Agama   2025/08/14 19:16 WIB

Asosiasi Umrah Haji Indonesia Minta Soal Kuota Haji Khusus yang Mengundang Stigma Negatif Tolong Dihilangkan

Asosiasi Umrah Haji Indonesia Minta Soal Kuota Haji Khusus yang Mengundang Stigma Negatif Tolong Dihilangkan
Asosiasi usulkan agar kuota haji khusus jadi minimal 8 persen, bukan maksimal.

Alasan dari usulan ini untuk mengatasi kuota yang tidak terserap setiap tahun.

JAKARTA — Tiga belas asosiasi umrah haji Indonesia menilai batas maksimal kuota haji khusus 8% selama ini menimbulkan ketidakpastian di kalangan jamaah yang sudah mendaftar bertahun-tahun.

Terlebih, sudah ada sebanyak 144.771 anggota jamaah yang sedang mengantri haji khusus, terhitung per 12 Agustus ini.

Terlepas dari antrean tersebut, Ahmad Musana, Ketua Perahu Sekunder Asosiasi Pengusaha Haramain Seluruh Indonesia (Asphirasi), meminta agar jangan ada yang memberi stigma negatif atas usulan tersebut.

Dia menegaskan, asosiasi tidak bermaksud untuk mengambil kuota lebih, tetapi ingin membuka kesempatan keterserapan kuota tambahan. Sebab, menurutnya, jika kuota tambahan terbuang, maka ini menimbulkan kerugian bagi negara.

“Jadi stigma negatifnya tolong ini dihilangkan dari masyarakat di Tanah Air bahwasannya bukan keinginan kami untuk mengambil kuota yang lebih, tapi mungkin dengan adanya potensi, kesempatan untuk bisa mengurangi kerugian akibat kuota yang tidak terserap, itu jadi terbuka di situ,” jelas Ahmad, Rabu (13/8).

Sebelumnya, Tim 13 Lintas Asosiasi Umrah Haji Indonesia, menggelar konferensi pers di Masjid Agung Sunda Kelapa, Jl. Taman Sunda Kelapa, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu 13 Agustus 2025.

Pernyataan tersebut merupakan sikap tegas untuk menyikapi pembahasan RUU Perubahan UU No 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Haji dan Umrah.

Para asosiasi agen travel menyampaikan empat poin utama yang telah diusulkan kepada Komisi VIII Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). Salah satu di antaranya, usulan kuota haji khusus 8% menjadi minimal bukan maksimal.

Ahmad juga menjelaskan alasan dari usulan ini adalah upaya untuk mengatasi adanya kuota yang tidak terserap setiap tahunnya.

Ketika dipaksakan, tetap saja tidak bisa terisi habis. Sebab, Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK) dibatasi dengan angka 8%.

“Jadi dengan kita tidak dibatasi 8%, kita punya potensi mengurangi kerugian atas kuota yang tidak terserap. Kuota tidak terserap selalu ada. Dan selalu dicoba dipaksakan untuk diisi dan tidak terisi sampai habis. Dan itu selalu terjadi, gak pernah habis kuota itu,” jelas Ahmad.

Firman M. Nur, Ketua Umum Asosiasi Muslim Penyelenggara Haji dan Umrah Republik Indonesia (Amphuri), melihat Undang-undang No.8 tahun 2019 yang mengatur ini dirasa tidak fleksibel.

Dia melihat undang undang harus bersifat future agar bisa mengantisipasi hal yang terjadi di depan.

“Undang-undang harus bersifat future, mengantisipasi apa yang terjadi ke depan, sehingga undang-undang ini jangan terjadi berulangan sebagaimana Undang-undang No.8 Tahun 2019,” ujar Firman, Rabu (13/8).

Dia melihat, undang-undang tersebut hanya berlaku di tahun 2019 saja.

Sedangkan 2020 dan 2021 tidak ada haji. Belum lagi di tahun 2022 Arab Saudi memberikan kuta tambahan sebanyak 10 ribu yang pada akhirnya tidak terpakai karena undang-undang yang tidak mengakomodir hal tersebut.

Menurutnya, dengan Arab Saudi yang memiliki visi 2030 menambahkan kuota menjadi 5 juta, maka RUU yang sedang dibahas harus mampu mengakomodir perkembangan tersebut.

Firman berharap, dengan mengusulkan “minimal 8%”, nantinya RUU lebih memiliki jangka panjang ke depan.

“Kita belum tahu apa yang akan terjadi. Jadi kita berharap undang-undang ini punya jangka panjang, mampu untuk mengakomodir masalah-masalah ke depan yang mungkin akan terjadi. Hanya menggunakan kalimat “minimal”,” ujar Firman. 

Sekretaris Jendral (Sekjen) AMPHURI Zaky Zakaria menuturkan, hadirnya PIHK dan haji khusus ini menjadi solusi agar kuota haji tambahan yang tidak terarah bisa digunakan. Alhasil, kuota tidak mubazir.

“Nah, justru kami merasa bahwa PIHK ini menjadi solusi. Haji khusus ini menjadi solusi. Ketika mungkin ada potensi kuota haji yang tidak terserah, atau sisa kuota yang tidak terserah, atau mungkin kuota tambahan kalau bahasa RUU ini yang tidak terserah. Mungkin kita bisa mengantisipasi untuk tidak menjadi mubazir,” kata Zaky, Rabu (13/8).

Zaky juga menegaskan, bahkan, di tahun 2022 PIHK mendapat kuota kurang dari 8%, padahal seharusnya mereka mendapat kuota maksimal 8% dan PIHK menerima itu.

Baginya, ini membuktikan PIHK hadir tidak untuk business oriented atau industri oriented. Namun, mereka ingin memberi solusi yang bermanfaat bagi pemerintah, masyarakat, dan pelaku usaha. (*)

Tags : kuota haji khusus, pembagian kuota haji, pembagian kuota haji khusus, asosiasi minta kuota haji khusus, kuota haji berlebih,