News   2025/09/10 9:13 WIB

Api Abadi Dimuncung Kilang Migas Terus Berkobar yang 'Tak Padam Seperti Dana CSR', Relawan Prabowo Gibran: 'Buat Kemiskinan Jadi Semakin Ekstrim'

Api Abadi Dimuncung Kilang Migas Terus Berkobar yang 'Tak Padam Seperti Dana CSR', Relawan Prabowo Gibran: 'Buat Kemiskinan Jadi Semakin Ekstrim'

Penyaluran CSR Hulu Migas yang tepat sasaran menjadi tombak penting untuk kemajuan masyarakat.

PEKANBARU - Keberadaan perusahaan Industri maupun minyak dan gas (migas) pada suatu wilayah bisa memberikan dampak positif ditengah masyarakat.

"Industri migas bisa memunculkan isu lingkungan, perubahan pola permukiman serta kesenjangan sosial."

"Misalnya itu kan ... Corporate social responsibility (CSR) Industri Migas seharusnya bisa untuk tingkatkan perekonomian daerah tetapi malah untuk di Riau sendiri semakin tak jelas kegunaanya," kata Larshen Yunus, Ketua Umum (Ketum) Gabungan Rakyat Prabowo Gibran (GARAPAN) dalam bincang-bincangnya menilai soal migas di Riau belum lama ini. 

Menurutnya, tanggung jawab perusahaan secara sosial (CSR) merupakan komitmen bisnis untuk berkontribusi dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan, katanya.

"Bukan kah seharusnya jajaran pimpinan perusahaan bisa mampu bekerja bersama karyawan serta masyarakat sekitar untuk meningkatkan kualitas kehidupan," tanya dia.

Dengan kata lain, sebutnya lagi, program CSR sudah menjadi bagian dari bisnis yang sama dengan kegiatan usaha lainnya.

​"Jika entitas bisnis ini tumbuh, maka otomatis akan berkontribusi pada peningkatan pendapatan para karyawan, masyarakat dan sekaligus berdampak pada pertumbuhan daerah sekitarnya," kata Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjend) DPP KNPI Pusat Jakarta ini.

Menurutnya, komitmen CSR seharusnya sejalan dengan cara pandang para pelaku bisnis saat ini.

Pada era bisnis modern termasuk di industri migas, CSR bukan lagi dipandang sebagai saluran amal semata.

Melainkan sudah lebih kepada mencapai kemandirian masyarakat serta keuntungan ekonomi yang berkelanjutan.

"Pandangan yang digagas sejak abad ke-20 tersebut meyakini bahwa hubungan bisnis dan lingkungan usaha tidak bisa dipisahkan. Sebab lingkungan usaha memberikan pengaruh terhadap kegiatan operasional perusahaan."

"Malah saya tanyakan pada pihak pertamina, mereka menjawab sudah menyalurkannya ke pemerintah daerah setempat, sepertinya main bola pimpong, tuduh sana sini," katanya terheran-heran.  

Tetapi masa Gubernur Riau (Gubri) dijabat Syamsuar juga sudah menyoroti penyaluran dana CSR perusahaan-perusahaan di Riau.

Menurut Syamsuar, selama ini sering terjadi miss komunikasi antara pemerintah kabupaten/kota dengan pihak kecamatan dan desa.

Pernyataan Syamsuar menyebutkan, penyaluran dana CSR perusahaan itu sebaiknya dikomunikasikan dengan pemerintah kabupaten/kota. Jangan hanya ke pemerintah desa, atau kecamatan. Nanti kabupaten tak tahu, dikhawatirkan salah dari prioritas pembangunannya.

"Perusahaan harus mengutamakan pembangunan dengan dana CSR sesuai dengan skala prioritas yang sebelumnya telah disusun rencana pembangunan daerah."

Mengingat di setiap kecamatan dan desa juga sudah disusun rencana prioritas pembangunan.

Pihak Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Riau juga telah membahas CSR perusahaan di Riau yang sempat menggelar yang juga membahas perusahaan-perusahaan asing yang bercokol di Riau.

Intinya dewan menaruh kecewa terhadap perusahaan asing karena dinilai tidak kooperatif. 

“Mereka (perusahaan) sudah banyak memperoleh keuntungan dari SDA Riau. Seharusnya mereka memiliki komitmen yang lebih untuk membangun Riau,” kata Anggota DPRD Riau H. Abdul Kasim SH menyoroti beberapa permasalahan dari dampak operasional perusahaan-perusahaan yang beroperasi di Riau.

Dewan menyoroti, seperti terkait pemberdayaan Sumber Daya Manusia (SDM) Coorporate Sosial Responbility (CSR), limbah, hingga permasalahan kerusakan lingkungan.

Abdul Kasim mengatakan bahwa sudah puluhan tahun perusahaan industri besar berdiri mengelola Sumber Daya Alam (SDA) Riau, namun belum menampakkan niat baik membangun Riau, seperti dalam hal meningkatkan SDM.

Abdul Kasim juga menyampaikan agar perusahaan harus memperhatikan dan meningkatkan SDM masyarakat di lingkungan daerah operasional mereka, misalnya dalam hal pendidikan.

“Misalnya, perusahaan harus berpartisipasi membangun sekolah-sekolah yang berbasis keterampilan yang dibutuhkan oleh perusahaan mereka," kata dia.

"Ini agar setelah siswa-siswa itu tamat sekolah bisa mereka rekrut. Sehingga tidak lagi menjadi alasan kurangnya SDM di Riau. Tentu, perusahaan juga memberikan bantuan pendidikan kepada siswa, baik dari tingkat SD hingga sarjana (S1, S2 dan S3)," sebutnya.

Ia meminta agar ada kawasan-kawasan pembinaan desa/kelurahan untuk meningkatkan ekonomi masyarakat, seperti Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM), sehingga masyarakat desa merasakan keberadaan perusahaan di Riau.

Dirinya juga menyoroti kondisi satwa Riau yang bisa terancam punah, akibat eksploitasi dan perambahan hutan oleh perusahaan-perusahaan.

“Maka perusahaan harus juga membuat daerah kawasan ramah satwa. Agar kekayaan alam Riau tetap lestari dan menjadi warisan bagi anak cucu kita,” tukasnya.

“Dan yang tak kalah penting adalah, agar perusahaan memperhatikan masalah limbah yang dihasilkan dari perusahaan mereka. Perusahaan harus memproses limbah tersebut, supaya tidak mencemari lingkungan,” imbuhnya.

Abdul kasim juga menyampaikan, tentu semua harapan tersebut bukan hanya ditujukan kepada RAPP dan Indah Kiat saja, tetapi untuk seluruh perusahaan yang berinvestasi di Riau.

Tetapi kembali disebutkan Larshen Yunus, Wasekjen KNPI Pusat Bidang Migas ini berpendapat, dirinya setuju kegiatan CSR dilakukan dalam koridor penguatan masyarakat akan memberi dampak positif secara ekonomi, sosial maupun lingkungan perusahaan.

"Hanya sangat disayangkan dari hasil tinjauan lapangan selama ini di sejumlah perusahaan migas dan pertambangan, maupun perusahaan industri lainnya sering ditemukan perusahaan dalam menjalankan CSR masih terjebak dalam terminologi 'memberi bantuan'," kata dia.

"Hal itu lah membuat masyarakat terbiasa menjadi pihak yang dibantu, bukan yang mempunyai daya untuk mengubah nasib mereka sendiri," cerita dia.

Padahal pelaksanaan CSR di perusahaan migas pada ujungnya harus mampu memberikan penguatan daya saing masyarakat, "dalam kerangka ini partisipasi masyarakat sejak awal program sudah menjadi keharusan," tegasnya.

"Harus diakui pelaksanaan CSR dengan melibatkan peran masyarakat (community empowerment) prosesnya lebih panjang ketimbang hanya memberi bantuan (community assistance) maupun "community relation" (menjalin hubungan)."

"Memang prosesnya akan berjalan lama, tetapi akhirnya masyarakat terus kecewa," kata Larshen Yunus yang juga sebagai Direktur Kantor Hukum Mediator dan Pendampingan Publik (HMPP) Satya Wicaksana ini.

"Yang penting dari proses itu ada upaya untuk meningkatkan produktivitas dan mengembalikan pinjaman modal yang diberikan. Muaranya, masyarakat tidak lagi tergantung kepada perusahaan dan menjadi mandiri serta memiliki kemampuan untuk menyelesaikan persoalan mereka sendiri," sebutnya.

Jadi bentuk "community empowerment" itu adalah yang paling ideal dalam melakukan program CSR.

Larshen kembali mengingat masa perusahaan energi multinasional semacam Chevron (perusahaan asing-red) tetap mengimplementasikan program CSR dengan tujuan pemberdayaan masyarakat sekitar.

"Melalui motto "investasi sosial" Chevron menjalani program ini sejak puluhan tahun lalu saat masih bernama PT Caltex Pacific Indonesia," sebut Larshen mencontohkan.

"Julius Tahija, orang Indonesia pertama yang menduduki jabatan tertinggi di perusahaan Amerika Serikat ini yang menanamkan filosofi bahwa perusahaan hanya dapat bertahan jika mampu memenuhi kebutuhan sosialnya," kenang Larshen.

"Justru perusahaan migas yang sudah dikelola daerah sendiri maupun pihak Pertamina, masalah CSR semakin tak jelas juntrungnya. Sebaliknya perusahaan hanya dapat melayani kebutuhan sosial kalau sudah mantap secara ekonomi," imbunya.

Menurutnya, program investasi sosial dijalankan dengan mendasarkan pada penguatan masyarakat untuk perekonomian yang berkelanjutan.

Strategi investasi sosial yang dikembangkan perusahaan energi ini terus berubah mengikuti dinamika yang berkembang di masyarakat.

"Tujuan akhir dari kegiatan investasi sosial itu adalah menciptakan kemandirian masyarakat secara ekonomi."

"Kalau program CSR tetap dilakukan dengan kegiatan yang sifatnya donasi, tidak akan ada perubahan perilaku masyarakat. Seharusnya mengubah strategi ke arah yang membuat masyarakat lebih mandiri dan berdaya," kata dia.

Jadi menurutnya, meski begitu manajemen perusahaan Migas seperti; PT Medco E & P Indonesia (Lirik), PT Pertamina EP Field Lirik Aset I, Petro Selat, Ltd (Siak), Kondur Petroleum S.A (Bengkalis), PT. Bumi Siak Pusako, Kalila (Santos Bentu-Korinci Baru) Operator PTY LTD yang sudah multinasional, juga sudah memahami realita di lapangan.

Karena untuk sampai pada tahapan mandiri secara ekonomi, pelayanan kepada masyarakat yang bersifat pemenuhan infrastruktur, tidak bisa diabaikan, kata dia.

Penyaluran CSR harus tepat sasaran 

Sebagaimana diketahui penyaluran Corporate Social Responsiblity (CSR) yang tepat sasaran adalah menjadi harapan penting bersama bagi perusahaan ataupun langsung masyarakat yang terdampak, kata Larshen Yunus lagi.

Harapan inilah yang muncul dari masyarakat sekitaran SKK Migas – KKKS khususnya, apa saja kegiatan penyaluran CSR yang telah berjalan yang dilakukan SKK Migas – KKKS dan telah dipublis ke media.

Khususnya dalam bidang Pendidikan, Kesehatan, UMKM dan masih banyak lainnya, sebutnya.

Menurutnya, berdasarkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT) pasal 1 ayat 3, pengertian CSR perusahaan adalah komitmen perseroan untuk terlibat aktif dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan.

"Tujuannya untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat serta lingkungan yang bermanfaat, baik bagi komunitas setempat, perseroan, maupun masyarakat pada umumnya."

Biasanya, anggaran dana CSR yang digunakan adalah sekitar 2-3 persen dari total keuntungan yang diperoleh perusahaan dalam setahun.

Jenis-jenis program CSR yang bisa diselenggarakan pun cukup beragam. Mulai dari rehabilitasi alam, penggunaan sumber daya energi terbarukan, pengolahan limbah, hingga aktivitas-aktivitas sosial yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan.

"Penilaian masyarakat terhadap SKK Migas -KKKS menjadi sangat luas dalam artian positif, menjalin hubungan baik antara perusahaan dengan pihak masyarakat dalam program CSR perusahaan memberi kesempatan bagi perusahaan untuk menjalin hubungan baik dengan berbagai pihak lain."

"Ini dikarenakan masyarakat maupun lingkungan di sekitar bisa mendapat manfaat yang ditawarkan program CSR itu sendiri. Tentu saja, hubungan baik antara perusahaan dengan pihak-pihak lain sangat berpengaruh bagi pertumbuhan perusahaan di masa mendatang," ujarnya.

Kewajiban CSR perusahaan telah diatur dalam peraturan perundang-undangan. Dasar hukum CSR adalah UU PT dan PP 47/2012, sebut Larshen.

"Dasar hukum CSR sendiri tersebar dalam beberapa peraturan, misalnya dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT) dan Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas (PP 47/2012)," jelasnya. 

Secara sederhana, CSR dapat diartikan sebagai komitmen berkelanjutan dari perusahaan untuk bertindak secara etis, legal, dan berkontribusi untuk meningkatkan kualitas hidup dari pekerja dan keluarga, komunitas lokal, hingga masyarakat secara keseluruhan. Adapun contoh CSR perusahaan yang banyak dilakukan, antara lain pengolahan limbah, pembangunan infrastruktur, program donor darah, pengembangan UMKM, dan lainnya. 

Menurutnya, di Indonesia, istilah CSR dikenal juga dengan sebutan TJSL atau Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan. Kehadiran CSR atau TJSL secara global ini berkembang sejak 1980-an hingga 1990 sebagai reaksi dan bentuk keprihatinan dari organisasi masyarakat serta jaringan global untuk meningkatkan perilaku etis, adil, dan bertanggung jawab dari perusahaan yang tidak terbatas pada perusahaan itu sendiri, melainkan pada stakeholder dan masyarakat sekitar wilayah operasi perusahaan. 

Terkait kewajiban CSR perusahaan di Indonesia, dalam Pasal 74 UU PT menerangkan bahwa perusahaan yang menjalankan kegiatan usaha di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan.

"Jika kewajiban ini tidak dijalankan, perusahaan akan dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan."

Tetapi Larshen menyebut, meski dalam Pasal 74 UU PT hanya disebutkan aturan TJSL atau CSR tersebut berlaku bagi perusahaan dengan kegiatan usaha di bidang sumber daya alam, faktanya TJSL atau CSR ini merupakan tanggung jawab perusahaan secara luas, baik yang bergerak di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam. 

Aturan tersebut tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas (PP 47/2012). Ketentuan Pasal 2 PP 47/2012 menerangkan bahwa setiap perseroan selaku subjek hukum mempunyai tanggung jawab sosial dan lingkungan. 

Bagian Penjelasan Pasal 2 PP 47/2012 menerangkan bahwa pada dasarnya setiap perseroan sebagai wujud kegiatan manusia dalam bidang usaha, secara moral mempunyai komitmen untuk bertanggung jawab atas tetap terciptanya hubungan Perseroan yang serasi dan seimbang dengan lingkungan dan masyarakat setempat sesuai dengan nilai, norma, dan budaya masyarakat. 

Jadi Larshen menegaskan kembali, salah satu dasar hukum CSR yang berlaku saat ini, PP 47/2012 menguraikan sejumlah aturan terkait kewajiban CSR perusahaan secara terperinci dimana kewajiban bagi perusahaan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam dan kewajiban tersebut wajib dilaksanakan baik di dalam maupun di luar lingkungan (Pasal 3 PP 47/2012). (*)

Tags : minyak dan gas, migas, perusahan migas, kilang migas riau, corporate social responsibility, csr, csr migas, News,