JAKARTA - Aparatur Sipil Negara (ASN) dilarang pamer harta, tetapi pengamat menilai ini hanya 'lip service' yang sebenarnya terlihat lemah dalam pengawasan di internal pemerintah.
"Tetapi kenyataan dilapangan tetap saja bermewah asal tidak masuk medsos."
“Lip service itu, seolah-olah hidup sederhana tetapi sumber masalahnya sendiri; korupsi, punya kemewahan dan seterusnya tidak dipamerkan tapi dinikmati. Tidak disiarkan, kan ketutup, tidak dimasukkan,” kata Peneliti Senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Didik Junaedi Rachbini.
Didik mengatakan larangan pegawai kementerian pamer harta hanya sekadar ‘lip service’. Sebab, harta dan kekayaan mewah tetap dimiliki dalam lembaga pemerintah, hanya saja tidak diperlihatkan ke publik.
Menurut Didik, larangan tersebut tidak menyelesaikan masalah yang timbul dari pengawasan internal Kementerian yang ia nilai masih kurang.
Tetapi yang terjadi kasus Rafael Alun Trisambodo mengemuka, sejumlah kementerian dan lembaga BUMN melarang ASN pamer harta. Menurut pengamat, larangan itu hanyalah 'lip service' dan menunjukkan kelemahan dalam pengawasan internal pemerintah.
Juru Bicara Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan-RB), Mohammad Averrouce, mengatakan bahwa larangan tersebut sesuai dengan arahan Presiden Joko Widodo.
“Jangan pamer kekuasaan dan kekayaan. Apalagi dipajang di media sosial. Untuk aparatur birokrasi, ini sangat-sangat tidak pantas. Jadi itu saya kira langkah yang tepat dan ini saya kira juga atensi dari seluruh anggota kabinet,” kata Mohammad Averrouce seperti dirilis BBC News Indonesia pada Minggu (12/3).
Ia menjelaskan bahwa larangan tersebut tidak bersifat ‘menyembunyikan harta’, tapi agar ASN dapat menjadi contoh yang baik bagi masyarakat. Adapun pengawasan dan penyidikan secara internal pemerintah terus berjalan.
“Ini refleksi kita. Sudah dalam konteks pendayagunaan aparatur negara sesuai peran kami, saya kira itu menjadi bagian penting dalam proses reformasi birokrasi yang kita dorong,” katanya.
Sebelumnya, Menpan RB, Abdullah Azwar Anas, mengingatkan aparatur sipil negara (ASN) untuk tidak memamerkan harta kekayaan.
“Arahan Presiden sudah jelas bahwa ASN tidak boleh pamer kemewahan, taat LHKPN, dan seterusnya,” kata Azwar Anas pada acara Penandatanganan Komitmen Pelaksanaan Aksi Pencegahan Korupsi Tahun 2023-2024, Jumat (10/3).
Berdasarkan pemberitaan media, beberapa lembaga dan kementerian negara yang melarang pegawainya pamer harta dan kekayaan mencakup Direktorat Jenderal Perhubungan Laut (DJPL) Kementerian Perhubungan (Kemenhub), Kementerian Agraria Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/ BPN), dan Kejaksaan Agung (Kejagung).
Ada pula beberapa institusi BUMN yang menerapkan larangan serupa, di antaranya PT Pelayaran Nasional Indonesia (Pelni), PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) dan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN).
Pelarangan ASN pamer harta bermula dari kasus putra Rafael Alun, Mario Dandy, yang dituduh menganiaya anak pengurus GP Ansor.
Kasus ini merembet ke harta tidak wajar Rafael Alun, termasuk sejumlah properti dan kendaraan mewah yang tidak tercantum dalam Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN).
Yang terbaru, PPATK menemukan Rp 37 miliar yang diduga hasil suap di dalam brankas alias safe deposit box. Hal tersebut diungkapkan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD pada konferensi pers Sabtu (11/3).
"Dalam keadaan begitu, kemungkinan-kemungkinan yang lain belum diblokir, ini diblokir, lalu dikoordinasikan, dicari dasar hukumnya, tanya ke KPK, bisa tidak ini dibongkar? Bongkar. Isinya ketemu itu satu safe deposit box itu sebesar Rp 37 miliar dalam bentuk dollar AS," katanya.
Bahkan, Mahfud mengeklaim bahwa uang diduga hasil suap di deposit box Rafael tak diketahui Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Oleh karena itu, ia menilai bahwa tindakan Rafael merupakan modus pencucian uang.
"Itu bukti pencucian uang. Menteri bisa tidak tahu bahwa ada uang seperti itu dan memang di luar kuasa menteri. Kan orang menyimpang ratusan (miliar) di safe deposit box, itu kan menteri juga tidak tahu," tutur Mahfud.
Larangan yang tidak menyelesaikan masalah
Pakar ekonomi senior INDEF, Didik Junaedi Rachbini, mengatakan larangan pemerintah agar para pegawainya tidak memamerkan harta dan kekayaan, terutama di media sosial, adalah langkah yang tidak tepat.
Ia menyebut langkah tersebut hanya bersifat lip service yang sebenarnya tidak menyentuh inti dari permasalahannya.
“Seolah-olah hidup sederhana tetapi sumber masalahnya sendiri; korupsi, punya kemewahan dan seterusnya tidak dipamerkan tapi dinikmati. Tidak disiarkan, kan ketutup, tidak dimasukkan. Tetap saja bermewah-mewah, tapi dilarang menyiarkan. Cuma nggak masuk medsos saja,” ujarnya kepada BBC News Indonesia, Minggu (12/3).
Berkaca dari kasus Rafael Alun Trisambodo, Didik mengatakan bahwa media sosial justru menjadi bagian dari pengawasan bagi para pejabat dan pegawai. Karena mereka menjadi sorotan di tengah masyarakat jika terlihat memiliki harta dan kekayaan yang tak wajar.
“Justru media sosial adalah bagian dari pengawasan. Ketika tidak boleh disiarkan di medsos, maka mereka bersembunyi. Tetap melakukan kemewahan-kemewahan tapi bersembunyi dari pengawasan medsos.”
“Jadi tetap saja hidup mewah. Kan yang dilarang bukannya bagaimana tidak korupsi atau hidup hemat,” tutur Didik.
Direktur Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) UGM, Zainal Arifin Mochtar, menilai larangan tersebut boleh saja dilakukan. Menurut dia, memang kerap kali kehidupan mewah para pegawai dan pejabat negara menjadi tontonan masyarakat dan memicu kecemburuan sosial.
Namun, Zainal mengatakan itu hanyalah sebuah tindakan sementara yang tidak cukup untuk menangani masalah kekayaan luar biasa yang bisa saja dimiliki pegawai maupun pejabat.
“Apakah itu cukup? Saya kira tidak. Karena hanya melarang mempertontonkan kan tidak berarti mereka tidak memilikinya. Artinya, mereka tetap memiliki cuma dilarang untuk dipertontonkan,” katanya.
Dalam konteks harta dan kekayaan di luar batas kewajaran, menurutnya, pertanyaan utama adalah apakah harta itu diperoleh secara ilegal dan apakah harta itu bisa dipertanggungjawabkan. Dia menegaskan kedua hal tersebut meski berbeda tapi saling terkait sehingga perlu dilakukan pencatatan oleh negara.
“Dua hal itu saya kira harus ditangani dengan detil sekarang untuk Indonesia. Karena memang kalau kita lihat sudah lama sebenarnya, laporan-laporan serupa itu ada. Misalnya, laporan PPATK soal Alun sudah ada sejak 2012,” kata Zainal.
Jubir Kemenpan-RB, Mohammad Averrouce, mengatakan bahwa larangan pamer harta bagi ASN sudah tepat dalam konteks mendorong reformasi birokrasi. Sebab, ASN seharusnya dapat menjadi contoh yang baik bagi masyarakat.
“Di masyarakat juga perlu kita cermati di lingkungan masyarakatnya. Siapapun saya kira juga nggak boleh pamerlah. Nanti ASN kan karena tugas dan perannya itu melayani masyarakat, saya kira dia harus memberi contoh,” ujar Averrouce.
Menurut dia, bukti kemewahan yang diperlihatkan pegawai maupun pejabat di media sosial tidak bisa serta-merta dijadikan basis untuk menentukan seseorang bersalah atau tidak.
Sebab, perlu ada penyelidikan yang dilakukan untuk benar-benar memastikan ada bukti yang dapat mendukung asumsi itu.
“Ya pasti kalau mau pembuktian kan mesti ada prosesnya kan. Jadi nggak bisa pakai (medsos), dia harus ada pembuktiannya, harus dilakukan,” katanya.
Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa kasus Rafael Alun Trisambodo menjadi peringatan bagi semua jajaran Kementerian dan lembaga pemerintah lainnya agar dapat terus memperbaiki pengawasan di masing-masing internal kementerian, yakni bagian inspektorat jenderal.
“Saya kira itu lagi proses. Jadi maksudnya, kita nggak boleh praduga bersalah langsung, mesti dicrosscheck, jadi kita jangan langsung [berasumsi 'wah, dia korupsi'. Kan ada pembuktiannya. Proses itu yang kemudian mesti dijalani supaya obyektif,“ tegas Averrouce.
Pengawasan internal dan eksternal masih perlu perbaikan
Direktur PUKAT sekaligus dosen hukum tata negara dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Zainal Arifin Mochtar, mengatakan bahwa pengawasan dalam lembaga dan kementerian pemerintah masih bermasalah.
Hal tersebut, sambungnya, terbukti dengan kasus Rafael Alun yang sebetulnya sudah dilaporkan ke KPK sejak 2012 lalu. Namun, baru sekarang masalah tersebut kembali terungkit.
”Ini sudah dibicarakan juga sama Kementerian dari sejak lama. Tapi tidak berjalan. Artinya inspektorat juga punya problem. Mungkin karena Kementerian. Makanya baik pengawasan internal maupun pengawasan eksternal saya kira bermasalah dalam kasus beginian,” kata Zainal.
Zainal mengatakan bahwa seharusnya pengawasan di semua tingkat, baik internal maupun eksternal, dapat berjalan. Ia menambahkan bahwa ini bukanlah pertama kalinya kasus terkait ketidakwajaran harta dan kekayaan terjadi dalam jajaran Kementerian Keuangan.
Ia menyebut reformasi yang dilakukan Kementerian Keuangan pada 2004 silam, ketika gaji pegawai dan pejabat kementerian tersebut dinaikkan menjadi sangat tinggi. Namun, perbaikan dilakukan kembali usai kasus pegawai pajak Gayus Tambunan pada 2010-2011.
”Saya kira tetap saja korupsi semacam beginian itu pasti dua aspek sekurang-kurangnya terjadi. Satu aspek personal, karena kegagalan menaruh jabatan-jabatan bagus dan tertentu di internal. Orang-orang yang baik di jabatan posisi yang baik dan benar. Dan yang kedua, sistem tidak terbangun sempurna,“ kata Zainal.
Senada, peneliti senior INDEF, Didik Junaedi Rachbini, mengatakan bahwa pengawasan dari segi etika birokrasi sudah lemah. Menurut Didik, hal ini membuat para pegawai dan pejabat semakin berani untuk menyalahgunakan kewenangan.
“Kalau pengawasan itu kayak di sekolah, dia terlambat, tugas tidak selesai atau menganggu siswa putri. Atau menyontek. Itu implikasinya besar, bisa dipecat. Jadi pengawasan di sekolah jauh lebih baik dari pengawasan di pemerintahan sekarang.”
Oleh karena itu, Didik menyarankan agar pengawasan etika pejabat dan pegawai pada Eselon III, II, dan I itu harus dilakukan. Sementara pada Kementerian Eselon I saja, mekanisme pengawasannya ia sebut tergolong lemah.
“Karena kelemahan dari atas, di dalam birokrasi kan ada irjen. Pada praktisnya enggak ada manfaatnya irjen itu. Manfaatnya sudah tidak ada manfaatnya sekarang dengan kasus yang besar seperti ini. Nah itu harus dipertanyakan,” katanya.
Menanggapi hal tersebut, Jubir Kemenpan-RB Mohammad Averrouce membantah anggapan bahwa pengawasan lemah dalam pemerintah. Sebab, dari dulu sampai sekarang pengawasan terus dilakukan dan terus diperbaiki secara terus menerus.
“Kalau dibilang tidak efektif dari mananya? Ada evaluasinya nggak? Jadi nggak bisa [karena] satu persoalan kemudian melihat efektifitas terhadap 100%,“ ungkap Averrouce.
Ia mengatakan pengawasan pada Kementerian dilakukan dalam beberapa jenjang, yakni inspektorat jenderal, inspektur dan inspektorat daerah. Ada pula KPK yang menjalankan pengawasan eksternal lewat analisa LHKPN, yang merupakan kewajiban masing-masing kementerian dan lembaga untuk melaporkan.
“Di kami juga ada pengendalian internal, termasuk laporan juga di seluruh kementerian-lembaga bahkan Pemda. Dan mungkin kalau dikuatkan iya, penguatan kita perlu lakukan iya. Itu harus. Karena continuous improvement [perbaikan berkelanjutan] mesti dilakukan,“ tuturnya. (*)
Tags : aparatur sipil negara, asn dilarang pamer harta, larang asn pamer harta hanya lip service, pemerintah lemah mengawasi asn paemer harta,