DESA PANCUR di Kabupaten Daik Lingga Provinsi Kepualuan Riau [Kepri] bagi penduduk setempat, bukanlah tempat bagi para penakut.
"Saya tidak akan tinggal di tempat lain," kata The Seng kepada riaupagi.com saat dikontak ponselnya beberapa hari lalu.
Warga disini, kata dia, butuh keberanian yang luar biasa untuk ke dan tinggal di sana. "Semua orang bisa melihat sendiri pulau berpenghuni yang paling terpencil ini," katanya lagi.
Untuk menuju Desa Pancur dekat perairan laut Cina Selatan [barat laut pulau Lingga] itu memang dibutuhkan waktu dan kesabaran yang tinggi. Bisa ditempuh melalui kapal laut dari Tanjung Pinang menuju Kabupaten Daik Lingga. Jika gelombang laut tak besar biasanya 4 sampai 5 jam sudah bisa sampai kepulau kecil ini. Sesampainya di Daik Lingga, pengunjung bisa menggunakan kenderaan roda dua dan empat menuju Desa Pancur yang terletak dipinggir laut itu.
Pancur sebuah desa kecil di barat laut pulau Lingga bisa disebutkan ibarat wilayah China town di teluk kecil. Meski berada di tepi laut nuansa Pancur seperti di tepi danau. Disepanjang air laut terlihat gugusan bukit bergelombang dengan awan putih berarak di atasnya. Gunung Daik dengan puncak bercabang dua terlihat gagah.
Penduduk berwajah oriental dengan mata sipit berjalan bersama menuju Vihara dekat pantai untuk menghadiri acara lelang. Mayoritas penduduk Pancur keturunan Tionghoa dari kelompok Hakka. Hakka adalah salah satu kelompok Tionghoa Han yang terbesar di Republik Rakyat Tiongkok. Hakka merupakan kelompok Han terakhir yang bermigrasi ke selatan dari Tiongkok Utara secara bertahap semenjak abad ke-4 M dikarenakan bencana alam, perang dan konflik.
Kepiawaian penduduk Pancur berdagang membuat Pancur menjadi salah kota perniagaan di Lingga. Toko-toko kelontong berjejar di bantaran sungai dengan rabat lebar memudahkan pedagang dan pembeli berbaur untuk melakukan transaksi. Jadi tidak mengherankan jelang malam kota ini cukup ramai disambangi penduduk sekitar pesisir dan pulau sekitar Lingga.
Rumah panggung memenuhi bantaran sungai, sambung menyambung menjadi satu membentuk kota terapung. Jangan membayangkan rumah di tepi sungai Ciliwung yang amburadul tapi ini berjajar rapih dengan rabat besar yang tersambung membentuk jalan nyaman di pinggir sungai.
Saban pagi di Pancur perahu penumpang anak sekolah pelan-pelan riaknya memecah hening. Lambat laun keramaian memecah sepi bersama kapal-kapal feri bersiap akan berangkat ke Tanjung Pinang dan Telaga Punggur, Batam. Sejak jalan darat antara Daik Lingga dan Pancur dibangun pelayaran domestik menuju Daik tidak seramai dulu. Padahal dulu dalam sehari ada 5 kali jadwal penyebrangan.
Kini orang lebih memilih jalur darat selain karena lebih nyaman juga lebih aman. Ternyata jalur pelayaran sungai dengan pemandangan eksotis itu penuh resiko dari ancaman buaya muara yang konon terkenal agresif. Setelah semua keramaian pagi, lambat laun Pancur kembali sepi seperti kota-kota kecil di Kepulauan Riau.
Selain itu, memang ada cara lain yaitu menggunakan perahu "cepat" menuju Desa Pancur ini, tapi masalahnya adalah kapal sangat jarang mengarungi perjalanan ke desa itu. Atau, bisa juga menumpang ke salah satu dari sedikit kapal penangkap ikan yang datang dan pergi. Tidak ada akses pesawat terbang ke sana. Begitulah sulitnya menuju atau meninggalkan desa Pancur ini.
Total penduduk yang hidup di desa ini hanya ada 200 kepala keluarga. Mereka tinggal di sebuah pemukiman dan juga dipinggiran laut. Pemukiman ini tak ada memiliki kafe, aula acara sosial, kantor pos, dan pub. Yang ada rumah puskesmas kecil dan sekolah yang kecil. "Kecuali jika meninggalkan pulau, dan menuju Daik Lingga," kata The Seng yang dirinya mengaku sudah menetap tinggal di Desa Pancur itu lebih dari 40 tahun dan membuka usaha sebagai penampung ikan nelayan.
Di sini juga kemungkinan besar akan bertemu dengan pasangan, bahkan jauh sebelum memikirkan sebuah pernikahan. Mungkin tidak mengherankan, jika seorang datang dan menetap tinggal di Desa Pancur untuk menjadi penduduk lokal, kemungkinan besar akan bangga menjadi keturunan suku Melayu di pulau terpencil itu.
The Seng sendiri mengaku tidak lahir di pulau itu, namun bertahun-tahun lalu menikah dengan penduduk pulau dan memutuskan untuk tinggal bersama keluarga mereka. Ada juga seorang dokter dan guru yang datang dan pergi bergantian ke desa itu, karena pulau ini masuk dalam Wilayah Kabupaten Linga.
Hiburan bisa mendengar 'ombak air laut'
"Sangat sepi di sini, bahkan kita bisa mendengar desisan ombak air laut," kata The Seng lagi, yang mencintai kedamaian dan ketenangan kampungnya.
Dan di sini sangat aman, bahkan "tidak ada keributan," tambahnya.
Tetapi, koneksi internet di pulau ini "buruk atau bahkan sangat buruk!". Walaupun ada satu sisi positifnya, yaitu semua panggilan ke luar negeri - saat telepon berfungsi - gratis.
Kemudian terdapat juga sebuah jalan yang membawa kita untuk mengelilingi pinggir pulau sekitar tiga kilometer guna melihat rangkaian ladang kecil yang terlindungi dinding batu dari hembusan angin kencang.
Di ladang itu, masyarakat biasanya menanam beberapa sayuran walaupun "kebanyakan daun ubi," kata seorang penduduk menambahkan di musim panas bisa pergi ke sana dan menikmati sedikit liburan 'ke kota Daik'.
Hiburan kesukaan di desa ini adalah pesta memancing - kesempatan terbaik mengelola hasil laut. Bermain alat musik dan bernyanyi bersama-sama pernah menjadi kehidupan utama masyarakat pulau, tetapi "saat ini kebanyakan mereka lebih suka menghabiskan waktu luang di tengah laut," kata Aldasir.
Ada juga pilihan untuk melakukan pendakian dan menikmati keindahan alam di sekitar pulau - yang lebarnya tidak lebih dari 10 kilometer - dan juga bisa menikmati lembah curam dan pegunungan terjal di pengunungan Lingga yang berada di 1.062 meter di atas permukaan laut.
Nyatanya, hampir tidak ada daerah landai di sini. Dinding batu terjal yang berhadapan langsung dengan serangan ombak laut lepas membentang luas mengelilingi lebih dari dua pertiga garis keliling pulau itu.
'Tempat yang indah, tapi bukan surga'
Pulau Lingga sendiri adalah pulau utama dari susunan kepulauan di Provinsi Kepri yang berlokasi di dekat Laut Cina Selatan. Kabupaten Lingga sendiri terdiri banyak pulau, seperti terdapat satu pulau bernama Pulau Berhala yang menjadi tempat favorit wisatawan untuk liburan dan berenang walaupun dinilai sangat berbahaya - arus terlalu kuat dan ancaman dari hiu.
Lalu, ada Pulau Mepar yang berbatu, tempat masyarakat untuk melindungi sejarah masa kejayaan Sultan Lingga masih terdapat berbagai peralatan perang [Meriam Sumbing] dan adanya pusat stasiun cuaca dan menempatkan beberapa ahli meteorologi yang dirotasi tahunan. "Ada kecenderungan untuk meromantisasi kehidupan pulau," kata Baim warga setempat, tetapi akses untuk mendapatkan pelayanan kesehatan sepertinya risiko ditanggung sendiri, "Memang tempat yang indah, tapi bukan surga," kata dia.
Pulau yang sunyi 'Ribuan burung tak berkicau'
Di pulau Lingga yang jauh dari pusat Ibu kota Provinsi Kepri selain terdapat gunung yang menjulang tinggi, selain desiran angin dan suara ombak laut yang meraung saban harinya di pulau utama itu, tak ada suara lain didapat disini. Satu hal yang mencolok tentang kepulauan ini adalah banyak dikelilingi oleh ribuan burung … namun tidak pernah mendengar satu pun dari mereka berkicau.
"Sebuah ironi, begitu banyak burung namun tidak ada kicau burung," kata Baim.
Diperairan laut yang dalam juga masih terdapat banyaknya predator [buaya] juga berarti bahwa beberapa burung menjadi terbang tak tentu arah dan selalu berpindah tempat, hewan buaya menjadikan salah satu dari banyak spesies endemik khas kepulauan.
Kelahiran seorang bayi
Tetapi yang lebih dramatis, efek samping yang tak terduga dari dampak Covid-19 khususnya di Desa Pancur adalah kelahiran bayi di pulau itu untuk pertama kalinya dalam beberapa tahun. "Sebelumnya, untuk menghindari komplikasi, wanita biasanya melakukan perjalanan ke kabupaten Daik Lingga sebelum waktunya untuk melahirkan.
"Selama saya tinggal di sana, 15 orang meninggal karena usia tua, tetapi hanya dua yang lahir," kata The Seng menambahkan jika anda menghargai keterpencilan dan mungkin tergoda untuk pindah ke sini, berhati-hatilah karena kemungkinan besar tidak akan berhasil.
Tidak ada buah dan sayuran, tapi banyak lobster
Tinggal di pulau Lingga paling terpencil tidak perlu melakukan isolasi - karena letak geografi telah melakukannya dengan baik. Tapi di pulau ini juga dinyatakan ditemukan 'jejak' Covid-19. "Di pulau ini bukan berarti kami tidak terkena pandemi," kata The Seng lagi.
Lockdown sempat diberlakukan di Desa Pancur membuat kapal yang biasanya membawa barang ke pulau ini tidak dapat meninggalkan dermaga. "Rantai pasokan menjadi sangat terdampak akibat Covid," kata dia, yang masih sering menghubungi bekas tetangganya.
"Warga disini sudah lama kehabisan buah dan sayuran," tambahnya, "Hal ini biasa terjadi, tetapi kali ini, siapa yang tahu kapan pasokan segar akan dikirimkan dengan situasi saat ini?"
Yang selalu berlimpah di sini adalah lobster, spesies lobster lokal batu air dingin yang ditangkap dan dibekukan oleh penduduk pulau, dan bila dapat diekspor, menyumbang 70% pendapatan.(*)
Tags : Pancur, Pulau Terpencil, Daik Lingga, Kepri, Bagaimana Hidup di pulau Terpencil, Benarkah Penduduk Pulau Terpencil Tak Terjamah Virus Corona,