INTERNASIONAL - Pemerintahan Trump, menurut tim kampanye Presiden Biden, "memberikan cek kosong kepada Arab Saudi". Tim kampanye Biden menuduh pemerintah Presiden Trump menutup mata terhadap pelanggaran hak asasi manusia dan mengulur-ulur waktu perang yang menimbulkan malapetaka di Yaman. Perang selama enam tahun itu telah menewaskan puluhan ribu orang.
Seperti dirilis BBC News, Tim baru di Gedung Putih telah berjanji untuk mengubah total hubungannya dengan Arab Saudi dengan mengedepankan hak asasi manusia. Presiden Biden mengisyaratkan ia akan mengakhiri bantuan militer Amerika Serikat (AS) untuk perang pimpinan Arab Saudi di Yaman. Baru satu pekan Presiden Biden menjabat, AS telah membekukan penjualan senjata miliaran dolar ke Arab Saudi maupun Uni Emirat Arab sambil menunggu peninjauan ulang.
Tetapi apakah memang akan ada perubahan besar dalam jangka panjang? Apakah niat pemerintahan Biden yang telah digembar-gemborkan memang akan berdampak praktis terhadap masalah pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Saudi atau terhadap perang di negara tetangganya, Yaman?. Bagaimanapun juga, Arab Saudi adalah mitra keamanan paling dekat AS di kalangan negara-negara Arab, sekutu strategis penting dalam menghadapi perluasan milisi dukungan Iran di wilayah Timur Tengah, dan juga pembeli besar untuk senjata AS.
Menurut Stockholm Institute of Peace Research Institute (Sipri), Arab Saudi tercatat sebagai importir senjata terbesar selama periode 2015-2019, sebagian besar berasal dari AS. Persenjataan Barat, termasuk dari Inggris, telah digunakan untuk mengebom berbagai sasaran di Yaman. Seperti dikatakan Andrew Smith dari Campaign Against the Arms Trade (CAAT) yang berbasis di Inggris, "akan diperlukan sikap yang lebih tegas dibandingkan sikap Biden sebagai wapres di masa pemerintahan Obama" untuk membuahkan perubahan.
Mengenai HAM di Arab Saudi, pihak berwenang negara itu menggarisbawahi data terbaru tentang penurunan tajam jumlah pelaksanaan hukuman mati. Jajaran tinggi di sekitar Putra Mahkota Mohammed Bin Salman, (yang biasa disingkat MBS) jelas sadar akan dampak buruk dari berita-berita HAM pada citra negara itu di mata dunia. "MBS", menurut anggota parlemen Inggris Crispin Blunt, "mendapat nasihat saling berlawanan dari orang-orang di sekitarnya tetapi (penekanan HAM oleh Joe Biden) ini memberikan peluang lagi kepada orang-orang pragmatis yang menasihati MBS bahwa citra umum Arab Saudi itu penting."
Sejak MBS melejit ke kekuasaan pada 2017, Arab Saudi mengalami paradoks ganjil. Putra mahkota melakukan perombakan revolusi sosial, mencabut larangan mengemudi bagi perempuan, mengizinkan hiburan di tempat umum dan perbauran warga tanpa memandang jenis kelamin, dan memangkas kewenangan ulama. Arab Saudi sekarang terasa sebagai negara yang jauh lebih normal dan menyenangkan dibandingkan lima tahun lalu.
Kendati demikian, putra mahkota - yang, tidak seperti anggota senior kerajaan lainnya, tidak pernah tinggal di Barat - telah memerintahkan pemberangusan terhadap kebebasan berekspresi. Sebelumnya warga Arab Saudi bisa mengungkapkan keluhan-keluhan mereka secara daring, selama mereka tidak berunjuk rasa di jalan-jalan. Sekarang mereka tak dapat melakukan keduanya. Ribuan orang ditangkap dan dipenjara, tanpa banyak kata permintaan maaf dari putra mahkota, yang menganggap kritikan konstruktif dan damai sekalipun sebagai rintangan bagi rencananya untuk menciptakan kemajuan.
Tuduhan dan pelanggaran
Kasus-kasus paling terang-terangan dalam pelanggaran HAM telah menjadikan MBS sebagai paria di dunia Barat. Kasus-kasus itu meliputi pembunuhan dan mutilasi tubuh wartawan Arab Saudi, Jamal Khashoggi di dalam gedung Konsulat Saudi di Istanbul pada 2018, penangkapan dan tuduhan penyiksaan terhadap aktivis hak-hak perempuan Loujain al-Hathloul, dan sistem peradilan yang memena-mena dan tidak jelas di negara itu.
Sidang acapkali digelar secara diam-diam, para terdakwa tidak diberi akses ke pengacara dan pengadilan kasus terorisme digunakan untuk mengadili orang-orang yang berbeda pendapat sekalipun aksi mereka berjalan damai. Di bawah kendali putra mahkota, terjadi pula serangkaian orang yang hilang. Mereka termasuk kalangan eselon tinggi di lingkungan keluarga kerajaan.
Pangeran Ahmed bin Abdulaziz, sosok penurut berusia 79 tahun yang juga merupakan putra pendiri kerajaan Arab Saudi, ditangkap tahun lalu dan didakwa dengan kasus pengkhianatan. Yang juga disekap adalah mantan putra mahkota dan mantan menteri dalam negeri, Pangeran Mohammed bin Nayef, yang dipercayai berhasil mengalahkan pemberontakan al-Qaida pada tahun 2000-an.
Kepala badan intelijen dan mantan mitra utama CIA, Saad al-Jabri, melarikan diri ke Kanada pada 2017 dan melayangkan gugatan terhadap putra mahkota dengan tuduhan MBS mengirimkan tim untuk membunuhnya beberapa pekan sesudah pembunuhan Jamal Khashoggi. Anak-anak Al-Jabri telah ditahan di Arab Saudi dan dituduh mendapat keuntungan dari dana negara yang diselewengkan.
Presiden Trump tidak begitu memperhatikan atau bahkan tidak memperhatikan sama sekali kasus-kasus itu. Ia memilih Riyadh sebagai tujuan lawatan luar negeri pertama sebagai presiden pada 2017 dan selalu lebih tertarik menjalin kesepakatan dengan jajaran pemimpin Arab Saudi ketimbang menekan agar negara itu memperbaiki kondisi HAMnya. "Siapapun yang menjadi presiden AS dapat menebarkan pengaruh besar," kata Andrew Smith dari Campaign Against the Arms Trade.
Dennis Ross, diplomat veteran AS yang bertahun-tahun mengabdi di Departemen Luar Negeri sebagai koordinator kebijakan Timur Tengah, mengatakan kepada BBC: "Pemerintahan Trump membuat kesalahan besar karena tidak memberikan syarat [dalam hubungan eratnya dengan Saudi]. Tetapi bagaimana kita menyepakati hal itu dengan mitra strategis kita?"
Meskipun ada niat yang telah disampaikan oleh pemerintahan Biden, akan muncul suara-suara dari Departemen Luar Negeri, CIA, Pentagon dan di kalangan pelobi senjata berpengaruh di AS yang menyerukan pendekatan berhati-hati terhadap Arab Saudi. Seandainya saja, karena alasan tertentu, keluarga AAl Saudi yang umumnya pro-Barat, kehilangan kekuasaan, ada kemungkinan akan digantikan oleh rezim berhaluan Islam keras yang tidak simpatis terhadap Barat. Para diplomat, seperti Dennis Ross paham betul mengenai hal ini. "Kita tidak akan bisa mendekte Arab Saudi tentang apa yang perlu dilakukan. Kita tidak mempermalukan siapapun di tempat umum atau memaksa mereka berusaha sekuat daya. Ini memerlukan percakapan tingkat tinggi secara tertutup."
Jadi kembali ke pertanyaan awal: bisakah pemerintahan Biden memperbaiki hak asasi manusia Arab Saudi? Ya bisa. Tetapi berapa besar pengaruhnya itu tergantung bagaimana Gedung Putih mendorong agenda itu dan pada akhirnya apa yang dianggap kedua negara sebagai kepentingan terbaik mereka. Sementara itu, Rusia dan China ingin sekali menjalin bisnis lebih besar dengan Riyadh dan tidak mengangkat hal-hal "canggung" tentang HAM.
Tetapi untuk saat ini, AS tetap sebagai mitra strategis utama bagi Arab Saudi dan menurut seorang dalam di Kantor Raja, "pemerintahan Biden akan memberikan sorotan yang jauh lebih keras dalam masalah hak asasi manusia dibandingkan sebelumnya. Ini sudah masuk agenda sekarang dan memerlukan langkah nyata, bukan kata-kata". (*)
Tags : AS, Ubah Hubungan dengan Arab Saudi, Mengedepankan HAM ,