LINGKUNGAN - Pentingnya kawasan hutan sebagai elemen penting dalam konservasi sehingga area hutan seharusnya tidak boleh dialihfungsikan menjadi pemukiman.
"Jika area hutan dialihfungsikan bisa memicu kerusakan lingkungan lebih masif."
"Dasarnya UU 41 Tahun 1999, UU 32 Tahun 2009 dan UU 18 Tahun 2013 tentang pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan," kata Ir Marganda Simamora SH M.Si, Ketua Yayasan Sahabat Alam Rimba [SALAMBA].
Tetapi lain lagi disebutkan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Pelalawan Ir Syahrul Syarief MSi, di Pangkalan Kerinci, Pelalawan, seakan Ia menyampaikan yang terjadi sepertinya penempatan area hutan di daerah itu sebuah keterlanjuran.
Syahrul Syarief mengakui sebanyak 72 ribu hektar lahan di berbagai wilayah kecamatan di Kabupaten Pelalawan, Riau, masih masuk dalam kawasan hutan, bahkan menjadi kawasan persawahan dan perkebunan, hingga perkampungan dan desa padat penduduk.
"Kami terus melakukan berbagai upaya untuk dilakukan pemutihan dan pelepasan dari Kemenhut, agar lahan masyarakat yang luasnya lebih kurang 72 ribu hektar itu tidak lagi berstatus kawasan hutan. Dan tentunya, banyak pintu perjuangan yang sedang dilakukan," kata Syahrul Syarief pada wartawan, Selasa (2/3) kemarin.
Dijelaskan Syahrul, bahwa upaya yang dilakukan Pemkab Pelalawan untuk pelepasan kawasan yang saat ini semuanya sudah ditempati masyarakat seperti perkampungan, pedesaan, termasuk perkebunan dan pertanian, selain menyurati langsung Kemenhut melalui Gubri serta berkoordinasi dengan anggota Komisi IV DPR RI.
"Bahkan anggota DPR RI sudah sempat langsung turun ke kabupaten Pelalawan. Dan tidak hanya itu, di Jakarta juga kita sudah lakukan dialog. Cepat atau lambat insyaAllah perjuangan ini akan berhasil, apalagi didukung berbagai pihak," bebernya.
Sejauh ini, ungkap Kepala Bappeda Pelalawan ini, memang sangat ironis diantara 72 ribu hektar yang masuk peta kawasan hutan oleh Kemenhut RI adalah perkampungan tua yang sudah sejak puluhan atau bahkan ratusan kepala keluarga [KK] sudah ditempati warga.
"Perkampung atau desa tersebut diantaranya Desa Rantau Baru Kecamatan Pangkalan Kerinci serta beberapa kampung lainnya di Kecamatan Langgam dan kecamatan lainnya. Kan ironis, warga sudah sejak lama ada disana dengan berbagai aktivitas, tapi malah masuk kawasan hutan," paparnya.
Akibatnya, lanjut Syahrul, kawasan hutan yang ditetapkan itu menimbulkan masalah sendiri bagi masyarakat.
"Lahan-lahan mereka itu, tidak bisa diterbitkan sertifikat. Pihak BPN tidak akan mau menerbitkan dokumen agrarianya, karena lahan tersebut masuk dalam kategori lahan larangan untuk dimanfaatkan masyarakat," ujarnya.
"Padahal, sertifikat tanah misalnya, itu sangat berharga bagi masyarakat kita dan bernilai ekonomis. Mereka bisa minjam uang di bank dengan jaminan sertifikat tersebut," sebutnya.
"Tapi selama ini harapan mereka kandas, karena pihak BPN tidak bersedia menerbitkan sertifikat," sambungnya.
Tidak hanya itu, kata Kepala Bappeda ini, pembangunan yang dilaksanakan Pemkab Pelalawan di kawasan tersebut juga bisa dikategorikan illegal dengan adanya status lahan tersebut yang masuk kawasan hutan.
"Tapi memang tidak sampai di sanalah. Apapun kondisinya tetap kita bangun. Namun demikian, kalau itu bantuan pusat, bisa jadi dibatalkan, karena memang akan menjadi persyaratan bahwa kegiatan pertanian atau perkebunan di kawasan tidak dibolehkan. Akibatnya program bantuan untuk masyarakat dikembalikan ke pusat," sebutnya.
Bahkan, kata Syahrul, salah satu desa di Kecamatan Kuala Kampar yang merupakan lumbung padi Kabupaten Pelalawan masuk dalam kawasan hutan.
"Desa Sungai Upih di Kuala Kampar itu masuk kawasan hutan. Padahal kita semua tahu, di sana merupakan sentra pertanian padi. Begitu juga Desa Sokoi masuk juga kawasan hutan. Padahal, pada RTRW Riau sebelumnya sudah diusulkan lahan-lahan terkait diputihkan.
Sedangkan beberapa perkampungan atau desa yang masih masuk kawasan hutan antara lain, Kecamatan Pangkalan Kerinci yakni Desa Rantau Baru dan Kuala Terusan, Kecamatan Langgam yakni Kelurahan Langgam dan seluruh desa yang berada di pinggir sungai Kecamatan Pelalawan seperti Desa Lalang Kabung dan beberapa desa lainnya.
Kemudian Kecamatan Bunut yakni Desa Balam Merah, Kecamatan Pangkalan Kuras yakni Desa Kesuma, Kecamatan Ukui Desa Lubuk Kembang Bunga dan lainnya. Dan Kecamatan Kerumutan yakni Desa Lipai Bulan, Tanjung Kuyo dan Kopau, serta Kecamatan Teluk Meranti yakni Desa Petodaan dan Pulau Muda. Mudah-mudahan, dengan perjuangan yang kita lakukan ini, maka kita optimis 72 ribu hektar lahan yang masih masuk dalam kawasan hutan ini, dapat diputihkan dan dilakukan pelepasan oleh Kemenhut RI," terangnya.
Namun penegasan disampaikan SALAMBA sekaligus mengingatkan tentang pentingnya kawasan hutan sebagai elemen penting dalam konservasi sehingga area hutan seharusnya tidak boleh dialihfungsikan menjadi pemukiman.
"Dasarnya UU 41 Tahun 1999, UU 32 Tahun 2009 dan UU 18 Tahun 2013 tentang pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan."
"Jika ada arahan dari pemerintah dengan prosedur pinjam pakai kawasan atas keterlanjuran, belum ada yang berhasil. Jika pun diperbolehkan akan terjadi titik lanjut perusakan lingkungan lebih parah, misalnya hutan produksi, hutan lindung dan daerah aliran sungai terancam," katanya.
"Mereka yang menempati kawasan hutan tidak hanya membangun permukiman, melainkan dengan membuka kebun merusak hutan lebih luas. Jadi jika pemerintah beralasan dengan tata ruang justru memicu masyarakat melanggar UU," sebutnya menilai.
"Area hutan tidak boleh dialihfungsikan jadi pemukiman," kata Ganda Mora lagi yang akrab disapa kalangan media ini, Rabu.
"Harusnya area hutan tidak boleh dialihfungsikan sebagai kawasan pemukiman, itu akan menyebabkan hilangnya pohon-pohon besar dan juga batu yang berada di aliran sungai tidak bisa menahan air yang turun dari atas," kata dia.
Ganda mengakui, berpihak pada peninjauannya dilapangan selama ini, justru diperbolehkannya permukiman dan pembukaan kebun disekitar area hutan memicu terjadinya bencana banjir di Pelalawan beberapa waktu lalu.
Ia menilai penyebab banjir tersebut disebabkan adanya pengalihfungsian lahan sehingga pemerintah setempat diharapkan segera mereboisasi area tersebut.
"Jangan sampai menyalahkan hujannya. Tetapi kita harus sadar diri bahwa area tersebut merupakan area hutan bukan untuk tempat tinggal," jelasnya.
Ia juga menyarankan agar area tersebut ditanam kembali pohon-pohon yang berfungsi sebagai penahan air, serta melakukan relokasi penduduk yang tinggal di area tersebut, agar nantinya kawasan tersebut berfungsi sebagaimana mestinya.
Menurutnya, berbagai pihak terkait juga diharapkan dapat meneliti jumlah hutan di daerah itu, sehingga apabila jumlahnya berkurang, maka sejumlah perkebunan yang kurang produktif dan tidak menguntungkan itu statusnya dapat diubah menjadi hutan.
Sebelumnya, Ganda Mora juga telah menegaskan bahwa prinsip konservasi dalam pengelolaan sektor kelautan dan perikanan harus lebih diutamakan dibandingkan penerapan prinsip korporasi yang hanya mencari laba atau keuntungan semata.
"Pengelolaan kawasan perairan, lautan dan hutan harus diterapkan untuk tujuan konservasi. Manfaat dan fungsi ekonomi didapat dari langkah konservasi tersebut, bukan sebaliknya," kata dia.
Jadi menurutnya, saat ini masih kerap terjadi legalisasi atau pembuatan produk kebijakan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip pengelolaan yang berkelanjutan, karena banyak pihak yang ingin melakukan percepatan pertumbuhan tetapi secara individu atau korporasi. (*)
Tags : area hutan, pelalawan, area hutan dialihfungsikan, area hutan jadi pemukiman dan perkebunan, alifungsi hutan memicu kerusakan lingkungan lebih masif, lingkungan alam,