PEKANBARU, RIAUPAGI.COM - Petani kelapa sawit yang tergabung dalam Asosiasi Petani Kelapa Sawit PIR Indonesia (Aspekpir) mengeluhkan denda Rp 25 juta per hektare per tahun sebagaimana yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 45 Tahun 2025.
"Petani kelapa sawit merasa berat dengan PP 45/2025."
“PP 45/2025 ini sangat mengerikan. Mayoritas petani PIR (Perusahaan Inti Rakyat) merupakan bagian dari program resmi pemerintah pada era 1980–1990-an, khususnya program transmigrasi. Ini program pemerintah. Kalau sekarang tiba-tiba (lahannya) dimasukkan ke kawasan hutan kemudian dikenai denda dan disita, artinya pemerintah tidak konsisten dengan programnya sendiri,” kata Ketua Aspekpir Setiyono kepada wartawan pada Kamis (16/7).
Adapun PP Nomor 45 tahun 2025 mengatur tentang pengenaan denda administratif di bidang kehutanan.
Setiyono meminta pemerintah meninjau ulang aturan itu, karena sangat merugikan petani sawit. Lebih parah lagi, bisa merusak masa depan industri sawit nasional.
Setiyono mengungkap banyak petani PIR baru mengetahui lahannya masuk kawasan hutan ketika mengikuti program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR).
Sebagian lahan bahkan sudah dipasangi plang kawasan hutan, sehingga petani tidak dapat melakukan peremajaan maupun menjaminkan sertifikat ke bank untuk mendapatkan modal.
“Dari situ saja dampaknya sudah terasa. Ada rasa takut dan waswas. Kalau aturan (PP 45/2025) ini diterapkan, petani bisa jatuh miskin. Program transmigrasi yang dulu menjadi jalan keluar dari kemiskinan, sekarang malah bisa memiskinkan lagi,” jelasnya.
Dia bercerita tentang program transmigrasi pada 1989. Program itu diklaim sangat menjanjikan. Setiyono pun mempertaruhkan masa depan dengan berangkat dari desa di Kediri, Jawa Timur. Lantas merantau ke Sumatera.
Kondisi daerah transmirasi pada awalnya begitu menyedihkan. Belum ada infrastruktur, sehingga untuk masuk ke rumah harus melewati medan yang sangat berat.
Makan nasi dan garam sudah bukan hal yang biasa. Sampai akhirnya dia mengikuti program petani sawit PIR dari pemerintah.
Setiyono mendapatkan lahan untuk ditanami sawit seluas 2 hektare yang dibeli secara mencicil.
Perjuangan berat dijalani dengan sabar sampai nasibnya berubah lebih baik.
Setiyono merupakan satu potret keras dari 400.000 anggota Aspekpir yang berjuang ke luar dari garis kemiskinan.
Mereka tersebar di 20 provinsi di Indonesia mulai Sumatera, Kalimantan, Sulawesi hingga Papua.
Aspekpir mencatat, luas lahan petani sawit PIR mencapai sekitar 800.000 hektare.
Sejauh ini petani PIR yang sudah melapor lahan sawitnya dimasukkan ke kawasan hutan sebanyak 20 persen atau 160.000 hektare.
Menurut dia, jika pemerintah menerapkan denda Rp 25 juta per hektare per tahun, maka petani PIR akan menanggung beban sangat berat.
“Bayangkan tanaman tahun 80–90-an. Kalau 30 tahun dihitung, ini dendanya sangat besar. Padahal ini (petani PIR) program pemerintah,” tegasnya.
Dia menilai perbedaan kebijakan antar kementerian telah menciptakan ketidakpastian hukum bagi petani.
“Masak antar kementerian nggak bersatu? Ini dulu program transmigrasi yang melibatkan sembilan menteri, termasuk Kehutanan. Harusnya pemerintah menyelesaikan masalah ini, bukan membebani rakyat,” jelasnya.
Diperkuat juga dengan munculnya Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri (Menteri Pertanian, Menteri Koperasi dan Menteri Transmigrasi).
Sebagai informasi, Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH) telah menguasai kembali lahan ilegal seluas 3.312.022,75 hektare. Adapun PP Nomor 45 Tahun 2025 sebagai revisi dari PP 24 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dan PNBP memunculkan keresahan serius di sektor perkebunan sawit.
Aturan baru itu dinilai membawa konsekuensi tambahan, mulai dari denda yang mencapai Rp 25 juta per hektare per tahun hingga perluasan kewenangan Satgas PKH, yang menimbulkan kekhawatiran terkait kepastian hukum dan iklim investasi. Karena selain didenda, lahan sawit yang dinilai melanggar juga disita.
Menurut Guru Besar IPB Prof Budi Mulyanto, akar persoalan sebenarnya bukan sekadar pada PP 45/2025, tetapi pada penetapan kawasan hutan yang sejak awal tidak mengikuti UU 41/1999 tentang Kehutanan.
Dalam aturan itu menyebutkan, sebelum penunjukan kawasan hutan harus ada survei sosial, ekonomi, dan penguasaan tanah masyarakat.
Namun, praktiknya penunjukan kawasan dilakukan tanpa survei menyeluruh. Akibatnya, tanah rakyat, desa, transmigrasi, hingga HGU lama ikut dimasukkan ke kawasan hutan.
“Ada 30 ribu desa, bahkan tanah transmigran yang sudah bersertifikat masuk kawasan hutan. Itu bukti penetapan kawasan dilakukan serampangan, tidak sesuai UU. Inilah akar persoalan yang membuat lahan sawit masyarakat dan perusahaan tiba-tiba dianggap melanggar,” jelasnya. (*)
Tags : petani kelapa sawit, PP 45/2025, petani keluhkan denda rp25 juta per hektar, kelapa sawit di kawasan hutan,