Riau   2024/10/20 18:15 WIB

APBD-P Riau 2024 Banyak Digeser yang Tak Sesuai Ketentuan Perundang-Undangan, Pengamat: 'Sebaiknya Fokus pada Kondisi Darurat dan Mendesak'

APBD-P Riau 2024 Banyak Digeser yang Tak Sesuai Ketentuan Perundang-Undangan, Pengamat: 'Sebaiknya Fokus pada Kondisi Darurat dan Mendesak'

PEKANBARU, RIAUPAGI.COM - Pembahasan perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD-P) Provinsi Riau tahun 2024 dipandang sebagai pembahasan yang paling sulit dan rumit.

Tetapi sebagian pengamat ekonomi menilai Organisasi Perangkat Daerah (OPD) Pemprov Riau diharapkan melakukan pergeseran APBD Tahun Anggaran 2024 untuk mengakomodasi kondisi darurat atau mendesak yang belum teranggarkan pada APBD 2024.

"Pemprov Riau perlu lebih mengoptimalkan upaya-upaya pengendalian inflasi secara bersama-sama baik dari sisi pasokan, produksi, maupun distribusi untuk mendukung ketahanan pangan dan penguatan ekonomi daerah," kata Pengamat Ekonomi dari Universitas Riau, Dahlan Tampubolon pada wartawan, Sabtu (19/10).

Saat pemprov riau membahas dan menyepakati APBD perubahan tahun 2024, pemerintah belum memberikan pedoman yang jelas dan memadai tentang pengaturan, perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, syarat penyaluran sampai kepada jadwal salurnya.

Alhasil, pada 12 kabupten-Kota di Riau senang atau tidak harus menerima pengaturan dan informasi yang memadai tentang DAU yang ditentukan penggunaannya tersebut seperti tertuang pada Ringkasan APBD Perubahan yang di klasifikasi menurut kelompokdan Jenis Pendapatan, Belanja dan Pembiayaan Tahun Anggaran 2024 yang diterbitkan, tertanggal 16 Oktober 2024 itu.

Dahlan Tampubolon menilai pengaturan pada APBD-P 2024 yang ditentukan itu adalah hal yang baru sehingga Pemprov Riau dan demikian juga pemerintah daerah lainnya menghadapi suatu kendala yang mengakibatkan adanya merasa kurang otonom atau lincah dalam mengelola keuangan daerah.

"Khusus untuk pergeseran anggaran itu sebenarnya secara normal itu dibatasi hanya sampai di bawah level jenis. Jadi tidak bisa pergeseran rasa perubahan kalau kondisi normal. Jadi pergeserannya harus pergeseran secara substansi yang ada, manakala melampaui harus masuk pada kriteria tadi, darurat dan mendesak sebagaimana diatur di PP Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah," ujarnya.

Sementara Indra SE MM, Kepala Bidang Anggaran, Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Provinsi Riau pernah menyebutkan terkait pentingnya perencanaan dan penganggaran yang matang dari awal untuk meminimalkan pergeseran pada APBD-P Riau tahun 2024.

"Tidak semua seolah-olah bisa dilakukan pergeseran sebelum perubahan APBD, karena memang kita diberikan kesempatan untuk melakukan sebuah perubahan APBD, tetapi jangan sampai nanti pergeseran ini seolah-olah apa yang jadi perubahan besar-besaran gitu. Jadi harapannya memang harus sangat minimlah," ujarnya.

Indra berharap, seluruh OPD mematuhi regulasi dan tahapan yang ada serta memastikan pergeseran dilakukan hanya jika sangat diperlukan.

"Walaupun pergeseran itu sebenarnya memang diatur dalam sebuah regulasi tapi sebenarnya kami selalu mengajak kepada seluruh teman-teman SKPD itu paling tidak bisa kita hindari lah," jelasnya.

Kembali seperti disebutkan Dahlan Tampubolon meminta Pemprov Riau perlu lebih mengoptimalkan upaya-upaya pengendalian inflasi secara bersama-sama baik dari sisi pasokan, produksi, maupun distribusi untuk mendukung ketahanan pangan dan penguatan ekonomi daerah.

Hal ini lantaran tingginya tingkat inflasi year on year (y-on-y) di Provinsi Riau pada April 2024 mencapai 3,99 persen dibanding nasional yakni 3,00 persen. 

"Meski Pemprov Riau pernah menggalakkan penanaman cabai bagi masyarakat untuk mengurangi gejolak harga, namun cara ini bersifat temporer atau tidak berlangsung lama," ujarnya. 

Dahlan menyebut perbaikan infrastruktur daerah juga perlu diperhatikan sebab dapat mengurangi biaya pengangkutan dan mengurangi risiko kerusakan dalam perjalanan sehingga harga di pedagang tidak terlalu tinggi dibandingkan dengan harga produsen. 

"Fenomena inflasi di Riau tidak pernah terlepas dari peran bahan makanan, karena memang kebutuhan daerah sebagian besar dipasok dari luar. Namun Infrastruktur yang kurang baik menyebabkan terlambatnya pengantaran barang, risiko kerusakan dan tambahan ongkos. Terutama bahan makanan, cabai, telur, ayam dan sejenisnya. Akses jalan yang tidak memadai menjadi faktor. Sehingga memahalkan harga," jelasnya. 

Sementara menyinggung soal statment Menteri Dalam Negeri, Muhammad, Tito Karnavian yang menyatakan ketidakpuasan lantaran banyak provinsi yang melaporkan inflasi di atas rata-rata nasional, menurut Dahlan inflasi sebagai indikator makro ekonomi memang paling cepat terukur namun tidak bisa dijadikan alat bagi mendagri untuk memberi punishment kepada PJ kepala daerah.  

Sebab, selain karena terbatasnya pasokan, inflasi juga terjadi karena naiknya daya beli masyarakat, terutama petani sawit yang sedang mengalami masa harga bagus dan produksi optimal. Ditambah, saat itu adanya momen hari besar Islam, yakni Ramadan dan Idul Fitri sehingga kebutuhan pangan kian meningkat. 

"Dinamika harga bulanan tidak serta merta menjadi alat bagi kementerian untuk memberikan ancaman kepada kepala daerah yang inflasinya di atas rata-rata," tuturnya. 

Lanjut Dahlan, misalnya Kabupaten Kampar secara (y-o-y) mengalami inflasi 6,07 persen dan tertinggi di Riau dengan IHK 109,32.

Di Sumatera, Kabupaten Kampar salah satu daerah yang mengalami inflasi di atas 5% dan IHK yang tinggi. 

Penyebabnya, Tradisi Raya Enam di Kampar turut mendorong inflasi, di mana dalam penghitungan inflasi April masih masuk.

"Solusinya Kampar dapat melakukan sinergi dengan para peternak yang ada di daerah, terutama dalam mengendalikan harga daging ayam dan telur.  Untuk komoditi lain, TPID bisa berkoordinasi dengan pihak provinsi," tutupnya. (*)

Tags : anggaran pendapatan belanja daerah perubahan, apbd perubahan 20204, pergeseran apbd perubahan, apbd perubahan banyak dikurangi,