PEKANBARU, RIAUPAGI.COM - Kenaikan harga pangan di tengah meningkatnya harga bahan bakar fosil membuat bisnis kelapa sawit semakin kemilau.
"Bukan saja bisnis pembukaan kebun kelapa sawit begitu juga yang terkait dengan itu pembangunan pabrik sawit," kata Kooordinator Indonesian Corupttion Investigation (ICI), Darmawi Wardhana Zalik Aris dalam pembicaraannya malam Minggu (14/1/2023).
Diapun menyinggung soal persaingan memperoleh lahan untuk perkebunan kelapa sawit semakin ketat di tengah tren kenaikan kepemilikan konsesi.
"Jika tidak dikontrol, ibarat bisnis ini akan membuka peluang dan menimbulkan kejahatan-kejahatan tersembunyi yang mengarah kerugian negara."
Tetapi Darmawi melihat Indonesia memiliki 7,9 juta hektar perkebunan kelapa sawit yang telah tertanam seluas 5,7 juta hektar.
"Saat ini, Indonesia merupakan produsen terbesar minyak sawit mentah (CPO) dunia dengan volume 21,6 juta ton dan mengekspor 15,5 juta ton sejak tahun 2010," ujarnya.
Menurutnya, bersama Malaysia, Indonesia memasok 87 persen CPO di pasar minyak nabati internasional. Walaupun demikian, sebagian produksi CPO Indonesia diperkirakan diproduksi perusahaan perkebunan kelapa sawit milik Malaysia yang memiliki konsesi di Kalimantan dan Sumatera.
Tetapi satu sisi, pemerintah telah mencabut izin prinsip pencadangan area hutan seluas 3 juta hektar untuk 251 investor perkebunan kelapa sawit yang tidak menunjukkan kemajuan pengelolaan.
Pemerintah juga memutuskan mengalihkan hak penguasaan kawasan hutan tersebut kepada pengusaha nasional yang lebih serius bekerja.
”Hal ini penting supaya negeri ini tetap mempunyai lahan yang cukup untuk memproduksi bahan pangan dan energi demi kesinambungan ekonomi nasional di masa depan,” kata Darmawi menilai.
Menurutnya lagi, saat ini, investor asing menguasai sedikitnya 2 juta hektar konsesi perkebunan kelapa sawit. Sebagian besar merupakan kelompok-kelompok usaha perkebunan raksasa dari Malaysia, seperti Golden Hope dan Syme Darbi.
Investor asing masih mengincar konsesi lahan di Indonesia karena posisi yang strategis sebagai negara tropis dan masih memiliki sedikitnya 30 juta hektar kawasan hutan krisis yang berpotensi menjadi perkebunan kelapa sawit, karet, dan tebu.
Tetapi sebaliknya, tingkat kepemilikan asing di perkebunan kelapa sawit Indonesia tergolong tinggi mencapai 50 persen dari total 9,5 juta hektar lahan. Demikian juga yang terjadi secara lokal seperti di Riau juga mengalami peningkatan.
"Jika tidak segera dikontrol, kondisi ini berpotensi menghambat program pemerintah di bidang revitalisasi perkebunan, sulitnya mengupayakan kenaikan upah petani, dan tidak maksimal dalam menggerakkan perekonomian nasional," dalam prediksinya.
Namun, dilihat dari perkembangan usaha bisnis ini, Darmawi melihat, ada upaya pemerintah untuk menghentikan sementara izin investasi di sektor perkebunan kelapa sawit dan karet oleh investor asing. Tetapi tidak untuk pembangunan pabrik sawit. Alhasil, tumbuh suburnya pabrik sawit tanpa kebun kian menjamur.
”Sejalan dengan itu, pengusaha nasional dan lokal memanfaatkan kesempatan besar itu. Namun asumsinya, jika jumlah dan luas lahan perkebunan yang dimiliki investor dalam negeri meningkat, dampak positif yang dirasakan juga signifikan. Sebaliknya, jika pabrik sawit tanpa kebun lebih banyak juga akan berimbas pada persaingan usaha dengan perusahaan memiliki pabrik sawit dan kebun,” kata Darmawi.
Tetapi berdasarkan Data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) dan Kementerian Kehutanan, total luas lahan perkebunan kelapa sawit di Indonesia yang berpotensi untuk digarap langsung saat ini mencakup 30 juta hektar. Wilayahnya tersebar di sejumlah daerah di Sumatera dan Kalimantan dan Riau. Namun ICI menilai, Indonesia belum memiliki kedaulatan di kelapa sawit. (*)
Tags : lahan hutan, kebun sawit, riau, asing incar lahan sawit, pembukaan kebun sawit, pembangunan pabrik sawit, News,