Sakit 17 Orang, Sembuh 265 orang, dan Meninggal dunia 5 orang.
Jawalter juga menjelaskan, berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.01.07/Menkes/413/2020 tentang Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Corona Virus Disease 2019 (COVID-19), yang dimaksud dengan kontak erat adalah orang yang memiliki riwayat kontak dengan kasus probable atau konfirmasi Covid-19. "Riwayat kontak yang dimaksud antara lain kontak tatap muka/berdekatan dengan kasus probable atau kasus konfirmasi dalam radius 1 meter dan dalam jangka waktu 15 menit atau lebih. Lalu sentuhan fisik langsung dengan kasus probable atau konfirmasi seperti bersalaman, berpegangan tangan, dan lain-lain," katanya.
Ada juga orang yang memberikan perawatan langsung terhadap kasus probable atau konfirmasi tanpa menggunakan APD yang sesuai standard. Kemudian situasi lainnya yang mengindikasikan adanya kontak berdasarkan penilaian risiko lokal yang ditetapkan oleh tim penyelidikan epidemiologi setempat . "Pada kasus probable atau konfirmasi yang bergejala (simptomatik), untuk menemukan kontak erat periode kontak dihitung dari 2 hari sebelum kasus timbul gejala dan hingga 14 hari setelah kasus timbul gejala. Pada kasus konfirmasi yang tidak bergejala (asimptomatik), untuk menemukan kontak erat periode kontak dihitung dari 2 hari sebelum dan 14 hari setelah tanggal pengambilan spesimen kasus konfirmasi," sebutnya.
Untuk menghindarkan diri dari penularan virus corona, dia menyebutkan Pemkab Inhu terus mengajak masyarakat untuk terapkan etika batuk atau bersin (dengan menutup mulut dan hidung), jangan meludah sembarangan, bersihkan benda yang sering disentuh. Kemudian, gunakan masker jika sakit dan segera ke fasilitas kesehatan terdekat, cuci tangan dengan sabun, Konsumsi makanan bergizi dan olahraga serta hindari menyentuh mata, hidung, dan mulut dengan tangan yang belum dicuci.
Ledakan kasus sehari bisa 62 orang
Sebelumnya Kepala Dinas Kesehatan (Diskes) Provinsi Riau, Mimi Yuliani Nazir menyatakan, Kabupaten Indragiri Hulu mencetak rekor tertinggi kasus terkonfirmasi positif Covid-19. Jika sebelumnya tambahan kasus selalu kurang dari 15 kasus, kali ini justru meledak hingga 62 orang dinyatakan positif Covid-19. Bahkan tambahan kasus tersebut nyaris separuh dari jumlah akumulasi kasus sebelumnya. Sebab hingga Kamis 16 Oktober 2020 akumulasi kasus terkonfirmasi positif Covid-19 di Kabupaten Indragiri Hulu baru mencapai 133 kasus.
Lonjakan kasus di Kabupaten Indragiri Hulu merupakan hasil pemeriksaan swab yang digelar sejak tanggal 12 dan 15 Oktober 2020. Sehingga belum diketahui riwayat penularannya. "Rata-rata diketahui positif Covid-19 setelah hasil swabnya keluar. Dari 62 kasus, 61 pasien di antaranya merupakan peserta swab massal yang digelar di Indragiri Hulu pada 12 Oktober lalu, satu lagi Swab mandiri di Pekanbaru pada 15 Oktober kemarin," jelas Mimi, Jumat 16 Oktober 2020 malam.
Karena 62 kasus terkonfirmasi positif Covid-19 di Indragiri Hulu tersebut merupakan hasil swab massal dan swab mandiri. Sehingga belum ada catatan riwayat perjalanan dan kontak erat dengan pasien lainnya. Dengan tambahan 62 kasus penularan Covid-19 hari ini, total akumulasi kasus di Indragiri Hulu mencapai 195 orang. Sementara itu pasien sembuh bertambah satu orang atas nama tuan ES (41). Sehingga total pasien sembuh mencapai 97 orang.
Warga dianjurkan pakai masker
Untuk menghindari terjadi penyebaran lebih luas virus corona, pemerintah setempat melalui aparat kepolisian melalui operasi yustisi yang dilaksanakan tim gabungan melakukan razia penertiban pakai masker dan protokol kesehatan. Namun masih ada saja warga yang bandel yang tidak memakai masker.
Operasi yustisi dilaksanakan tim gabungan Kecamatan Rengat Barat, yakni Polsek Rengat Barat dan Satpol PP di wilayah Kelurahan Pematang Reba terjaring 12 warga yang tidak memakai masker serta tidak mematuhi protokoler kesehatan. Kapolres Inhu AKBP Efrizal SIK melalui PS Paur Humas Polres Inhu Aipda Misran membenarkan terjaringnya belasan warga Kecamatan Rengat Barat dalam operasi yustisi penerapan disiplin protokoler kesehatan, Inpres Nomor 6 Tahun 2020 dan implementasi Perbup Inhu nomor 63 tahun 2020 tentang protokoler kesehatan serta sanksi pelanggar.
Misran menjelaskan, meski jumlah pasien Covid-19 di Riau, khususnya Inhu terus meningkat, tapi kesadaran masyarakat untuk mematuhi protokoler kesehatan, setidaknya memakai masker masih rendah. "Memang sepele, tapi masker salah satu upaya ampuh untuk melindungi pengguna maupun orang lain dari penyebaran virus. Maka sayangi diri anda, pakailah masker, mencuci tangan, jaga jarak serta menghindari kerumunan untuk melindungi kita semua," imbaunya. (*)
Tags : Suku Talang Mamak, Suku Pedalaman Riau, Talang Mamak Hadapi Covid-19, Warga Pedalaman Hutan di Inhu,