"Kebijakan pemerintah Indonesia berganti-ganti dalam melakukan aturan Swab Polymerase Chain Reaction (PCR) bisa membuat kendor pelancong domestik untuk tetap menjalankan protokol kesehatan baik perjalanan dalam negeri"
turan swab untuk memperoleh bahan pemeriksaan (sampel) Polymerase Chain Reaction (PCR) disebut tidak berbasis pada data dan tidak efektif, kata Pakar kesehatan masyarakat bahkan pengetesan hanya berlaku dan wajib diterapkan jika ditemukan kasus positif virus corona dalam rangka melakukan pelacakan kontak.
Sejauh ini, pemerintah mengganti peraturan setidaknya empat kali dan yang terakhir pada 1 November lalu adalah perjalanan udara tak perlu lagi melampirkan PCR dan hanya tes antigen. Pemerintah menegaskan penerapan syarat tes bagi pelaku perjalanan adalah bentuk upaya antisipasi peluang penularan sebelum, saat, dan sesudah perjalanan.
Salah seorang yang terganggu perjalanannya karena peraturan yang berubah ini adalah Ary Suharyanto. Ia gagal terbang dari Jakarta ke Palu, Sulawesi Tengah, pada 1 November lalu gara-gara keliru memahami aturan perjalanan orang dalam negeri yang menggunakan transportasi udara.
Aturan dalam bentuk Surat Edaran Menteri Perhubungan Nomor 93 Tahun 2021 itu menyebutkan syarat perjalanan untuk penerbangan di luar Jawa Bali harus menunjukkan hasil negatif PCR dengan maksimal sampel 3x24 jam atau hasil negatif rapid tes antigen dengan sampel maksimal 1x24 jam sebelum keberangkatan.
"Karena saya baca di berita bahwa orang yang melakukan perjalanan di luar Jawa-Bali boleh pakai antigen, saya langsung tes antigen. Apalagi pihak klinik tempat saya tes menguatkan. Makin percaya diri dong saya," ujar Ary Suharyan seperti dirilis BBC News Indonesia, Rabu (3/11).
"Begitu sampai di bandara, saya scan di aplikasi peduli lindungi karena hasilnya sudah negatif. Tapi tertulis di situ saya tidak layak terbang," katanya sambil terkekeh.
"Saya tanya ke Satgas di bandara kemudian dijelaskan kalau maksud dari aturan itu adalah penerbangan misalnya dari Makasar ke Manado atau Papua. Pokoknya tidak dari Jawa dan Bali."
Karena kekeliruan itu, Ary dan beberapa penumpang lain, batal berangkat. Tapi ia mengaku beruntung karena tiket pesawatnya tidak hangus dan bisa dijadwal ulang keesokan hari.
"Ternyata bukan cuma saya yang kecele, hahaha..."
Ary menyimpan sedikit kesal karena baginya aturan yang dikeluarkan pemerintah soal perjalanan dalam negeri "tidak jelas" sehingga membingungkan dan menimbulkan banyak tafsir.
Belum lagi kewajiban tes PCR yang saat itu masih diberlakukan, terbilang mahal. "Sangat membingungkan. Kalau orang yang punya rencana mendadak, repot lagi. Syukur-syukur penerbangan bisa dijadwal ulang, kalau yang lain dikenakan biaya gimana? Kasihan juga."
"Jadi harus clear penjelasannya agar mudah dipahami. Enggak semua masyarakat bisa memahami dengan baik," katanya mengingatkan.
Hingga saat ini pemerintah setidaknya sudah empat kali mengubah aturan soal syarat orang bepergian di dalam negeri. Pada 18 Oktober misalnya, penumpang yang menggunakan transportasi udara, laut, dan darat, di wilayah Jawa-Bali harus melampirkan hasil negatif tes PCR 2x24 jam meski sudah divaksinasi dua kali.
Aturan itu kemudian diubah lagi ketika pemerintah pada 27 Oktober 2021. Ketentuan yang berubah soal masa berlaku tes PCR untuk pesawat menjadi 3x24 jam bagi penumpang pesawat yang masuk atau keluar wilayah Jawa-Bali dan antar-wilayah Jawa-Bali.
Sementara untuk moda transportasi darat dan laut, boleh melampirkan hasil negatif tes antigen. Sehari setelahnya atau 28 Oktober, pemerintah kembali mengubah aturan soal syarat penumpang pesawat di luar Jawa-Bali. Isinya penumpang pesawat di luar Jawa-Bali diperbolehkan menggunakan hasil tes rapid antigen.
Lalu pada 1 November, pemerintah lagi-lagi mengubah syarat perjalanan udara di Jawa dan Bali yakni tes PCR tidak lagi menjadi syarat untuk naik pesawat dan boleh melampirkan tes antigen.
'Tidak perlu apalagi kalau sudah divaksin penuh'
Epidemiolog dari Universitas Griffith di Australia, Dicky Budiman, menilai kebijakan berubah-ubah itu menunjukkan pemerintah Indonesia tidak mendasarkan aturan pada basis data yang kuat.
Dicky Budiman melihat persoalan ini sepertinya tidak memahami strategi pengetesan yang tepat guna. Ia menilai syarat tes PCR atau antigen pada pelaku perjalanan dalam negeri yang sudah divaksin lengkap "tidak diperlukan". Apalagi di wilayah-wilayah yang tingkat transmisi penularannya dinilai rendah.
"Tidak perlu. Kalau konteksnya sudah divaksin penuh, sudah ada peduli lindungi, sudah ada skrining --orang tidak bergejela, tidak demam, dan di dalam moda transportasi itu diterapkan protokol kesehatan memakai masker, kapasitas dikurangi, ventilasi udara, itu jauh lebih penting," jelas Dicky Budiman.
"Kecuali tidak ada vaksin, beda. Tapi kalau sekarang ada vaksin, what for? Risiko terbesar terjadi [penularan] pada orang yang tidak divaksin. Risiko terkecil ada pada orang yang sudah divaksin lengkap."
Calon penumpang pesawat antre di area lapor diri sebelum melakukan penerbangan di Bandara Internasional Juanda Surabaya di Sidoarjo, Jawa Timur Senin (25/10/2021).
Itu sebab ia menilai persyaratan tes PCR atau antigen, tidak efektif dan tidak sesuai rekomendasi WHO. Untuk pelancong internasional saja, kata Dicky, WHO tidak mengkategorikan mereka sebagai suspek. Bahkan pelancong yang sudah divaksin lengkap dan sehat, tidak direkomendasikan untuk dites Covid-19. Terutama ketika sumber daya manusianya terbatas.
"Jadi sebetulnya kalau bicara testing, sebetulnya tidak jadi mandatori."
Dicky mencontohkan Australia dan Amerika Serikat yang tidak mewajibkan syarat tes PCR atau antigen untuk perjalanan di dalam negerinya.
Menurut dia, pengetesan akan lebih ideal dan berguna jika dilakukan pada skala komunitas yang populasinya rawan. Semisal tenaga kesehatan yang bekerja di rumah sakit lantaran berkontak dengan pasien positif Covid-19.
Juga di daerah yang sering kedatangan pekerja migran dari luar negeri. Terutama untuk kepentingan pelacakan kontak.
"Yang jadi fokus terutama ketika ada kasus terkonfirmasi. Kejar kasus kontaknya. Kejar ditesnya. Kejar tracing dan tracking, itu strategi testing yang punya dampak signifikan dan jelas ada drive actionnya."
Seperti apa rekomendasi WHO untuk perjalanan domestik?
Penasihat Senior untuk Direktur Jenderal WHO, Diah Saminarsih, mengatakan organisasi kesehatan PBB ini tidak mengeluarkan panduan resmi bagi pelaku perjalanan di dalam negeri. Hal itu, katanya diserahkan ke masing-masing negara.
Tapi menurutnya, pengetesan masih dibutuhkan sebagai syarat perjalanan sebagai bentuk pengawasan atau pemantauan perkembangan wabah di suatu wilayah atau populasi.
"Kalau dari WHO patokan yang dipakai, test dan trace termasuk dalam surveillance [pemantauan] kesehatan. Jadi selain untuk menetapkan atau menegakkan diagnosa seseorang positif Covid atau tidak, tapi di luar itu untuk memantau perkembangan wabahnya."
"Karena perkembangan wabah terlihat trennya tiap tujuh hari kenaikannya bagaimana. Kenapa ada syarat tes PCR atau antigen bagi perjalanan dalam negeri, barangkali ya memang dilihat faktor risikonya masih membutuhkan tes ini."
Juru bicara Satgas Penanganan Covid-19, Wiku Adisasmito, mengatakan penerapan syarat tes Covid-19 bagi pelaku perjalanan adalah bentuk upaya antisipasi peluang penularan sebelum, saat, dan sesudah perjalanan.
"Mengingat sekarang upaya pemulihan ekonomi dilakukan secara bertahap maka upaya ini menjadi suatu keharusan agar kondisi kasus yang terkendali tetap terjaga," imbuh Wiku kepada BBC News Indonesia melalui pesan singkat WhatsApp.
Sebelumnya Menteri Koordinasi Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy, mengatakan ada kenaikan kasus Covid-19 di 131 kabupaten dan kota. Ia juga menyorot mengenai persiapan periode Natal dan Tahun Baru yang kemungkinan akan memicu gelombang ketiga Covid-19.
"Periode nataru akan diantisipasi oleh seluruh kementerian dan lembaga terkait dengan mengupdate aturan-aturan yang diperlukan untuk mencegah penularan Covid-19 dan penyebarannya. Di mana aturan tersebut adalah mengenai pergerakan orang, lokasi wisata, pertokoan, tempat peribadatan dan lain-lainnya," ucap Muhadjir.
Hingga 3 November 2021, sudah 121 juta lebih atau 58,57% masyarakat yang mendapatkan vaksin dosis pertama. Adapun yang telah divaksin lengkap sebanyak 72 juta lebih atau sekitar 36,41%. (*)
Tags : Virus Corona, Indonesia, Sorotan, Tes PCR,